Minggu, 31 Januari 2016

Etos Kerja Muslim dan Sikap Mental Wirausaha

Diposting oleh Mukaramah di 21.00


MEMBANGUN ETOS KERJA MUSLIM
DAN SIKAP MENTAL WIRAUSAHA
       Islam memiliki pedoman dalam mengarahkan umatnya untuk melaksanakan amalan. Pedoman  tersebut adalah al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Sebagai sumber ajaran, dalam Islam terdapat nilai-nilai dasar atau prinsip-prinsip umum yang penerapannya dalam bisnis disesuaikan dengan perkembangan zaman. Islam seringkali dijadikan sebagai model tatanan kehidupan yang berbudaya. Hal ini tentunya dapat dipakai untuk pengembangan lebih lanjut atas suatu tatanan kehidupan, termasuk tatanan kehidupan bisnis, budaya dan etos kerja.[1]
Bisnis yang sehat adalah bisnis yang berlandaskan pada etika. Oleh karena itu, pelaku bisnis muslim hendaknya memiliki kerangka etika bisnis yang kuat, sehingga dapat mengantarkan aktivitas bisnis yang nyaman, berbudaya, beretika dan berkah. Terlebih lagi ada sabda Rasulullah yang menggerakan kita untuk selalu berbuat baik dari waktu ke waktu, dan Allah SWT. Dalam firman-Nya disampaikan “...sesungguhnya, Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri (ar-Ra’d: 11). Dengan demikian, Islam merupakan ajaran yang mendorong untuk memiliki etos dalam beraktivitas.
A.      Bisnis Adalah Usaha Keberlangsungan dan Berbudaya
Secara etimologis, bisnis mempunyai beberapa arti; usaha, perdagangan, toko, perusahaan, tugas, urusan, hak, usaha dagang, usaha komersial dalam dunia perdagangan atau bidang usaha.[2] Sedangkan, secara terminologis, terdapat beberapa pengertian tentang bisnis. Menurut Hughes dan Kapoor, bisnis merupakan suatu kegiatan usaha individu yang terorganisasi untuk menghasilkan (laba) atau menjual barang dan jasa guna mendapatkan keuntungan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Pandangan lain menyatakan bahwa bisnis merupakan sejumlah total usaha yang meliputi pertanian, produksi, konstruksi, distribusi, transportasi, komunikasi, usaha jasa, dan pemerintahan yang bergerak dalam bidang membuat dan memasarkan barang dan jasa kepada konsumen.[3] Sedangkan pengertian bisnis dalam Islam (bisnis Islami) dapat diartikan sebagai serangkaian aktivitas bisnis dalam berbagai bentuknya yang tidak dibatasi jumlah (kuantitas) kepemilikan hartanya (barang/jasa) termasuk profitnya, namun dibatasi dalam cara perolehan dan pendayagunaan hartanya (ada aturan halal dan haram). Menurut Yusuf al-Qaradawi, terdapat empat sendi utama (ciri-ciri) norma dan etika dalam bisnis Islam, yakni ketuhanan, etika, kemanusiaan, dan sikap pertengahan. Setiap norma itu mempunyai pengaruh bagi aspek ekonomi, bisnis, dan sistem keuangan islam, baik dalam hal produksi, konsumsi, distribusi, ekspor, maupun impor.[4]
Bisnis merupakan aktivitas yang cakupannya amat luas; ia meliputi aktivitas memproduksi barang tambang atau pertanian, memproses bahan-bahan dasar hingga berguna, membuat berbagai barang jadi, mendistribusikan barang, menyediakan jasa, menjual dan membeli barang dagangan ataupun aktivitas yang berkaitan dengan suatu pekerjaan yang bertujuan untuk memperoleh penghasilan. Bisnis juga merupakan serangkaian kegiatan yang terdiri dari tukar-menukar, jual-beli, memproduksi-memasarkan, bekerja-mempekerjakan dan interaksi manusia lainnya dengan maksud memperoleh keuntungan.[5] Dengan demikian, pada dasarnya manusia akan selalu terlibat dalam kegiatan bisnis yang beranekaragam jenisnya sebanyak ragam atau jenis kebutuhan manusia. Hal ini disebabkan karena pada hakikatnya bisnis adalah usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, organisasi atau masyarakat luas dalam berbagai variasinya, yang dalam kenyataannya kemudian dipermudah oleh medium penukar uang.
B.       Orientasi Syariah Sebagai Kendali Bisnis Islami
Sejalan dengan kaidah ushul “al-aslu fi al-af’ at-taqayyud bi hukmi asy-syar’i”, yang berarti bahwa hukum asal suatu perbuatan adalah terikat dengan hukum syara’: wajib, sunnah, mubah, makruh, atau haram, maka pelaksanaan bisnis harus tetap berpegang pada ketentuan syariat. Dengan kendali syariat, bisnis bertujuan untuk mencapai empat hal utama;
