MEMBANGUN
ETOS KERJA MUSLIM
DAN SIKAP MENTAL WIRAUSAHA
Islam memiliki pedoman dalam mengarahkan
umatnya untuk melaksanakan amalan. Pedoman
tersebut adalah al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Sebagai sumber ajaran, dalam Islam
terdapat nilai-nilai dasar atau prinsip-prinsip umum yang penerapannya dalam
bisnis disesuaikan dengan perkembangan zaman. Islam seringkali dijadikan
sebagai model tatanan kehidupan yang berbudaya. Hal ini tentunya dapat dipakai
untuk pengembangan lebih lanjut atas suatu tatanan kehidupan, termasuk tatanan
kehidupan bisnis, budaya dan etos kerja.[1]
Bisnis
yang sehat adalah bisnis yang berlandaskan pada etika. Oleh karena itu, pelaku
bisnis muslim hendaknya memiliki kerangka etika bisnis yang kuat, sehingga
dapat mengantarkan aktivitas bisnis yang nyaman, berbudaya, beretika dan
berkah. Terlebih lagi ada sabda Rasulullah yang menggerakan kita untuk selalu
berbuat baik dari waktu ke waktu, dan Allah SWT. Dalam firman-Nya disampaikan
“...sesungguhnya, Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga
mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri (ar-Ra’d: 11). Dengan
demikian, Islam merupakan ajaran yang mendorong untuk memiliki etos dalam
beraktivitas.
A.
Bisnis Adalah Usaha Keberlangsungan dan Berbudaya
Secara etimologis, bisnis mempunyai beberapa arti; usaha,
perdagangan, toko, perusahaan, tugas, urusan, hak, usaha dagang, usaha
komersial dalam dunia perdagangan atau bidang usaha.[2] Sedangkan,
secara terminologis, terdapat beberapa pengertian tentang bisnis. Menurut
Hughes dan Kapoor, bisnis merupakan suatu kegiatan usaha individu yang
terorganisasi untuk menghasilkan (laba) atau menjual barang dan jasa guna
mendapatkan keuntungan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Pandangan lain
menyatakan bahwa bisnis merupakan sejumlah total usaha yang meliputi pertanian,
produksi, konstruksi, distribusi, transportasi, komunikasi, usaha jasa, dan
pemerintahan yang bergerak dalam bidang membuat dan memasarkan barang dan jasa
kepada konsumen.[3]
Sedangkan pengertian bisnis dalam Islam (bisnis Islami) dapat diartikan sebagai
serangkaian aktivitas bisnis dalam berbagai bentuknya yang tidak dibatasi
jumlah (kuantitas) kepemilikan hartanya (barang/jasa) termasuk profitnya, namun
dibatasi dalam cara perolehan dan pendayagunaan hartanya (ada aturan halal dan
haram). Menurut Yusuf al-Qaradawi, terdapat empat sendi utama (ciri-ciri) norma
dan etika dalam bisnis Islam, yakni ketuhanan, etika, kemanusiaan, dan sikap
pertengahan. Setiap norma itu mempunyai pengaruh bagi aspek ekonomi,
bisnis, dan sistem keuangan islam, baik dalam hal produksi, konsumsi,
distribusi, ekspor, maupun impor.[4]
Bisnis merupakan aktivitas yang cakupannya amat luas; ia meliputi
aktivitas memproduksi barang tambang atau pertanian, memproses bahan-bahan
dasar hingga berguna, membuat berbagai barang jadi, mendistribusikan barang,
menyediakan jasa, menjual dan membeli barang dagangan ataupun aktivitas yang
berkaitan dengan suatu pekerjaan yang bertujuan untuk memperoleh penghasilan. Bisnis
juga merupakan serangkaian kegiatan yang terdiri dari tukar-menukar, jual-beli,
memproduksi-memasarkan, bekerja-mempekerjakan dan interaksi manusia lainnya
dengan maksud memperoleh keuntungan.[5]
Dengan demikian, pada dasarnya manusia akan selalu terlibat dalam kegiatan
bisnis yang beranekaragam jenisnya sebanyak ragam atau jenis kebutuhan manusia.
Hal ini disebabkan karena pada hakikatnya bisnis adalah usaha untuk memenuhi
kebutuhan hidup manusia, organisasi atau masyarakat luas dalam
berbagai variasinya, yang dalam kenyataannya kemudian dipermudah oleh medium
penukar uang.
B.
Orientasi Syariah Sebagai Kendali Bisnis Islami
Sejalan dengan kaidah ushul “al-aslu fi al-af’ at-taqayyud bi hukmi
asy-syar’i”, yang berarti bahwa hukum asal suatu perbuatan adalah terikat
dengan hukum syara’: wajib, sunnah, mubah, makruh, atau haram, maka pelaksanaan
bisnis harus tetap berpegang pada ketentuan syariat. Dengan kendali syariat,
bisnis bertujuan untuk mencapai empat hal utama;
1.
Target hasil: profit materi dan benefit materi. Tujuan perusahaan
harus tidak hanya untuk mencari profit (qimah madiyah atau nilai materi)
setinggi-tingginya tetepi juga harus dapat memperoleh dan memberikan benefit
(keuntungan atau manfaat) nonmateri kepada internal organisasi perusahaan dan
eksternal (lingkungan), seperti terciptanya suasana persaudaraan, kepedulian
sosial, dan sebagainya.
2.
Pertumbuhan, artinya terus meningkat. Jika profit materi dan
benefit nonmateri telah diraih sesuai target, perusahaan akan mengupayakan
pertumbuhan atau kenaikan terus menerus dari setiap profit dan benefitnya itu.
Misalnya, dalam meningkatkan jumlah produksi seiring dengan perluasan pasar,
peningkatan inovasi sehingga bisa menghasilkan produk baru dan sebagainya.
3.
Keberlangsungan, dalam kurun waktu selama mungkin. Sebagaimana
upaya pertumbuhan, setiap aktivitas untuk menjaga keberlangsungan tersebut
dalam koridor syariah.
4.
Keberkahan atau keridhaan Allah.
C.
Sumber Etika Bisnis Islam
Unifikasi antara aspek-aspek yang bersifat humanis (ekonomi dan
bisnis) dan transendental (etika agama) dalam ekonomi Islam mengimplikasikan
dua hal penting: pertama, persoalan ekonomi bisnis dalam ekonomi Islam
bersumber dari agama (Islam). Sehingga islam tidak hanya mengatur hubungan
manusia dengan Allah (ibadah). Kedua, Islam juga memberikan semangat
kesadaran nilai yang menjiwai seluruh aktivitas muamalah manusia.[6]
Implikasinya bahwa etika ekonomi dan bisnis dalam persfektif ekonomi Islam
bersumber dari dua seumber, yaitu ilahiyat dan insaniyat.
1.
Nilai Ilahiyat
Nilai yang bersumber dari Ilahi adalah nilai yang dititahkan Allah
kepada Rasul-Nya, yang berbentuk takwa, iman, ihsan, adil dan sebagainya yang
diabadikan dalam wahyu ilahi.[7] Nilai-nilai
yang bersumber dari agama bersifat statis (QS. Al-Maidah : 3, al-An’am : 115,
al-A’raf :137, dan huud : 119) dan kebenarannya bersifat mutlak (QS. Al-Baqarah
: 2). Nilai etika yang bersumber dari agama tidak akan mengalami perubahan
meskipun kehidupan manusia mengalami dinamika dan perkembangannya secara terus
menerus.[8]
Meskipun tindakan dan perilaku manusia dan bisnis manusia bertentangan dengan
nilai Ilahi, namun konfigurasi nilai tersebut tetap pada esensinya, tidak
mengalami reduksi bahkan tidak berpengaruh sama sekali terhadap ke-Maha Besaran
Tuhan. Ketergantungan manusia pada nilai ilahi tidak berarti mengurangi harkat
dan martabatnya sebagai makhluk merdeka, melainkan membawa manusia pada posisi
yang lebih manusiawi, ta’nis al ilah dan ilah al ta’nis, memanusiakan
manusia dan mengangkatnya kederajat yang lebih tinggi sehingga menjadi
sempurna.
2.
Nilai Insaniyat
Kebalikan dari nilai yang bersumber dari agama adalah nilai etika
yang bersumber dari hasil kreativitas dan konsensus pemikiran manusia demi
kepentingan dan kebaikan manusia sendiri. Nilai ini bersifat dinamis (QS. Al
Fath : 19, alr Ra’ad : 11, al-Anfal : 53. Dibatasi oleh ruang dan waktu QS.
Yunus : 36, al-An’am : 116.) Nilai-nilai yang merupakan hasil konsensus setiap
anggota masyarakat kemudian melembaga menjadi sebuah tradisi yang dapat secara
terus menerus diwariskan kepada generasi sesudahnya. Namun demikian, sebagai nilai
yang bersifat dinamis, tidak semua nilai yang telah melembaga menjadi tradisi
yang dianut oleh generasi pada masa kini dianggap relevan dengan kondisi dan
situasi kehidupan generasi sesudahnya. Karena adanya perbedaan dimensi ruang
dan waktu dalam kehidupan, maka manusia memiliki kebebasan untuk memberikan
pemaknaan (interpretasi) atas nilai-nilai lama dan nilai-nilai baru agar
relevan dengan tuntutan dan kebutuhannya.[9]
D.
Unsur Wirausaha
Wirausaha mencakup beberapa unsur penting yang satu dengan lainnya
saling terikat, yaitu:
1.
Unsur Daya Pikir (kognitif)
Daya pikir, pengetahuan, kepandaian, intelektual, atau kognitif
mencirikan tingkat penalaran, taraf pemikiran yang dimiliki seseorang. Daya
pikir adalah sember dan awal kelahiran kreasi dan temuan baru serta yang
terpenting ujung tombak kemajuan suatu umat. Menurut al-Baghdadi “siapa saja
dapat mencapai kemajuan dan kejayaan bila mereka telah mengubah sebab-sebab
kemundurunnya.”
Tips-tips meningkatkan daya pikir, yaitu:
a.
Rajin membaca dan mencatat berbagai ilmu pengetahuan.
b.
Rajin mendengarkan ceramah/saran tentang berbagai pengetahuan dan
mencatatnya dalam buku harian.
c.
Selalu berusaha untuk dapat mengumpulkan pengetahuan dan informasi
baru.
d.
Bersekolah atau rajin mengkuti pelatihan, kursus, dan diskusi tentang
berbagai pengetahuan.
e.
Aktif bertanya kepada orang yang dianggap tahu dan arif.
2.
Unsur keterampilan (psikomotorik)
Mengandalkan berpikir saja belumlah cukup untuk dapat mewujudkan
suatu karya nyata. Karya hanya terwujud jika ada tindakan. Keterampilan merupakan
tindakan raga untuk melakukan suatu kerja. Dari hasil kerja itulah baru dapat
diwujudkan suatu karya, baik berupa produk maupun jasa. Tips-tips meningkatkan
keterampilan, yaitu:
a. Rajin dan tekun
melakukan latihan mengerjakan sesuatu yang ingin diterampilkan.
b. Selalu berusaha
untuk dapat melakukan lebih baik lagi daripada sebelumnya.
c. Selalu berusaha
untuk menemukan cara kerja yang baik dan efisien.
d. Berusaha kuat
untuk menghasilkan karya terbaik.
3.
Unsur Sikap Mental Maju (afektif)
Bagi seorang muslim, sikap mental maju pada hakikatnya merupakan
konsekuensi dari tauhid dan buah dari kemuslimannya dalam seluruh aktivitas
kesehariannya. Identitas itu tampak pada kepribadian seorang muslim, yakni pada
pola berpikir (aqliyah) dan pola bersikapnya (nafsiyyah) yang dilandaskan pada
aqidah islam. Disini, tampak jelas bahwa sikap mental maju sesungguhnya adalah
buah dari pola sikap yang didorong secara produktif oleh pola pikir islami.
Berikut adalah sejumlah sikap mental maju yang didorong oleh pola pikir yang islami.
a.
Sigap, cekatan, langsung dikerjakan.
b.
Tanggap dan aktif.
c.
Rajin, telaten, tekun.
d.
Kerja lebih.
e.
Jujur dan bertanggung jawab.
f.
Disiplin.
g.
Teliti, kerja terbaik.
4.
Unsur Kewaspadaan atau intuisi
Intuisi atau juga dikenal sebagai feeling adalah sesuatu
yang abstrak, sulit digambarkan, namun acapkali menjadi kenyataan jika
dirasakan serta diyakini benar dan lalu diusahakan. Dalam persfektif islam
intuisi dapat dinilai sebagai bagian lanjut dari pemikiran dan sikap mental
maju yang telah dimiliki seorang muslim. Seorang muslim memang dituntut untuk
mengaplikasikan pemahaman Islam dalam menjalankan kegiatan hidupnya. Proses
aplikasi ini dapat dilakukan di antaranya dengan cara menumbuhkan kesadaran dan
melatih kepekaan perasaan. Selain itu intuisi juga dapat ditumbuhkan dari
keadrengan (ketekunan dan kesabaran untuk jangka waktu yang panjang) dalam
melakukan sesuatu pekerjaan disertai dengan selalu mengingat bahwa bekerja
adalah menifestasi dari rasa syukur. Perlu ditumbuhkan etos kerja yang islami
dengan cara sebagai berikut.
a. Niat ikhlas
karena Allah SWT. semata; bahwa perbuatan manusia akan diperhitungkan sesuai
dengan niatnya (“sesungguhnya segala perbuatan bergantung pada niatnya; dan
seseorang akan memperoleh pahala sesuai dengan apa yang diniatkan – HR.
Asy-Syaikhain).
b. Kerja keras;
bekerja dengan sungguh-sungguh, sepenuh hati, jujur, dan mencari kerja dengan
cara-cara yang halal pula. Pesan Rasulullah saw.: “Sesungguhnya Allah mencintai
hamba-Nya yang bekerja dan terampil. Barangsiapa bersusah payah mencari nafkah
untuk keluarganya, maka dia serupa dengan seorang mujahid di jalan Allah.” (HR.
Ahmad)
c. Memiliki
cita-cita tinggi.
d. Takwa;
melakukan apa yang diperintahkan dan meninggalkan segala sesuatu yang dilarang
agama. Dengan membiasakan diri terhadap hal-hal yang baik dan menolak segala
yang tercela, secara otomatis menjadikan seseorang “berbeda” dari kebanyakan
orang.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad, Etika Bisnis Islam, Yogyakarta: UPP AMP YKPN,
Januari 2004.
Muhammad, Paragdima, Metodologi
dan Aplikasi Ekonomi Syari’ah, Yogyakarta:
Graha Ilmu, t.t.
Rajafi, Ahmad, Masa Depan Hukum
Bisnis Islam di Indonesia,Yogyakarta: PT. LkiS Printing Cemerlang, 2013.
Yusanto, Widjajakusuma, Menggagas
Bisnis Islami, Jakarta: Gema Insani Pers, 2002.
[1]Muhammad, Etika
Bisnis Islami, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2004), hal. 256.
[2]Ibid, hal. 256.
[3]Ibid, hal. 256.
[5]Muhammad, op.cit.,
hal. 256.
[6]Muhammad, Paradigma,
Metodologi dan Aplikasi Ekonomi Syariah, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008),
hal.63.
[7]Ibid, hal. 65.
[8]Ibid, hal. 65.
[9]Ibid, hal. 66-67.