Makalah Kelompok 4
PENGERTIAN POKOK DAN RUANG LINGKUP
HUKUM ADAT
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah: Pengantar Tata Hukum Indonesia
Dosen: Ilhamsyah
Disusun oleh
MUKARAMAH (NIM: 1504120424)
NOR JANAH (NIM: 15041204)
LAILA MAGFIROH (NIM: 1504120436)
TUTI SAFRIANI (NIM: 1504120438)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKARAYA
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
JURUSAN EKONOMI ISLAM
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
TAHUN 2016 M/1437 H.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum adat
di Indonesia adalah suatu kompleks norma-norma yang bersumber pada perasaan
keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi peraturan-peraturan
tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, sebagian
besar tidak tertulis, senantiasa ditaati dan dihormati oleh rakyat, karena
mempunyai akibat hukum (sanksi). Tetapi tidak semua adat adalah hukum. Menurut
Ter Haar untuk melihat apakah sesuatu adat istiadat itu sudah merupakan hukum
adat, maka kita wajib melihat sikap penguasa masyarakat hukum yang bersangkutan
terhadap si pelanggar peraturan adat-istiadat yang bersangkutan. Jika penguasa
menjatuhkan hukuman pada si pelanggar , maka adat-istiadat itu sudah merupakan
hukum adat. Hukum adat berurat-akar pada kebuyaan tradisional. Hukum adat
adalah suatu hukum yang hidup karena ia menjelmakan perasaan hukum rakyat yang
nyata, untuk itu hukum adat terus-menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang
seperti hidup itu sendiri sesuai dengan perkembangan masyarakat.[1]
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa Pengertian Pokok Hukum Adat Indonesia?
2.
Apa saja dan bagaimana Ruang Lingkup Hukum Adat Indonesia?
3.
Bagaimana sejarah hukum adat?
4.
Bagaimana sifat hukum adat?
5.
Bagaimana Struktur Persekutuan Hukum (Masyarakat Hukum)?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui dan memahami pengertian pokok hukum adat di Indonesia.
2.
Mengetahui dan memahami Ruang Lingkup Hukum Adat Indonesia.
3.
Mengetahui sejarah hukum adat.
4.
Mengetahui sifat hukum adat.
5.
Mengetahui Struktur Persekutuan Hukum (Masyarakat Hukum).
D.
Metode Penulisan
Adapun
metode yang digunakan dalam pembuatan makalah ini adalah dengan cara menelaah
buku-buku kepustakaan sebagai referensi dan menelusuri internet yang
berhubungan dengan materi yang dibahas dalam makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pokok Hukum Adat Indonesia
Hukum adat ialah keseluruhan aturan tingkahlaku yang ada dan
sekaligus hukum pula. Dengan kata lain, hukum adat ialah keseluruhan aturan
hukum yang tak tertulis. Istilah hukum adat dalam UUDS 104 ayat 1 hendaknya
diartikan sebagai hukum yang tidak tertulis. Istilah hukum yang tak tertulis
dipakai juga secara resmi, misalnya dalam pasar 32 dan 43 ayat 4 UUDS.
Bahwasannya pasal-pasal UUDS tersebut sudah tidak berlaku sekarang, juga tidak
berarti hapusnya hukum adat.[2]
Adat sering
dipandang sebagai sebuah tradisi sehingga terkesan sangat lokal, ketinggalan
jaman, tidak sesuai dengan ajaran agama dan lain-lainnya. Hal ini dapat
dimaklumi karena “adat” adalah suatu aturan tanpa adanya sanksi riil (hukuman)
di masyarakat kecuali menyangkut soal dosa adat yang erat berkaitan dengan
soal-soal pantangan untuk dilakukan (tabu dan kualat). Terlebih lagi muncul
istilah-istilah adat budaya, adat istiadat, dll. Kata adat
berasal dari bahasa Arab yang berarti kebiasaan atau tradisi. Hubungannya
dengan hukum adalah bahwa adat atau kebiasaan dapat menjadi atau dijadikan
hukum dengan syarat tidak bertentangan dengan kepentingan umum.[3]
Dalam tata hukum Hindia-Belanda dikenal sejenis hukum yang di sebut
adatrecht. Itu lazim diterjemahkan dengan istilah hukum adat. Istilah adatrecht
dalam dogmatik hukum Hindia-Belanda adalah ciptaan Prof. dr. C. Snouck
Hurgronje, tetapi baru oleh Prof. Mr. C. Van Vollenhoven diadatkan sebagai
pengertian yang teknis yuridis. Juga Prof, van Vollenhoven itulah yang
pertama-tama dan sertamerta dalam garis-garis keliling yang tegas menjunjung
hukum tak tertulis yang berlaku bagi rakyat Indonesia asli dari alam rakyat dan
dari alam raja-raja kedua-keduanya sebagai objek dari pada ilmu pengetahuan
hukum positif dan pelajaran tersendiri, dan demikan juga pertama-tama dengan
kesadaran mengangkat hukum itu sebagai hukum yang harus diterapkan oleh hakim
gubernemen (ucapan Prof. Mr. B. Ter Haar Bzn). Jadi adatrecht ialah keseluruhan aturan tingkahlaku bagi
bumiputera dan orang timur asing.[4]
Meskipun hukum adat itu bersumber ketentuan adat-istiadat bangsa
Indonesia, tertapi tidak semua adat-istiadat menjadi sumber hukum adat. Hanya
adat-istiadat yang mempunyai akibat hukum atau bersanksi saja yang menjadi
hukum adat. Sedangkan adat-istiadat yang tidak mempunyai akibat hukum bukan
merupakan hukum adat.[5]
B.
Ruang Lingkup Hukum Adat Indonesia
Seperti yang
kita tahu bahwa hukum adat merupakan hukum yang tak tertulis dan dianut oleh
masyarakat dalam wilayah tertentu. Hukum adat juga bisa dikatakan sebagai hukum
kebiasaan. Dalam hukum adat, biasanya hal-hal yang termuka di dalamnya adalah
hal yang masih ada kaitan erat dengan norma-norma agama dan budaya setempat.
Hukum adat selalu sarat akan hal-hal yang tabu untuk dilakukan karena akan
mendapatkan balasan berupa dosa ataupun kualat. Apabila hukum adat secara turun
temurun diwariskan oleh generasi ke generasi tersebut ditinjau dari ruang
lingkupnya, sebenarnya ruang lingkup dari hukm adat tersebut terbahas dalam
sebuah lingkungan hukum perdata. Namun tak semua hukum perdata yang ada diatur
dalam sebuah hukm adat. Adapun beberapa
ketentuan dari hukm adat yang menjadi tak berlaku setelah diatur dalam sebuah
peraturan perundang-undangan, yakni:
1.
Setelah berlakunya KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) tanggal
1 Januari tahun 1918. Berlakunya KUHP tersebut menjadikan ketentuan-ketentuan
yang ada pada hukum pidana adat sudah tak yang ada pada hukum pidana adat sudah
tak berlaku lagi. Dengan kata lain, KUHP mewakili peraturan-peraturan hukum
adat yang sebelumnya menjadi landasan dasar hukum.
2.
Setelah berlakunya UU nomor 5 pada tahun 1960 mengenai ‘Peraturan
Dasar Pokok Agraria’ atau yang lebih dikenal dengan UUPA (Undang-undang Pokok
Agraria) yang muncul pada tanggal 24 September tahun 1960. Dengan munculnya UU
mengenai Agraria tersebut, maka segala ketentuan hukum Agraria dalam masyarakat
adat menjadi tak berlaku lagi.
3.
Adanya UU nomor 1 pada tahun 1974 yang memuat mengenai
‘perkawinan’. Undang-undang tersebut dikeluarkan pada tanggal 2 Januari tahun
1974. Dengan adanya Undang-undang ini,
maka hukum ketentuan adat mengenai perkawinan menjadi tak berlaku lagi.
Ketiga undang-undang di atas adalah contoh ketetapan pemerintah
yang menjadikan sebuah hukum adat tradisional menjadi tak berlaku lagi. Namun
disamping itu, masih banyak masyarakat adat yang masih menganut dan menjunjung
tinggi hukum adat di wilayah mereka. Dari beberapa informasi di atas, maka bisa
diketahui bahwa ruang lingkup dari hukum adat adalah seluas wilayah dari
sekelompok masyarakat adat di wilayah tertentu. Adanya hukum adat adalah bukti
keanekaragaman warisan budaya yang ada di Indonesia.[6]
Prof. Mr.
Cornelis van Vollenhoven membagi Indonesia menjadi 19 lingkungan
hukum adat (rechtsringen). Satu daerah yang garis-garis besar, corak dan
sifat hukum adatnya seragam disebutnya sebagai rechtskring. Setiap
lingkungan hukum adat tersebut mempunyai hukum ciri-ciri hukum adat yang
berbeda satu sama lainnya. Lingkungan hukum adat tersebut adalah sebagai
berikut.
1.
Aceh (Aceh
Besar, Pantai Barat, Singkel, Semeuleu),
2.
Tanah Gayo,
Alas dan Batak beserta Nias,
3. Daerah Minangkabau (Padang, Agam, Tanah Datar,
Limapuluh Kota, tanah Kampar, Kerinci) beserta Mentawai (Orang Pagai),
4.
Sumatera
Selatan,
5.
Daerah
Melayu (Lingga-Riau, Indragiri, Sumatera Timur, Orang Banjar),
6.
Bangka dan
Belitung,
7.
Kalimantan
(Dayak Kalimantan Barat, Kapuas, Hulu, Pasir, Dayak, Kenya, Dayak Klemanten,
Dayak Landak, Dayak Tayan, Dayak Lawangan, Lepo Alim, Lepo Timei, Long Glatt,
Dayat Maanyan, Dayak Maanyan Siung, Dayak Ngaju, Dayak Ot Danum, Dayak
Penyambung Punan),
8.
Minahasa,
9.
Gorontalo
(Bolaang Mongondow, Suwawa, Boilohuto, Paguyaman)
10.
Daerah Toraja
(Sulawesi Tengah, Toraja, Toraja Baree, Toraja Barat, Sigi, Kaili, Tawali,
Toraja Sadan, To Mori, To Lainang, Kep. Banggai),
11.
Sulawesi
Selatan (Orang Bugis, Bone, Goa, Laikang, Ponre, Mandar, Makasar, Selayar,
Muna),
12.
Kepulauan
Ternate (Ternate, Tidore, Halmahera, Kao, Tobelo, Kep. Sula),
13.
Maluku,
Ambon (Ambon, Hitu, Banda, Kep. Uliasar, Saparua, Buru, Seram, Kep. Kei, Kep.
Aru, Kisar)
14.
Irian,
15.
Kep. Timor
(Kepulauan Timor, Timor, Timor Tengah, Mollo, Sumba, Sumba Tengah, Sumba Timur,
Kodi, Flores, Ngada, Roti, Sayu Bima),
16.
Bali dan
Lombok (Bali Tanganan-Pagrisingan, Kastala, Karrang Asem, Buleleng, Jembrana,
Lombok, Sumbawa),
17.
Jawa Tengah,
Jawa Timur serta Madura (Jawa Pusat, Kedu, Purworejo, Tulungagung, Jawa Timur,
Surabaya, Madura),
18.
Daerah
Kerajaan (Surakarta, Yogyakarta),
19.
Jawa Barat
(Priangan, Sunda, Jakarta, Banten).[7]
C. Sejarah Hukum Adat
Paling tidak
ada tiga kategori periodesasi hal penting ketika berbicara tentang sejarah
hukum adat, yaitu:
1. Sejarah proses pertumbuhan atau perkembangan hukum
adat itu sendiri. peraturan adat istiadat kita ini pada hakikatnya sudah
terdapat pada zaman pra hindu.
2. Sejarah hukum adat sebagai sistem hukum dari
tidak/belum dikenal hingga sampai dikenal dalam dunia ilmu pengetahuan.
3. Sejarah kedudukan hukum adat sebagai masalah politik
hukum di dalam sistem perundang-undangan di Indonesia pada periode ini.
Faktor yang mempengaruhi
di samping faktor astronomis-iklim dan geografis–kondisi alam–serta watak
bangsa yang bersangkutan, maka faktor-faktor terpenting yang mempengaruhi
proses perkembangan hukum adat adalah:
1. Magis dan Animisme
Alam pikiran
mistis-magis serta pandangan hidup animistis-magis sesungguhnya dialami oleh
tiap bangsa di dunia ini. faktor pertama ini khususnya mempengaruhi dalam empat
hal, sebagai berikut:
a. Pemujaan roh-roh leluhur,
b. Percaya adanya roh-roh jahat dan baik,
c. Takut kepada hukuman ataupun pembalasan oleh kekuatan
gaib, dan,
d. Dijumpainya orang orang yang oleh rakyat dianggap
dapat melakukan hubungan dengan kekuatan-kekuatan gaib
2. Agama
a. Agama Hindu, pengaruh terbesar agama ini terdapat di
bali meskipun pengaruh dalam hukum adatnya sedikit sekali.
b. Agama Islam,
pengaruh terbesar nyata sekali terlihat dalam hukum perkawinan.
c. Agama Kristen. hukum perkawinan kristen diresepsi
dalam hukum adatnya.
d. Kekuasaan yang lebih tinggi dari pada persekutuan
hukum adat. kekuasaan itu adalah kekuasaan yang meliputi daerah-daerah
yang lebih luas daripada wilayah satu persekutuan hukum, seperti misalnya
kekuasaan raja-raja, kepala kuria, nagari.
3. Hubungan dengan orang-orang atau pun kekuasaan
asing. Faktor ini sangat besar pengaruhnya. hukum adat yang semula sudah
meliputi segala bidang kehidupan hukum, oleh kekuasaan asing–kekuasaan
penjajahan belanda–menjadi terdesak sedemikian rupa hingga akhirnya praktis
menjadi bidang perdata material saja.[8]
D.
Sifat Hukum Adat
Hukum adat sebagai suatu model hukum dari masyarakat rumpun suku
melayu yang tidak terkodifikasi, dan merupakan pernyataan hukum dari budaya
suku bangsa itu mempunyai beberapa sifat, yaitu konkret, supel dan dinamis.
1.
Konkret, maksudnya segala sikap tindak itu selalu dilakukan secara
terang-teranga/nyata, dengan memakai tanda-tanda yang dimengerti oleh warga
masyarakat lainnya dalam lingkungan hukum adat itu sendiri.
2.
Supel, maksudnya hukum adat itu dalam dirinya dibangun dengan
asas-asas pokok saja. Soal-soal yang detail diserahkan kepada pengolahan
asas-asas pokok itu dengan memerhatikan situasi, kondisi, dan waktu yang
dihadapi.
3.
Dinamis, artinya hukum adat itu pada prinsipnya terus-menerus
berubah dan berkembang melalui keputusan-keputusan atau
penyelesaian-penyelesaian yang dikeluarkan oleh masyarakat sebagai hasil temu
rasa dan temu pikir melalui permusyawaratan.[9]
E.
Struktur Persekutuan Hukum (Masyarakat Hukum)
Menurut A. Siti Soetami, bahwa faktor yang menjadi dasar ikatan
yang mengikat anggota-anggota persekutuan hukum itu dikenal tiga macam tipe,
yaitu:
1.
Tipe genealogis (keturunan), yakni tipe yang dalam susunan
masyarakat hukum berdasarkan atas pertalian darah atau pertalian
keturunan. Persekutuan hukum secara
genealogis ini dapat dibedakan menjadi tiga golongan dasar pertalian keturunan,
yaitu:
a.
Pertalia darah menurut garis bapak (patrilineal), seperti pada suku
Batak, Nias, Bali, dan Sumba. Masyarakat patrilineal ini di mana
anggota-anggotanya menarik garis keturunan dari pihak Bapak saja terus-menerus
ke atas (vertikal), sehingga berakhir pada suatu kepercayaan, bahwa mereka
semua berasal dari satu Bapak asal.
b.
Pertalian darah menurut garis Ibu (matrilineal), seperti pada
masyarakat Minangkabau, Kerinci, Samendo. Masyarakat matrilineal di mana
anggotanya menarik garis keturunan dari pihak ibu saja, terus-menerus ke atas
(vertikal), sehingga berakhir pada suatu kepercayaan, bahwa mereka semua
berasal dari seorang Ibu asal.
c.
Pertalian darah menurut garis ibu dan garis bapak (tata susunan
parental/bilateral), seperti suku Jawa, Sunda, Madura, Aceh, Dayak, dan
lingkungan hukum Melayu.
2.
Tipe teritorial, yaitu masyarakat hukum yang berdasarkan atau
bertalian dengan tempat tinggal/daerah. Persekutuan-persekutuan teritorial
merupakan pokok pangkal tata susunan yang terpenting bagi masyarakat Indonesia.
3.
Tipe genealogis-teritorial, yaitu pertalian masyarakat di samping
pertalian darah, juga berdasarkan daerah/wilayah. Contoh persekutuan hukum yang
demikian terdapat di berbagai daerah, yaitu, pulau Mentawai (UMA), pulau Nias
(EURI), di daerah Tapanuli (KURIA dan HUTA), di Minangkabau (NAGARI), di
Palembang (MARGA), di Maluku (NEGORIJ).[10]
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hukum adat ialah keseluruhan aturan tingkahlaku yang ada dan
sekaligus hukum pula. Dengan kata lain, hukum adat ialah keseluruhan aturan
hukum yang tak tertulis. Istilah hukum adat dalam UUDS 104 ayat 1 hendaknya
diartikan sebagai hukum yang tidak tertulis.
Prof. Mr.
Cornelis van Vollenhoven membagi Indonesia menjadi 19 lingkungan
hukum adat (rechtsringen). Lingkungan hukum adat tersebut adalah: (1)
Aceh, (2) Tanah Gayo, Alas dan Batak beserta Nias, (3) Daerah Minangkabau
beserta Mentawai, (4) Sumatera Selatan, (5) Daerah Melayu, (6) Bangka dan
Belitung, (7) Kalimantan, (8) Minahasa, (9) Gorontalo, (10) Daerah Toraja, (11)
Sulawesi Selatan, (12) Kepulauan Ternate, (13) Maluku, Ambon, (14) Irian, (15)
Kepulauan Timor, (16) Bali dan Lombok, (17) Jawa Tengah, Jawa Timur serta
Madura, (18) Daerah Kerajaan (Surakarta, Yogyakarta), dan (19) Jawa Barat
(Priangan, Sunda, Jakarta, Banten).
Paling tidak
ada tiga kategori periodesasi hal penting ketika berbicara tentang sejarah
hukum adat, yaitu: (1) Sejarah proses pertumbuhan atau perkembangan hukum adat
itu sendiri, (2) Sejarah hukum adat sebagai sistem hukum dari tidak/belum
dikenal hingga sampai dikenal dalam dunia ilmu pengetahuan, dan (3) Sejarah
kedudukan hukum adat sebagai masalah politik hukum di dalam sistem
perundang-undangan di Indonesia.
Hukum adat merupakan pernyataan hukum dari budaya suku bangsa
mempunyai beberapa sifat, yaitu konkret, supel dan dinamis.
Menurut A. Siti Soetami, bahwa faktor yang menjadi dasar ikatan
yang mengikat anggota-anggota persekutuan hukum itu dikenal tiga macam tipe,
yaitu: (1) tipe genealogis, (2) tipe teritorial, dan (3) tipe
genealogis-teritorial.
B. Saran
Kami menyadari, masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam
penulisan makalah ini. Untuk itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun.
DAFTAR PUSTAKA
A.
Buku
Ishaq, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers,
2015.
Pudjosewojo,
Kusumadi, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, Jakarta, SINAR
GRAFIKA, 1993.
B.
Internet
[1]http://mnahyanzullfikar.blogspot.co.id/2014/11/makalah-hukum-adat.html
(Online,
selasa, 26 april 2016)
[2]Kusumadi
Pudjosewojo, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, Jakarta, SINAR
GRAFIKA, 1993: hlm. 77.
[3]http://mnahyanzullfikar.blogspot.co.id/2014/11/makalah-hukum-adat.html
(Online,
selasa, 26 april 2016)
[4]Kusumadi
Pudjosewojo, Pedoman Pelajaran..., hlm 78-79.
[7]Ishaq, Pengantar
Hukum Indonesia..., hlm 303-304.
[8]http://mnahyanzullfikar.blogspot.co.id/2014/11/makalah-hukum-adat.html
(Online,
selasa, 26 april 2016)
[9]Ishaq, Pengantar
Hukum..., hlm 303.
[10]Ishaq, Pengantar
Hukum..., hlm 305-306.
2 komentar:
Gr5 titanium steel plate with polished blade and aluminum frame
Gr5 titanium titanium tv apk steel titanium alloys plate with polished blade 2019 ford edge titanium for sale and aluminum frame; Made micro touch titanium trim where to buy for maximum comfort; Great for serious titanium wedding band sets and seasoned players
n402t4innkv036 vibrators,sex toys,vibrators,dog dildo,vibrators,sex toys,vibrators,wolf dildo,double ended dildo l973d7yyovy429
Posting Komentar