1.    Target hasil: profit materi dan benefit materi. Tujuan perusahaan harus tidak hanya untuk mencari profit (qimah madiyah atau nilai materi) setinggi-tingginya tetepi juga harus dapat memperoleh dan memberikan benefit (keuntungan atau manfaat) nonmateri kepada internal organisasi perusahaan dan eksternal (lingkungan), seperti terciptanya suasana persaudaraan, kepedulian sosial, dan sebagainya.
2.    Pertumbuhan, artinya terus meningkat. Jika profit materi dan benefit nonmateri telah diraih sesuai target, perusahaan akan mengupayakan pertumbuhan atau kenaikan terus menerus dari setiap profit dan benefitnya itu. Misalnya, dalam meningkatkan jumlah produksi seiring dengan perluasan pasar, peningkatan inovasi sehingga bisa menghasilkan produk baru dan sebagainya.
3.    Keberlangsungan, dalam kurun waktu selama mungkin. Sebagaimana upaya pertumbuhan, setiap aktivitas untuk menjaga keberlangsungan tersebut dalam koridor syariah.
4.    Keberkahan atau keridhaan Allah.
C.       Sumber Etika Bisnis Islam
Unifikasi antara aspek-aspek yang bersifat humanis (ekonomi dan bisnis) dan transendental (etika agama) dalam ekonomi Islam mengimplikasikan dua hal penting: pertama, persoalan ekonomi bisnis dalam ekonomi Islam bersumber dari agama (Islam). Sehingga islam tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Allah (ibadah). Kedua, Islam juga memberikan semangat kesadaran nilai yang menjiwai seluruh aktivitas muamalah manusia.[6] Implikasinya bahwa etika ekonomi dan bisnis dalam persfektif ekonomi Islam bersumber dari dua seumber, yaitu ilahiyat dan insaniyat.
1.    Nilai Ilahiyat
Nilai yang bersumber dari Ilahi adalah nilai yang dititahkan Allah kepada Rasul-Nya, yang berbentuk takwa, iman, ihsan, adil dan sebagainya yang diabadikan dalam wahyu ilahi.[7] Nilai-nilai yang bersumber dari agama bersifat statis (QS. Al-Maidah : 3, al-An’am : 115, al-A’raf :137, dan huud : 119) dan kebenarannya bersifat mutlak (QS. Al-Baqarah : 2). Nilai etika yang bersumber dari agama tidak akan mengalami perubahan meskipun kehidupan manusia mengalami dinamika dan perkembangannya secara terus menerus.[8] Meskipun tindakan dan perilaku manusia dan bisnis manusia bertentangan dengan nilai Ilahi, namun konfigurasi nilai tersebut tetap pada esensinya, tidak mengalami reduksi bahkan tidak berpengaruh sama sekali terhadap ke-Maha Besaran Tuhan. Ketergantungan manusia pada nilai ilahi tidak berarti mengurangi harkat dan martabatnya sebagai makhluk merdeka, melainkan membawa manusia pada posisi yang lebih manusiawi, ta’nis al ilah dan ilah al ta’nis, memanusiakan manusia dan mengangkatnya kederajat yang lebih tinggi sehingga menjadi sempurna.
2.    Nilai Insaniyat
Kebalikan dari nilai yang bersumber dari agama adalah nilai etika yang bersumber dari hasil kreativitas dan konsensus pemikiran manusia demi kepentingan dan kebaikan manusia sendiri. Nilai ini bersifat dinamis (QS. Al Fath : 19, alr Ra’ad : 11, al-Anfal : 53. Dibatasi oleh ruang dan waktu QS. Yunus : 36, al-An’am : 116.) Nilai-nilai yang merupakan hasil konsensus setiap anggota masyarakat kemudian melembaga menjadi sebuah tradisi yang dapat secara terus menerus diwariskan kepada generasi sesudahnya. Namun demikian, sebagai nilai yang bersifat dinamis, tidak semua nilai yang telah melembaga menjadi tradisi yang dianut oleh generasi pada masa kini dianggap relevan dengan kondisi dan situasi kehidupan generasi sesudahnya. Karena adanya perbedaan dimensi ruang dan waktu dalam kehidupan, maka manusia memiliki kebebasan untuk memberikan pemaknaan (interpretasi) atas nilai-nilai lama dan nilai-nilai baru agar relevan dengan tuntutan dan kebutuhannya.[9]
D.      Unsur Wirausaha
Wirausaha mencakup beberapa unsur penting yang satu dengan lainnya saling terikat, yaitu:
1.    Unsur Daya Pikir (kognitif)
Daya pikir, pengetahuan, kepandaian, intelektual, atau kognitif mencirikan tingkat penalaran, taraf pemikiran yang dimiliki seseorang. Daya pikir adalah sember dan awal kelahiran kreasi dan temuan baru serta yang terpenting ujung tombak kemajuan suatu umat. Menurut al-Baghdadi “siapa saja dapat mencapai kemajuan dan kejayaan bila mereka telah mengubah sebab-sebab kemundurunnya.”
Tips-tips meningkatkan daya pikir, yaitu:
a.       Rajin membaca dan mencatat berbagai ilmu pengetahuan.
b.      Rajin mendengarkan ceramah/saran tentang berbagai pengetahuan dan mencatatnya dalam buku harian.
c.       Selalu berusaha untuk dapat mengumpulkan pengetahuan dan informasi baru.
d.      Bersekolah atau rajin mengkuti pelatihan, kursus, dan diskusi tentang berbagai pengetahuan.
e.       Aktif bertanya kepada orang yang dianggap tahu dan arif.
2.    Unsur keterampilan (psikomotorik)
Mengandalkan berpikir saja belumlah cukup untuk dapat mewujudkan suatu karya nyata. Karya hanya terwujud jika ada tindakan. Keterampilan merupakan tindakan raga untuk melakukan suatu kerja. Dari hasil kerja itulah baru dapat diwujudkan suatu karya, baik berupa produk maupun jasa. Tips-tips meningkatkan keterampilan, yaitu:
a.       Rajin dan tekun melakukan latihan mengerjakan sesuatu yang ingin diterampilkan.
b.      Selalu berusaha untuk dapat melakukan lebih baik lagi daripada sebelumnya.
c.       Selalu berusaha untuk menemukan cara kerja yang baik dan efisien.
d.      Berusaha kuat untuk menghasilkan karya terbaik.
3.    Unsur Sikap Mental Maju (afektif)
Bagi seorang muslim, sikap mental maju pada hakikatnya merupakan konsekuensi dari tauhid dan buah dari kemuslimannya dalam seluruh aktivitas kesehariannya. Identitas itu tampak pada kepribadian seorang muslim, yakni pada pola berpikir (aqliyah) dan pola bersikapnya (nafsiyyah) yang dilandaskan pada aqidah islam. Disini, tampak jelas bahwa sikap mental maju sesungguhnya adalah buah dari pola sikap yang didorong secara produktif oleh pola pikir islami. Berikut adalah sejumlah sikap mental maju yang didorong oleh pola pikir yang islami.
a.    Sigap, cekatan, langsung dikerjakan.
b.    Tanggap dan aktif.
c.    Rajin, telaten, tekun.
d.   Kerja lebih.
e.    Jujur dan bertanggung jawab.
f.     Disiplin.
g.    Teliti, kerja terbaik.
4.    Unsur Kewaspadaan atau intuisi
Intuisi atau juga dikenal sebagai feeling adalah sesuatu yang abstrak, sulit digambarkan, namun acapkali menjadi kenyataan jika dirasakan serta diyakini benar dan lalu diusahakan. Dalam persfektif islam intuisi dapat dinilai sebagai bagian lanjut dari pemikiran dan sikap mental maju yang telah dimiliki seorang muslim. Seorang muslim memang dituntut untuk mengaplikasikan pemahaman Islam dalam menjalankan kegiatan hidupnya. Proses aplikasi ini dapat dilakukan di antaranya dengan cara menumbuhkan kesadaran dan melatih kepekaan perasaan. Selain itu intuisi juga dapat ditumbuhkan dari keadrengan (ketekunan dan kesabaran untuk jangka waktu yang panjang) dalam melakukan sesuatu pekerjaan disertai dengan selalu mengingat bahwa bekerja adalah menifestasi dari rasa syukur. Perlu ditumbuhkan etos kerja yang islami dengan cara sebagai berikut.
a.    Niat ikhlas karena Allah SWT. semata; bahwa perbuatan manusia akan diperhitungkan sesuai dengan niatnya (“sesungguhnya segala perbuatan bergantung pada niatnya; dan seseorang akan memperoleh pahala sesuai dengan apa yang diniatkan – HR. Asy-Syaikhain).
b.    Kerja keras; bekerja dengan sungguh-sungguh, sepenuh hati, jujur, dan mencari kerja dengan cara-cara yang halal pula. Pesan Rasulullah saw.: “Sesungguhnya Allah mencintai hamba-Nya yang bekerja dan terampil. Barangsiapa bersusah payah mencari nafkah untuk keluarganya, maka dia serupa dengan seorang mujahid di jalan Allah.” (HR. Ahmad)
c.    Memiliki cita-cita tinggi.
d.   Takwa; melakukan apa yang diperintahkan dan meninggalkan segala sesuatu yang dilarang agama. Dengan membiasakan diri terhadap hal-hal yang baik dan menolak segala yang tercela, secara otomatis menjadikan seseorang “berbeda” dari kebanyakan orang.





DAFTAR PUSTAKA
Muhammad, Etika Bisnis Islam, Yogyakarta: UPP AMP YKPN, Januari 2004.
Muhammad, Paragdima, Metodologi dan Aplikasi Ekonomi Syari’ah,       Yogyakarta: Graha Ilmu, t.t.
Rajafi, Ahmad, Masa Depan Hukum Bisnis Islam di Indonesia,Yogyakarta: PT. LkiS Printing Cemerlang, 2013.
Yusanto, Widjajakusuma, Menggagas Bisnis Islami, Jakarta: Gema Insani Pers, 2002.




[1]Muhammad, Etika Bisnis Islami, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2004), hal. 256.
[2]Ibid, hal. 256.
[3]Ibid, hal. 256.
[4]Ahmad Rajafi, Masa Depan Hukum Bisnis Islam di Indonesia, (Yogyakarta: LkiS, 2013), hal. 39.
[5]Muhammad, op.cit., hal. 256.
[6]Muhammad, Paradigma, Metodologi dan Aplikasi Ekonomi Syariah, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008), hal.63.
[7]Ibid, hal. 65.
[8]Ibid, hal. 65.
[9]Ibid, hal. 66-67.

0 komentar:

 

Kumpulan Makalah, Artikel, dan Karya Tulis Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea