Minggu, 22 Mei 2016

Ruang Lingkup Hukum Adat

Diposting oleh Mukaramah di 21.00


Makalah Kelompok 4

PENGERTIAN POKOK DAN RUANG LINGKUP
HUKUM ADAT
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah: Pengantar Tata Hukum Indonesia
Dosen: Ilhamsyah

Disusun oleh
MUKARAMAH (NIM: 1504120424)
NOR JANAH (NIM: 15041204)
LAILA MAGFIROH (NIM: 1504120436)
TUTI SAFRIANI (NIM: 1504120438)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKARAYA
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
JURUSAN EKONOMI ISLAM
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
TAHUN 2016 M/1437 H.


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Hukum adat di Indonesia adalah suatu kompleks norma-norma yang bersumber pada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi peraturan-peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, sebagian besar tidak tertulis, senantiasa ditaati dan dihormati oleh rakyat, karena mempunyai akibat hukum (sanksi). Tetapi tidak semua adat adalah hukum. Menurut Ter Haar untuk melihat apakah sesuatu adat istiadat itu sudah merupakan hukum adat, maka kita wajib melihat sikap penguasa masyarakat hukum yang bersangkutan terhadap si pelanggar peraturan adat-istiadat yang bersangkutan. Jika penguasa menjatuhkan hukuman pada si pelanggar , maka adat-istiadat itu sudah merupakan hukum adat. Hukum adat berurat-akar pada kebuyaan tradisional. Hukum adat adalah suatu hukum yang hidup karena ia menjelmakan perasaan hukum rakyat yang nyata, untuk itu hukum adat terus-menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri sesuai dengan perkembangan masyarakat.[1]

B.  Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Pokok Hukum Adat Indonesia?
2.      Apa saja dan bagaimana Ruang Lingkup Hukum Adat Indonesia?
3.      Bagaimana sejarah hukum adat?
4.      Bagaimana sifat hukum adat?
5.      Bagaimana Struktur Persekutuan Hukum (Masyarakat Hukum)?

C.  Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui dan memahami pengertian pokok hukum adat di Indonesia.
2.      Mengetahui dan memahami Ruang Lingkup Hukum Adat Indonesia.
3.      Mengetahui sejarah hukum adat.
4.      Mengetahui sifat hukum adat.
5.      Mengetahui Struktur Persekutuan Hukum (Masyarakat Hukum).

D.  Metode Penulisan
Adapun metode yang digunakan dalam pembuatan makalah ini adalah dengan cara menelaah buku-buku kepustakaan sebagai referensi dan menelusuri internet yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam makalah ini.
  
BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Pokok Hukum Adat Indonesia
Hukum adat ialah keseluruhan aturan tingkahlaku yang ada dan sekaligus hukum pula. Dengan kata lain, hukum adat ialah keseluruhan aturan hukum yang tak tertulis. Istilah hukum adat dalam UUDS 104 ayat 1 hendaknya diartikan sebagai hukum yang tidak tertulis. Istilah hukum yang tak tertulis dipakai juga secara resmi, misalnya dalam pasar 32 dan 43 ayat 4 UUDS. Bahwasannya pasal-pasal UUDS tersebut sudah tidak berlaku sekarang, juga tidak berarti hapusnya hukum adat.[2]
Adat sering dipandang sebagai sebuah tradisi sehingga terkesan sangat lokal, ketinggalan jaman, tidak sesuai dengan ajaran agama dan lain-lainnya. Hal ini dapat dimaklumi karena “adat” adalah suatu aturan tanpa adanya sanksi riil (hukuman) di masyarakat kecuali menyangkut soal dosa adat yang erat berkaitan dengan soal-soal pantangan untuk dilakukan (tabu dan kualat). Terlebih lagi muncul istilah-istilah adat budaya, adat istiadat, dll. Kata adat berasal dari bahasa Arab yang berarti kebiasaan atau tradisi. Hubungannya dengan hukum adalah bahwa adat atau kebiasaan dapat menjadi atau dijadikan hukum dengan syarat tidak bertentangan dengan kepentingan umum.[3]
Dalam tata hukum Hindia-Belanda dikenal sejenis hukum yang di sebut adatrecht. Itu lazim diterjemahkan dengan istilah hukum adat. Istilah adatrecht dalam dogmatik hukum Hindia-Belanda adalah ciptaan Prof. dr. C. Snouck Hurgronje, tetapi baru oleh Prof. Mr. C. Van Vollenhoven diadatkan sebagai pengertian yang teknis yuridis. Juga Prof, van Vollenhoven itulah yang pertama-tama dan sertamerta dalam garis-garis keliling yang tegas menjunjung hukum tak tertulis yang berlaku bagi rakyat Indonesia asli dari alam rakyat dan dari alam raja-raja kedua-keduanya sebagai objek dari pada ilmu pengetahuan hukum positif dan pelajaran tersendiri, dan demikan juga pertama-tama dengan kesadaran mengangkat hukum itu sebagai hukum yang harus diterapkan oleh hakim gubernemen (ucapan Prof. Mr. B. Ter Haar Bzn). Jadi adatrecht ialah  keseluruhan aturan tingkahlaku bagi bumiputera dan orang timur asing.[4]
Meskipun hukum adat itu bersumber ketentuan adat-istiadat bangsa Indonesia, tertapi tidak semua adat-istiadat menjadi sumber hukum adat. Hanya adat-istiadat yang mempunyai akibat hukum atau bersanksi saja yang menjadi hukum adat. Sedangkan adat-istiadat yang tidak mempunyai akibat hukum bukan merupakan hukum adat.[5]
B. Ruang Lingkup Hukum Adat Indonesia
Seperti yang kita tahu bahwa hukum adat merupakan hukum yang tak tertulis dan dianut oleh masyarakat dalam wilayah tertentu. Hukum adat juga bisa dikatakan sebagai hukum kebiasaan. Dalam hukum adat, biasanya hal-hal yang termuka di dalamnya adalah hal yang masih ada kaitan erat dengan norma-norma agama dan budaya setempat. Hukum adat selalu sarat akan hal-hal yang tabu untuk dilakukan karena akan mendapatkan balasan berupa dosa ataupun kualat. Apabila hukum adat secara turun temurun diwariskan oleh generasi ke generasi tersebut ditinjau dari ruang lingkupnya, sebenarnya ruang lingkup dari hukm adat tersebut terbahas dalam sebuah lingkungan hukum perdata. Namun tak semua hukum perdata yang ada diatur dalam sebuah hukm adat.  Adapun beberapa ketentuan dari hukm adat yang menjadi tak berlaku setelah diatur dalam sebuah peraturan perundang-undangan, yakni:
1.    Setelah berlakunya KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) tanggal 1 Januari tahun 1918. Berlakunya KUHP tersebut menjadikan ketentuan-ketentuan yang ada pada hukum pidana adat sudah tak yang ada pada hukum pidana adat sudah tak berlaku lagi. Dengan kata lain, KUHP mewakili peraturan-peraturan hukum adat yang sebelumnya menjadi landasan dasar hukum.
2.    Setelah berlakunya UU nomor 5 pada tahun 1960 mengenai ‘Peraturan Dasar Pokok Agraria’ atau yang lebih dikenal dengan UUPA (Undang-undang Pokok Agraria) yang muncul pada tanggal 24 September tahun 1960. Dengan munculnya UU mengenai Agraria tersebut, maka segala ketentuan hukum Agraria dalam masyarakat adat menjadi tak berlaku lagi.
3.    Adanya UU nomor 1 pada tahun 1974 yang memuat mengenai ‘perkawinan’. Undang-undang tersebut dikeluarkan pada tanggal 2 Januari tahun 1974.  Dengan adanya Undang-undang ini, maka hukum ketentuan adat mengenai perkawinan menjadi tak berlaku lagi.
Ketiga undang-undang di atas adalah contoh ketetapan pemerintah yang menjadikan sebuah hukum adat tradisional menjadi tak berlaku lagi. Namun disamping itu, masih banyak masyarakat adat yang masih menganut dan menjunjung tinggi hukum adat di wilayah mereka. Dari beberapa informasi di atas, maka bisa diketahui bahwa ruang lingkup dari hukum adat adalah seluas wilayah dari sekelompok masyarakat adat di wilayah tertentu. Adanya hukum adat adalah bukti keanekaragaman warisan budaya yang ada di Indonesia.[6]
Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven membagi Indonesia menjadi 19 lingkungan hukum adat (rechtsringen). Satu daerah yang garis-garis besar, corak dan sifat hukum adatnya seragam disebutnya sebagai rechtskring. Setiap lingkungan hukum adat tersebut mempunyai hukum ciri-ciri hukum adat yang berbeda satu sama lainnya. Lingkungan hukum adat tersebut adalah sebagai berikut.
1.    Aceh (Aceh Besar, Pantai Barat, Singkel, Semeuleu),
2.    Tanah Gayo, Alas dan Batak beserta Nias,
3.       Daerah Minangkabau (Padang, Agam, Tanah Datar, Limapuluh Kota, tanah Kampar, Kerinci) beserta Mentawai (Orang Pagai),
4.       Sumatera Selatan,
5.       Daerah Melayu (Lingga-Riau, Indragiri, Sumatera Timur, Orang Banjar),
6.       Bangka dan Belitung,
7.       Kalimantan (Dayak Kalimantan Barat, Kapuas, Hulu, Pasir, Dayak, Kenya, Dayak Klemanten, Dayak Landak, Dayak Tayan, Dayak Lawangan, Lepo Alim, Lepo Timei, Long Glatt, Dayat Maanyan, Dayak Maanyan Siung, Dayak Ngaju, Dayak Ot Danum, Dayak Penyambung Punan),
8.       Minahasa,
9.       Gorontalo (Bolaang Mongondow, Suwawa, Boilohuto, Paguyaman)
10.   Daerah Toraja (Sulawesi Tengah, Toraja, Toraja Baree, Toraja Barat, Sigi, Kaili, Tawali, Toraja Sadan, To Mori, To Lainang, Kep. Banggai),
11.   Sulawesi Selatan (Orang Bugis, Bone, Goa, Laikang, Ponre, Mandar, Makasar, Selayar, Muna),
12.   Kepulauan Ternate (Ternate, Tidore, Halmahera, Kao, Tobelo, Kep. Sula),
13.   Maluku, Ambon (Ambon, Hitu, Banda, Kep. Uliasar, Saparua, Buru, Seram, Kep. Kei, Kep. Aru, Kisar)
14.   Irian,
15.   Kep. Timor (Kepulauan Timor, Timor, Timor Tengah, Mollo, Sumba, Sumba Tengah, Sumba Timur, Kodi, Flores, Ngada, Roti, Sayu Bima),
16.   Bali dan Lombok (Bali Tanganan-Pagrisingan, Kastala, Karrang Asem, Buleleng, Jembrana, Lombok, Sumbawa),
17.   Jawa Tengah, Jawa Timur serta Madura (Jawa Pusat, Kedu, Purworejo, Tulungagung, Jawa Timur, Surabaya, Madura),
18.   Daerah Kerajaan (Surakarta, Yogyakarta),
19.   Jawa Barat (Priangan, Sunda, Jakarta, Banten).[7]
C. Sejarah Hukum Adat
Paling tidak ada tiga kategori periodesasi hal penting ketika berbicara tentang sejarah hukum adat, yaitu:
1.    Sejarah proses pertumbuhan atau perkembangan hukum adat itu sendiri. peraturan adat istiadat kita ini pada hakikatnya sudah terdapat pada zaman pra hindu.
2.    Sejarah hukum adat sebagai sistem hukum dari tidak/belum dikenal hingga sampai dikenal dalam dunia ilmu pengetahuan.
3.    Sejarah kedudukan hukum adat sebagai masalah politik hukum di dalam sistem perundang-undangan di Indonesia pada periode ini.
Faktor  yang    mempengaruhi di samping faktor astronomis-iklim dan geografis–kondisi alam–serta watak bangsa yang bersangkutan, maka faktor-faktor terpenting yang mempengaruhi proses perkembangan hukum adat adalah:
1.    Magis dan Animisme
Alam pikiran mistis-magis serta pandangan hidup animistis-magis sesungguhnya dialami oleh tiap bangsa di dunia ini. faktor pertama ini khususnya mempengaruhi dalam empat hal, sebagai berikut:
a.    Pemujaan roh-roh leluhur,
b.    Percaya adanya roh-roh jahat dan baik,
c.    Takut kepada hukuman ataupun pembalasan oleh kekuatan gaib, dan,
d.   Dijumpainya orang orang yang oleh rakyat dianggap dapat melakukan hubungan dengan kekuatan-kekuatan gaib
2.    Agama
a.    Agama Hindu, pengaruh terbesar agama ini terdapat di bali meskipun pengaruh dalam hukum adatnya sedikit sekali.
b.     Agama Islam, pengaruh terbesar nyata sekali terlihat dalam hukum perkawinan.
c.    Agama Kristen. hukum perkawinan kristen diresepsi dalam hukum adatnya.
d.   Kekuasaan yang lebih tinggi dari pada persekutuan hukum adat.  kekuasaan itu adalah kekuasaan yang meliputi daerah-daerah yang lebih luas daripada wilayah satu persekutuan hukum, seperti misalnya kekuasaan raja-raja, kepala kuria, nagari.
3.    Hubungan dengan orang-orang atau pun kekuasaan asing. Faktor ini sangat besar pengaruhnya. hukum adat yang semula sudah meliputi segala bidang kehidupan hukum, oleh kekuasaan asing–kekuasaan penjajahan belanda–menjadi terdesak sedemikian rupa hingga akhirnya praktis menjadi bidang perdata material saja.[8]
D.  Sifat Hukum Adat
Hukum adat sebagai suatu model hukum dari masyarakat rumpun suku melayu yang tidak terkodifikasi, dan merupakan pernyataan hukum dari budaya suku bangsa itu mempunyai beberapa sifat, yaitu konkret, supel dan dinamis.
1.    Konkret, maksudnya segala sikap tindak itu selalu dilakukan secara terang-teranga/nyata, dengan memakai tanda-tanda yang dimengerti oleh warga masyarakat lainnya dalam lingkungan hukum adat itu sendiri.
2.    Supel, maksudnya hukum adat itu dalam dirinya dibangun dengan asas-asas pokok saja. Soal-soal yang detail diserahkan kepada pengolahan asas-asas pokok itu dengan memerhatikan situasi, kondisi, dan waktu yang dihadapi.
3.    Dinamis, artinya hukum adat itu pada prinsipnya terus-menerus berubah dan berkembang melalui keputusan-keputusan atau penyelesaian-penyelesaian yang dikeluarkan oleh masyarakat sebagai hasil temu rasa dan temu pikir melalui permusyawaratan.[9]
E.   Struktur Persekutuan Hukum (Masyarakat Hukum)
Menurut A. Siti Soetami, bahwa faktor yang menjadi dasar ikatan yang mengikat anggota-anggota persekutuan hukum itu dikenal tiga macam tipe, yaitu:
1.    Tipe genealogis (keturunan), yakni tipe yang dalam susunan masyarakat hukum berdasarkan atas pertalian darah atau pertalian keturunan.  Persekutuan hukum secara genealogis ini dapat dibedakan menjadi tiga golongan dasar pertalian keturunan, yaitu:
a.    Pertalia darah menurut garis bapak (patrilineal), seperti pada suku Batak, Nias, Bali, dan Sumba. Masyarakat patrilineal ini di mana anggota-anggotanya menarik garis keturunan dari pihak Bapak saja terus-menerus ke atas (vertikal), sehingga berakhir pada suatu kepercayaan, bahwa mereka semua berasal dari satu Bapak asal.
b.    Pertalian darah menurut garis Ibu (matrilineal), seperti pada masyarakat Minangkabau, Kerinci, Samendo. Masyarakat matrilineal di mana anggotanya menarik garis keturunan dari pihak ibu saja, terus-menerus ke atas (vertikal), sehingga berakhir pada suatu kepercayaan, bahwa mereka semua berasal dari seorang Ibu asal.
c.    Pertalian darah menurut garis ibu dan garis bapak (tata susunan parental/bilateral), seperti suku Jawa, Sunda, Madura, Aceh, Dayak, dan lingkungan hukum Melayu.
2.    Tipe teritorial, yaitu masyarakat hukum yang berdasarkan atau bertalian dengan tempat tinggal/daerah. Persekutuan-persekutuan teritorial merupakan pokok pangkal tata susunan yang terpenting bagi masyarakat Indonesia.
3.    Tipe genealogis-teritorial, yaitu pertalian masyarakat di samping pertalian darah, juga berdasarkan daerah/wilayah. Contoh persekutuan hukum yang demikian terdapat di berbagai daerah, yaitu, pulau Mentawai (UMA), pulau Nias (EURI), di daerah Tapanuli (KURIA dan HUTA), di Minangkabau (NAGARI), di Palembang (MARGA), di Maluku (NEGORIJ).[10]







BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Hukum adat ialah keseluruhan aturan tingkahlaku yang ada dan sekaligus hukum pula. Dengan kata lain, hukum adat ialah keseluruhan aturan hukum yang tak tertulis. Istilah hukum adat dalam UUDS 104 ayat 1 hendaknya diartikan sebagai hukum yang tidak tertulis.
Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven membagi Indonesia menjadi 19 lingkungan hukum adat (rechtsringen). Lingkungan hukum adat tersebut adalah: (1) Aceh, (2) Tanah Gayo, Alas dan Batak beserta Nias, (3) Daerah Minangkabau beserta Mentawai, (4) Sumatera Selatan, (5) Daerah Melayu, (6) Bangka dan Belitung, (7) Kalimantan, (8) Minahasa, (9) Gorontalo, (10) Daerah Toraja, (11) Sulawesi Selatan, (12) Kepulauan Ternate, (13) Maluku, Ambon, (14) Irian, (15) Kepulauan Timor, (16) Bali dan Lombok, (17) Jawa Tengah, Jawa Timur serta Madura, (18) Daerah Kerajaan (Surakarta, Yogyakarta), dan (19) Jawa Barat (Priangan, Sunda, Jakarta, Banten).
Paling tidak ada tiga kategori periodesasi hal penting ketika berbicara tentang sejarah hukum adat, yaitu: (1) Sejarah proses pertumbuhan atau perkembangan hukum adat itu sendiri, (2) Sejarah hukum adat sebagai sistem hukum dari tidak/belum dikenal hingga sampai dikenal dalam dunia ilmu pengetahuan, dan (3) Sejarah kedudukan hukum adat sebagai masalah politik hukum di dalam sistem perundang-undangan di Indonesia.
Hukum adat merupakan pernyataan hukum dari budaya suku bangsa mempunyai beberapa sifat, yaitu konkret, supel dan dinamis.
Menurut A. Siti Soetami, bahwa faktor yang menjadi dasar ikatan yang mengikat anggota-anggota persekutuan hukum itu dikenal tiga macam tipe, yaitu: (1) tipe genealogis, (2) tipe teritorial, dan (3) tipe genealogis-teritorial.
B.  Saran
Kami menyadari, masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam penulisan makalah ini. Untuk itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun.
DAFTAR PUSTAKA
A.  Buku
Ishaq, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2015.
Pudjosewojo, Kusumadi, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, Jakarta, SINAR GRAFIKA, 1993.

B.  Internet



[2]Kusumadi Pudjosewojo, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, Jakarta, SINAR GRAFIKA, 1993: hlm. 77.
[4]Kusumadi Pudjosewojo, Pedoman Pelajaran..., hlm 78-79.
[5]Ishaq, Pengantar Hukum Indonesia, Ed. 1, Cet. 2, Jakarta: Rajawali Pers, 2015, hlm 302.             
[7]Ishaq, Pengantar Hukum Indonesia..., hlm 303-304.
[9]Ishaq, Pengantar Hukum..., hlm 303.
[10]Ishaq, Pengantar Hukum..., hlm 305-306.


2 komentar:

baptistetackman mengatakan...

Gr5 titanium steel plate with polished blade and aluminum frame
Gr5 titanium titanium tv apk steel titanium alloys plate with polished blade 2019 ford edge titanium for sale and aluminum frame; Made micro touch titanium trim where to buy for maximum comfort; Great for serious titanium wedding band sets and seasoned players

sloly mengatakan...

n402t4innkv036 vibrators,sex toys,vibrators,dog dildo,vibrators,sex toys,vibrators,wolf dildo,double ended dildo l973d7yyovy429

 

Kumpulan Makalah, Artikel, dan Karya Tulis Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea