Minggu, 31 Januari 2016

Etos Kerja Muslim dan Sikap Mental Wirausaha

Diposting oleh Mukaramah di 21.00 0 komentar


MEMBANGUN ETOS KERJA MUSLIM
DAN SIKAP MENTAL WIRAUSAHA
       Islam memiliki pedoman dalam mengarahkan umatnya untuk melaksanakan amalan. Pedoman  tersebut adalah al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Sebagai sumber ajaran, dalam Islam terdapat nilai-nilai dasar atau prinsip-prinsip umum yang penerapannya dalam bisnis disesuaikan dengan perkembangan zaman. Islam seringkali dijadikan sebagai model tatanan kehidupan yang berbudaya. Hal ini tentunya dapat dipakai untuk pengembangan lebih lanjut atas suatu tatanan kehidupan, termasuk tatanan kehidupan bisnis, budaya dan etos kerja.[1]
Bisnis yang sehat adalah bisnis yang berlandaskan pada etika. Oleh karena itu, pelaku bisnis muslim hendaknya memiliki kerangka etika bisnis yang kuat, sehingga dapat mengantarkan aktivitas bisnis yang nyaman, berbudaya, beretika dan berkah. Terlebih lagi ada sabda Rasulullah yang menggerakan kita untuk selalu berbuat baik dari waktu ke waktu, dan Allah SWT. Dalam firman-Nya disampaikan “...sesungguhnya, Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri (ar-Ra’d: 11). Dengan demikian, Islam merupakan ajaran yang mendorong untuk memiliki etos dalam beraktivitas.
A.      Bisnis Adalah Usaha Keberlangsungan dan Berbudaya
Secara etimologis, bisnis mempunyai beberapa arti; usaha, perdagangan, toko, perusahaan, tugas, urusan, hak, usaha dagang, usaha komersial dalam dunia perdagangan atau bidang usaha.[2] Sedangkan, secara terminologis, terdapat beberapa pengertian tentang bisnis. Menurut Hughes dan Kapoor, bisnis merupakan suatu kegiatan usaha individu yang terorganisasi untuk menghasilkan (laba) atau menjual barang dan jasa guna mendapatkan keuntungan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Pandangan lain menyatakan bahwa bisnis merupakan sejumlah total usaha yang meliputi pertanian, produksi, konstruksi, distribusi, transportasi, komunikasi, usaha jasa, dan pemerintahan yang bergerak dalam bidang membuat dan memasarkan barang dan jasa kepada konsumen.[3] Sedangkan pengertian bisnis dalam Islam (bisnis Islami) dapat diartikan sebagai serangkaian aktivitas bisnis dalam berbagai bentuknya yang tidak dibatasi jumlah (kuantitas) kepemilikan hartanya (barang/jasa) termasuk profitnya, namun dibatasi dalam cara perolehan dan pendayagunaan hartanya (ada aturan halal dan haram). Menurut Yusuf al-Qaradawi, terdapat empat sendi utama (ciri-ciri) norma dan etika dalam bisnis Islam, yakni ketuhanan, etika, kemanusiaan, dan sikap pertengahan. Setiap norma itu mempunyai pengaruh bagi aspek ekonomi, bisnis, dan sistem keuangan islam, baik dalam hal produksi, konsumsi, distribusi, ekspor, maupun impor.[4]
Bisnis merupakan aktivitas yang cakupannya amat luas; ia meliputi aktivitas memproduksi barang tambang atau pertanian, memproses bahan-bahan dasar hingga berguna, membuat berbagai barang jadi, mendistribusikan barang, menyediakan jasa, menjual dan membeli barang dagangan ataupun aktivitas yang berkaitan dengan suatu pekerjaan yang bertujuan untuk memperoleh penghasilan. Bisnis juga merupakan serangkaian kegiatan yang terdiri dari tukar-menukar, jual-beli, memproduksi-memasarkan, bekerja-mempekerjakan dan interaksi manusia lainnya dengan maksud memperoleh keuntungan.[5] Dengan demikian, pada dasarnya manusia akan selalu terlibat dalam kegiatan bisnis yang beranekaragam jenisnya sebanyak ragam atau jenis kebutuhan manusia. Hal ini disebabkan karena pada hakikatnya bisnis adalah usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, organisasi atau masyarakat luas dalam berbagai variasinya, yang dalam kenyataannya kemudian dipermudah oleh medium penukar uang.
B.       Orientasi Syariah Sebagai Kendali Bisnis Islami
Sejalan dengan kaidah ushul “al-aslu fi al-af’ at-taqayyud bi hukmi asy-syar’i”, yang berarti bahwa hukum asal suatu perbuatan adalah terikat dengan hukum syara’: wajib, sunnah, mubah, makruh, atau haram, maka pelaksanaan bisnis harus tetap berpegang pada ketentuan syariat. Dengan kendali syariat, bisnis bertujuan untuk mencapai empat hal utama;
1.    Target hasil: profit materi dan benefit materi. Tujuan perusahaan harus tidak hanya untuk mencari profit (qimah madiyah atau nilai materi) setinggi-tingginya tetepi juga harus dapat memperoleh dan memberikan benefit (keuntungan atau manfaat) nonmateri kepada internal organisasi perusahaan dan eksternal (lingkungan), seperti terciptanya suasana persaudaraan, kepedulian sosial, dan sebagainya.
2.    Pertumbuhan, artinya terus meningkat. Jika profit materi dan benefit nonmateri telah diraih sesuai target, perusahaan akan mengupayakan pertumbuhan atau kenaikan terus menerus dari setiap profit dan benefitnya itu. Misalnya, dalam meningkatkan jumlah produksi seiring dengan perluasan pasar, peningkatan inovasi sehingga bisa menghasilkan produk baru dan sebagainya.
3.    Keberlangsungan, dalam kurun waktu selama mungkin. Sebagaimana upaya pertumbuhan, setiap aktivitas untuk menjaga keberlangsungan tersebut dalam koridor syariah.
4.    Keberkahan atau keridhaan Allah.
C.       Sumber Etika Bisnis Islam
Unifikasi antara aspek-aspek yang bersifat humanis (ekonomi dan bisnis) dan transendental (etika agama) dalam ekonomi Islam mengimplikasikan dua hal penting: pertama, persoalan ekonomi bisnis dalam ekonomi Islam bersumber dari agama (Islam). Sehingga islam tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Allah (ibadah). Kedua, Islam juga memberikan semangat kesadaran nilai yang menjiwai seluruh aktivitas muamalah manusia.[6] Implikasinya bahwa etika ekonomi dan bisnis dalam persfektif ekonomi Islam bersumber dari dua seumber, yaitu ilahiyat dan insaniyat.
1.    Nilai Ilahiyat
Nilai yang bersumber dari Ilahi adalah nilai yang dititahkan Allah kepada Rasul-Nya, yang berbentuk takwa, iman, ihsan, adil dan sebagainya yang diabadikan dalam wahyu ilahi.[7] Nilai-nilai yang bersumber dari agama bersifat statis (QS. Al-Maidah : 3, al-An’am : 115, al-A’raf :137, dan huud : 119) dan kebenarannya bersifat mutlak (QS. Al-Baqarah : 2). Nilai etika yang bersumber dari agama tidak akan mengalami perubahan meskipun kehidupan manusia mengalami dinamika dan perkembangannya secara terus menerus.[8] Meskipun tindakan dan perilaku manusia dan bisnis manusia bertentangan dengan nilai Ilahi, namun konfigurasi nilai tersebut tetap pada esensinya, tidak mengalami reduksi bahkan tidak berpengaruh sama sekali terhadap ke-Maha Besaran Tuhan. Ketergantungan manusia pada nilai ilahi tidak berarti mengurangi harkat dan martabatnya sebagai makhluk merdeka, melainkan membawa manusia pada posisi yang lebih manusiawi, ta’nis al ilah dan ilah al ta’nis, memanusiakan manusia dan mengangkatnya kederajat yang lebih tinggi sehingga menjadi sempurna.
2.    Nilai Insaniyat
Kebalikan dari nilai yang bersumber dari agama adalah nilai etika yang bersumber dari hasil kreativitas dan konsensus pemikiran manusia demi kepentingan dan kebaikan manusia sendiri. Nilai ini bersifat dinamis (QS. Al Fath : 19, alr Ra’ad : 11, al-Anfal : 53. Dibatasi oleh ruang dan waktu QS. Yunus : 36, al-An’am : 116.) Nilai-nilai yang merupakan hasil konsensus setiap anggota masyarakat kemudian melembaga menjadi sebuah tradisi yang dapat secara terus menerus diwariskan kepada generasi sesudahnya. Namun demikian, sebagai nilai yang bersifat dinamis, tidak semua nilai yang telah melembaga menjadi tradisi yang dianut oleh generasi pada masa kini dianggap relevan dengan kondisi dan situasi kehidupan generasi sesudahnya. Karena adanya perbedaan dimensi ruang dan waktu dalam kehidupan, maka manusia memiliki kebebasan untuk memberikan pemaknaan (interpretasi) atas nilai-nilai lama dan nilai-nilai baru agar relevan dengan tuntutan dan kebutuhannya.[9]
D.      Unsur Wirausaha
Wirausaha mencakup beberapa unsur penting yang satu dengan lainnya saling terikat, yaitu:
1.    Unsur Daya Pikir (kognitif)
Daya pikir, pengetahuan, kepandaian, intelektual, atau kognitif mencirikan tingkat penalaran, taraf pemikiran yang dimiliki seseorang. Daya pikir adalah sember dan awal kelahiran kreasi dan temuan baru serta yang terpenting ujung tombak kemajuan suatu umat. Menurut al-Baghdadi “siapa saja dapat mencapai kemajuan dan kejayaan bila mereka telah mengubah sebab-sebab kemundurunnya.”
Tips-tips meningkatkan daya pikir, yaitu:
a.       Rajin membaca dan mencatat berbagai ilmu pengetahuan.
b.      Rajin mendengarkan ceramah/saran tentang berbagai pengetahuan dan mencatatnya dalam buku harian.
c.       Selalu berusaha untuk dapat mengumpulkan pengetahuan dan informasi baru.
d.      Bersekolah atau rajin mengkuti pelatihan, kursus, dan diskusi tentang berbagai pengetahuan.
e.       Aktif bertanya kepada orang yang dianggap tahu dan arif.
2.    Unsur keterampilan (psikomotorik)
Mengandalkan berpikir saja belumlah cukup untuk dapat mewujudkan suatu karya nyata. Karya hanya terwujud jika ada tindakan. Keterampilan merupakan tindakan raga untuk melakukan suatu kerja. Dari hasil kerja itulah baru dapat diwujudkan suatu karya, baik berupa produk maupun jasa. Tips-tips meningkatkan keterampilan, yaitu:
a.       Rajin dan tekun melakukan latihan mengerjakan sesuatu yang ingin diterampilkan.
b.      Selalu berusaha untuk dapat melakukan lebih baik lagi daripada sebelumnya.
c.       Selalu berusaha untuk menemukan cara kerja yang baik dan efisien.
d.      Berusaha kuat untuk menghasilkan karya terbaik.
3.    Unsur Sikap Mental Maju (afektif)
Bagi seorang muslim, sikap mental maju pada hakikatnya merupakan konsekuensi dari tauhid dan buah dari kemuslimannya dalam seluruh aktivitas kesehariannya. Identitas itu tampak pada kepribadian seorang muslim, yakni pada pola berpikir (aqliyah) dan pola bersikapnya (nafsiyyah) yang dilandaskan pada aqidah islam. Disini, tampak jelas bahwa sikap mental maju sesungguhnya adalah buah dari pola sikap yang didorong secara produktif oleh pola pikir islami. Berikut adalah sejumlah sikap mental maju yang didorong oleh pola pikir yang islami.
a.    Sigap, cekatan, langsung dikerjakan.
b.    Tanggap dan aktif.
c.    Rajin, telaten, tekun.
d.   Kerja lebih.
e.    Jujur dan bertanggung jawab.
f.     Disiplin.
g.    Teliti, kerja terbaik.
4.    Unsur Kewaspadaan atau intuisi
Intuisi atau juga dikenal sebagai feeling adalah sesuatu yang abstrak, sulit digambarkan, namun acapkali menjadi kenyataan jika dirasakan serta diyakini benar dan lalu diusahakan. Dalam persfektif islam intuisi dapat dinilai sebagai bagian lanjut dari pemikiran dan sikap mental maju yang telah dimiliki seorang muslim. Seorang muslim memang dituntut untuk mengaplikasikan pemahaman Islam dalam menjalankan kegiatan hidupnya. Proses aplikasi ini dapat dilakukan di antaranya dengan cara menumbuhkan kesadaran dan melatih kepekaan perasaan. Selain itu intuisi juga dapat ditumbuhkan dari keadrengan (ketekunan dan kesabaran untuk jangka waktu yang panjang) dalam melakukan sesuatu pekerjaan disertai dengan selalu mengingat bahwa bekerja adalah menifestasi dari rasa syukur. Perlu ditumbuhkan etos kerja yang islami dengan cara sebagai berikut.
a.    Niat ikhlas karena Allah SWT. semata; bahwa perbuatan manusia akan diperhitungkan sesuai dengan niatnya (“sesungguhnya segala perbuatan bergantung pada niatnya; dan seseorang akan memperoleh pahala sesuai dengan apa yang diniatkan – HR. Asy-Syaikhain).
b.    Kerja keras; bekerja dengan sungguh-sungguh, sepenuh hati, jujur, dan mencari kerja dengan cara-cara yang halal pula. Pesan Rasulullah saw.: “Sesungguhnya Allah mencintai hamba-Nya yang bekerja dan terampil. Barangsiapa bersusah payah mencari nafkah untuk keluarganya, maka dia serupa dengan seorang mujahid di jalan Allah.” (HR. Ahmad)
c.    Memiliki cita-cita tinggi.
d.   Takwa; melakukan apa yang diperintahkan dan meninggalkan segala sesuatu yang dilarang agama. Dengan membiasakan diri terhadap hal-hal yang baik dan menolak segala yang tercela, secara otomatis menjadikan seseorang “berbeda” dari kebanyakan orang.





DAFTAR PUSTAKA
Muhammad, Etika Bisnis Islam, Yogyakarta: UPP AMP YKPN, Januari 2004.
Muhammad, Paragdima, Metodologi dan Aplikasi Ekonomi Syari’ah,       Yogyakarta: Graha Ilmu, t.t.
Rajafi, Ahmad, Masa Depan Hukum Bisnis Islam di Indonesia,Yogyakarta: PT. LkiS Printing Cemerlang, 2013.
Yusanto, Widjajakusuma, Menggagas Bisnis Islami, Jakarta: Gema Insani Pers, 2002.




[1]Muhammad, Etika Bisnis Islami, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2004), hal. 256.
[2]Ibid, hal. 256.
[3]Ibid, hal. 256.
[4]Ahmad Rajafi, Masa Depan Hukum Bisnis Islam di Indonesia, (Yogyakarta: LkiS, 2013), hal. 39.
[5]Muhammad, op.cit., hal. 256.
[6]Muhammad, Paradigma, Metodologi dan Aplikasi Ekonomi Syariah, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008), hal.63.
[7]Ibid, hal. 65.
[8]Ibid, hal. 65.
[9]Ibid, hal. 66-67.

Minggu, 24 Januari 2016

Biografi dan Pemikiran Tasawuf Ibnu 'Arabi

Diposting oleh Mukaramah di 20.30 0 komentar

Kelompok VI

BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN TASAWUF IBNU ‘ARABI
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah: Akhlak Tasawuf
Dosen: DR. H. JIRHANUDDIN


Disusun oleh

MUKARAMAH
NIM: 1504120424
NUR JANAH
NIM: 1504120432

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKARAYA
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
JURUSAN EKONOMI ISLAM
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
TAHUN 2016 M

A.  Pendahuluan

Doktrin Ibnu Arabi tentang Wahdatul Wujud (kesatuan wujud) dan insan kamil (manusia sempurna) mewarnai keragaman pemikiran tentang tasawuf dan juga merupakan tokoh tasawuf yang fenominal dalam peradaban Islam. Perbedaan dalam pandangan tasawuf merupakan hal biasa, karena para ahli sufi untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya dengan jalan dan cara yang berbeda-beda. Terlebih tema-tema yang diusung menyangkut hakikat dan makna hidup yang tak pernah berhenti. Terpinggirkannya pemikiran dan ajaran Ibnu Arabi karena terbatasnya para pengikutnya dan literatur yang tersebar  serta karakteristik dengan bahasa agama yang berbenturan dengan bahasa budaya perpaduan dan tradisi tasawuf dengan mengekspresikan pengalaman, penghayatan komitmen dan konsep keragaman dimensi metafisis transendental. Dengan demikian memahami pemikiran tasawuf Ibnu Arabi yang fenomenal akan menambah khazanah ke ilmuan dan mengambil hikmah dari sejarah kehidupan dan pemikiran seorang tokoh tasawuf.






B.     Biografi Ibn ‘Arabi
Nama lengkapnya adalah Abu Bakr Muhammad bin Muhyiddin al-Hatimi al-Ta’i al-Andalusi. Di Andalusi (Barat) dia dikenal dengan nama Ibn ‘Arabi, tanpa alif-lam (bukan Ibnu al-Arabi). Dia biasa juga disebut dengan al-Qutb, al-Gaus, al-Syaikh al-Akbar, atau al-Kibrit al-Ahmar. Dia lahir pada tanggal 17 Ramadhan 560 H./28 Juli 1163 M. di Murcia, Andalusia Tenggara dan meninggal pada tanggal 28 Rabiul akhir 638 H./60 november 1240 M.[1]
Ibn ‘Arabi berasal dari keluarga berpangkat, hartawan dan ilmuwan di Mercia, Andalusia Tenggara. Ketika ia berumur 8 tahun keluarganya pindah ke Sevilla, tempat dimana ia mulai menuntut ilmu dan belajar al-Qur’an, Hadits dan fiqih bersama sejumlah murid pada seorang faqih terkenal di Andalusia, Ibn Hazm al-Jahiri. Setelah berumur 30 tahun mulailah dia berkelana ke berbagai kawasan Andalusia dan kawasan ilmu bagian Barat. Di berbagai daerah ini dia belajar kepada beberapa orang sufi, diantaranya Abu Madyan al-Gaus al-Talimsari. Kemudian selama beberapa waktu dia pergi bolak-balik/mondar-mandir antara Hijaz, Yaman, Syria, Iraq dan Mesir. Akhirnya pada tahun 620 Hijriah dia menetap di Hijaz hingga akhir hayatnya. Makamnya sampai saat ini tetap terpelihara dengan baik disana.[2]

C.  Pendidikan Ibnu ‘Arabi
Ibn Arabi mendapatkan pendidikan dan guru terbaik dan juga memperoleh keseluruhan pengetahuan agama yang diajarkan. Era kehidupan Ibn Arabi adalah masa-masa puncak kepopuleran ilmu-ilmu agama Islam di Andalusia (Spanyol-Islam) dan masa-masa puncak meningkatnya kegiatan-kegiatan penelitian dan pendidikan. Ibn Arabi bahkan mendapatkan pelajaran tambahan melalui guru-guru privat yang dipanggil ke rumah  karena keluarganya memang cukup mampu untuk itu. Karena itu, Ibn Arabi tumbuh menjadi pemuda yang penuh potensi dan menjelang dewasa ia telah mahir dengan semua pengetahuan keagamaan.[3] Yang membuat Ibn Arabi menjadi sangat ketermuka karena konsentrasi dan pendalamannya yanag serius dan istiqomah dalam bidang spiritualitas yang kemudian mengantarkannya pada pencapaian pemahaman Islam yang benar-benar menyeluruh dan komprehensip, yang lalu ia tuangkan dalam lembaran karya-karyanya yang sangat banyak.
Adapun tentang pendidikan syariatnya, dikatakan bahwa pendidikan Ibn Arabi memang didomenasi dengan pelajaran Al-Qur’an dan Hadist dengan intensivitas yang jauh dari seimbang dibandingkan studinya dalam bidang fiqih dan syariat. Akan tetapi informasi tentang sedikitnya kuantitas studi syariat Ibn Arabi ini tidak didukung oleh kenyataan betapa mendalamnya perhatian Ibn Arabi tehadap permasalahan syariat dan begitu terperincinya ia mendiskusikan topik ini dalam kitab-kitabnya. Sebagaimana diterangkan Chodkiewicz, topik syariat dan fiqih dalam kitab Al-Futuhat Al-Makkiyyah Ibn Arabi yang menghabiskan lebih dari 1500 halaman apa bila dicetak dalam format buku yang umum.[4]

D.  Karya-karya Ibn ‘Arabi
Dalam Concise Encyclopaedia of Arabic Civilization  disebutkan jumlah karya Ibn ‘Arabi mencapai 300 buah, dan hanya 150 buah yang dapat dijumpai. Dari semua itu hanya sebagian kecil yang disebutkan dan dari buku-bukunya yang dapat ditemui hingga sekarang ada dua buah yang sangat terkenal yang menggambarkan corak ajaran tasawufnya, yaitu Al-Futuhat Al-Makkiyah dan Fusus Al-Hikam. Dr. Muhammad Yusuf Musa mengatakan, kitab Al-Futubat dan Fusus merupakan sumber utama bagi siapa yang ingin menkaji ajaran tasawuf Ibn ‘Arabi. Menurut Ibn Arabi, kitabnya Al-Futuhat Al-Makkiyah adalah imla dari Tuhan dan kitabnya Fusus Al-Hikmah adalah pemberian Rasulullah saw.[5] Posisinya yang begitu tinggi dalam kalangan tasawuf, membuatnya sampai digelari al-Syaikh al-Akbar. Sebagian kaum Skolastik di Eropa mengenalnya dengan baik, semisal Raymond Lull.[6]
Secara kronologis, berikut ini adalah daftar karya-karya Ibnu Arabi:
1.    Mashahid al-Asrar al-Qudsiyya (Contemplations of the Holy Mysteries) (Written in Andalusia, 590/1194).
2.    Al-Tadbirat al-Ilahiyya (Divine Governance of the Human Kingdom). Written in Andalusia.
3.    Kitab Al-Isra (The Book of Night Journey). Written in Fez, 594/1198.
4.    Mawaqi al-Nujun (Settings of the Stars). Writen in Almeria, 595/1199.
5.    Anqa Mughrib (The Fabulous Gryphon of the West), Written in Andalusia, 595/1199.
6.    Insha al-Dawa’ir (The Description of the Encompassing Circles). Written in Tunis, 598/1201.
7.    Mishkat al-Anwar (The Niche of Lights). Written in Mecca, 599/1202/03.
8.    Hilyat al-Abdul (the Adornment of the Substitutes). Written in Taif, 599/1203.
9.    Ruh al-Quds (The Epistle of the Spirit of Holiness0. Written in Mecca, 600/1203.
10.     Taj al-Rasail (The Crown of Epistles). Written in Mecca, 600/1203.
11.     Kitab al-Alif, Kitab al-Ba’, Kitab al-Ya. Written in Yerusalem, 601/1204.
12.     Tanazzulat al-Mawsiliyyai (Descents of Revelation). Written in Mosul, 601/1205.
13.     Kitab al-Jalal wa al-Jamal (The Book of Majesty and Beauty). Written in Mosul, 601/1205.
14.     Kitab Kunh ma la budda lil murid minhu (What is essential for the seeker). Mosul, 601/1205.
15.     Fusus al-Hikam (Vessels of Wisdom). Damascus, 627/1229.
16.     al-Futuhat al-Makkiyya (Meccan Illuminations). Mecca, 1202-1231 (629).[7]

E.  Ajaran Tasawuf Ibnu ‘Arabi
Diantara ajaran terpenting Ibn ‘Arabi adalah tentang kesatuan wujud (Wahdat al-Wujud) yaitu paham bahwa manusia dan Tuhan pada hakikatnya adalah satu kesatuan wujud. Ibn ‘Arabi adalah tokoh pertama penyusun paham kesatuan wujud dalam tasawuf. Aliran ini pada dasarnya berlandaskan tonggak-tonggak rasa, sebagaimana terungkap dalam perkataanya: “Maha Suci Dzat yang menciptakan segala sesuatu, dan Dia adalah segala sesuatu itu sendiri. Ungkapan terkenal para penganut kesatuan wujud, lewat ucapan Ibn ‘Arabi tersebut, timbul karena mereka tidak bisa menerima pendapat tentang penciptaan dari suatu ketiadaan (creation ex nibilo), mereka menolak kepercayaan bahwa pada suatu masa, alam mengada dari ketiadaan. Persoalan ini bagi kaum sufi yang tidak menganut paham kesatuan wujud dikenal sebagai “masalah penciptaan alam”.[8] Menurut paham ini bahwa setiap sesuatu yang ada memiliki dua aspek, yaitu aspek luar dan aspek dalam. Aspek luar disebut makhluk (al-khalaq) aspek dalam disebut  Tuhan (al-haqq). Menurut paham ini aspek yang sebenarnya ada hanyalah aspek dalam (Tuhan) sedangkan aspek luar hanyalah bayangan dari aspek dalam tersebut. Sebagaimana doktrin-doktrin beliau dalam kitab Futuhad Al-Makiyyah dan Fushush Al-hikam esensi ketuhanan bagi Ibnu Arabi adalah segala yang ada yang bisa dipandang dari dua aspek: (1) sebagai esensi murni, tunggal dan tanpa atribut (sifat) dan, (2) sebagai esensi yang dikaruniai atribut.
Menurut Ibn Arabi wujud semua yang ada ini hanya satu dan wujud makhluk pada hakikatnya adalah wujud khaliq pula. Tidak ada perbedaan antara keduanya dari segi hakikat. Adapun kalau ada yang mengira bahwa antara wujud khaliq dan makhluk ada perbedaan, hal itu dilihat dari sudut pandang panca indra lahir dan akal yang terbatas kemampuannya dalam menangkap hakikat apa yang ada pada Dzat-Nya dari kesatuan dzatiah yang segala sesuatu berhimpun pada-Nya.[9] Menurutnya wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah dan Allah adalah hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara wujud yang qadim yang disebut khaliq dan wujud baru yang disebut makhluk. Kalau antara khaliq dan makhluk bersatu dalam wujudnya mengapa terlihat dua. Ibn Arabi menjawab “sebabnya adalah tidak memandang dari sisi yang satu tetapi memandang keduanya dengan pandangan bahwa keduanya adalah khaliq dari sisi yang satu dan makhluk dari sisi yang satu.”
Ibn ‘Arabi juga mengemukakan teori tentang “Manusia Sempurna” (al-Insan al-Kamil) atau hakekat Muhammad (al-haqiqah al-Muhammadiyyah), yang didasarkan pada paham kesatuan wujud. Manusia sempurna menurut Ibn ‘Arabi adalah alam seluruhnya. Karena Allah ingin “melihat substansi-Nya dalam alam seluruhnya, yang meliputi seluruh hal yang ada, yaitu karena hal ini bersifat wujud serta kepadanya itu Dia mengemukakan rahasia-Nya.” Maka kemunculan manusia sempurna adalah esensi kecemerlangan cermin alam. Ibn ‘Arabi membedakan manusia sempurna menjadi dua. Pertama, manusia sempurna dalam kedudukannya sebagai manusia baru. Kedua, manusia sempurna dalam kedudukannya sebagai manusia abadi. Karena itu, dalam deskripsi Ibn ‘Arabi manusia sempurna adalah “manusia baru yang abadi, yang muncul, bertahan, dan abadi.[10]
Bagi Ibn ‘Arabi tegaknya alam justru oleh manusia sempurna dan “alam ini akan tetap terpelihara selama manusia sempurna masih ada.” Manusia sempurna atau hakekat Muhammad, dengan kata lain adalah sumber seluruh hukum, kenabian, semua wali, atau individu-individu manusia sempurna (yaitu para sufi yang wali). Di sini jelas bahwa ia telah terpengaruh oleh ide al-Hallaj tentang terdahulunya Cahaya Muhammad, karena tidak seorangpun yang telah memperbincangkan ide ini sebelum al-Hallaj. Juga terlihat bahwa Ibn ‘Arabi telah terpengaruh oleh ide Neo-Platonisme dan berbagai sumber filsafat lain yang ditelaahnya.[11] Pendapat Ibn ‘Arabi tentang manusia sempurna atau hakekat Muhammad membuatnya sampai pada pandangan tentang kesatuan agama-agama. Sebab, menurutnya sumber agama-agama itu satu, yaitu hakekat Muhammad. Konsekuensinya, semua agama adalah tunggal dan semuanya itu kepunyaan Allah. Dan seorang yang benar-benar arif adalah seorang yang menyembah Allah dengan setiap bidang kehidupannya. Dengan kata lain, dapat dinyatakan bahwa ibadah yang benar adalah hendaknya seorang hamba memandang semua apapun sebagai termasuk ruang lingkup realitas Dzat yang Tunggal, yaitu Allah, sebagimana yang dikemukakan dalam liriknya berikut:
Dulu tidak kusenangi temanku
Jika agamanya lain dari agamuku
Kini kalbuku bisa menampung semua
Ilalang perburuan kijang atau biara pendeta
Kuil pemuja berhala atau Ka’bah haji berdatangan
Lauh Taurat atau mushaf al-Qur’an
Kupeluk agama cinta, ke manapun yang ku tuju
Kendaraanku, cinta, yalah agamaku dan imanku
Dan ucapannya pula:
Terhadap Khalik, makhluk pun memeluk semua yang dipercaya
Dan aku memeluk semua yang mereka percaya

















F.     Kesimpulan
Nama lengkap Ibn Arabi adalah Abu Bakr Muhammad bin Muhyiddin al-Hatimi al-Ta’i al-Andalusi. Di Andalusi (Barat) dia dikenal dengan nama Ibn ‘Arabi, tanpa alif-lam (bukan Ibnu al-Arabi). Dia biasa juga disebut dengan al-Qutb, al-Gaus, al-Syaikh al-Akbar, atau al-Kibrit al-Ahmar. Dia lahir pada tanggal 17 Ramadhan 560 H./28 Juli 1163 M. di Murcia, Andalusia Tenggara dan meninggal pada tanggal 28 Rabiul akhir 638 H./60 november 1240 M. Ibn Arabi mendapatkan pendidikan dan guru terbaik dan juga memperoleh keseluruhan pengetahuan agama yang diajarkan. Bahkan dia mendapatkan pelajaran tambahan melalui guru-guru privat yang dipanggil ke rumah  karena keluarganya memeng cukup mampu untuk itu. Karena itu, Ibn Arabi tumbuh menjadi pemuda yang penuh potensi dan menjelang dewasa ia telah mahir dengan semua pengetahuan keagamaan. Secara kronologis, berikut ini adalah daftar karya-karya Ibnu Arabi: Mashahid al-Asrar al-Qudsiyya, Al-Tadbirat al-Ilahiyya, Kitab Al-Isra, Mawaqi al-Nujun, Anqa Mughrib, Insha al-Dawa’ir, Mishkat al-Anwar, Hilyat al-Abdul, Ruh al-Quds, Taj al-Rasail, Kitab al-Alif, Kitab al-Ba’, Kitab al-Ya, Tanazzulat al-Mawsiliyyai, Kitab al-Jalal wa al-Jamal, Kitab Kunh ma la budda lil murid minhu, Fusus al-Hikam, dan al-Futuhat al-Makkiyya. Adapun ajaran tasawuf Ibn Arabi adalah tentang Wahdatul Wujud (kesatuan wujud) dan al-Insan al-Kamil (manusia sempurna)


DAFTAR PUSTAKA
A.  Buku
Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Bandung: PUSTAKA, 2003.
Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002.
Faqihsutan, Nurasiah, Meraih Hakikat Melalui Syariat: Telaah Pemikiran Syekh Al-Akbar Ibn Arabi, Bandung: PT Mizan Pustaka, 2005.
B.  Internet



[1]Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, cetakan 2, 2002, hal. 347.
[2]Ibid, hal. 348.
[3]Nurasiah faqihsutan HRP, Meraih Hakikat Melalui Sariat:Talaah Pemikiran Syekh Al-Akbar Ibn Arabi, (Bandung:PT Mizan Pustaka, Oktober 2005), Hal 31.
[4]Ibid, Hal 32.
[5]Asmaran As, op. cit., hal. 348-349.
[6]Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, (Bandung: PUSTAKA, cetakan 3, 2003), hal. 201.
[7]https://id.m.wikipedia.org/wiki/ibnu_arabi. (online pada hari kamis, 22 oktober2015, pukul 13.32 wib).
[8]Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, op.cit., hal. 201-202.
[9]https://ochamsimgl2011.blogspot.co.id/2012/03/inti_ajaran_tasawuf_ibnu_arabi.html?m=i. (online pada hari kamis, 22 oktober2015, pukul 13.53 wib).
[10]Ibid, hal 204.
[11]Ibid, hal 204.
 
 

Kumpulan Makalah, Artikel, dan Karya Tulis Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea