Minggu, 15 Mei 2016

DISTRIBUSI PENDAPATAN & KEKAYAAN DALAM SISTEM EKONOMI ISLAM

Diposting oleh Mukaramah di 21.00


Makalah Kelompok 8
DISTRIBUSI PENDAPATAN & KEKAYAAN
DALAM SISTEM EKONOMI ISLAM
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah: Pengantar Ekonomi Islam
Dosen: DR. H. Jirhanuddin 
     

Disusun oleh
MUKARAMAH
NIM: 1504120424
NOR JANNAH
NIM: 1504120432

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKARAYA
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
JURUSAN EKONOMI ISLAM
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
TAHUN 2016 M/1437 H.

A.  PENDAHULUAN
Pada saat ini realita yang nampak adalah telah terjadi ketidakadilan dan ketimpangan dalam pendistribusian pendapatan dan kekayaan baik di  Negara maju atau negara-negara berkembang yang mempergunakan sistem kapitalis sebagai sistem ekonomi negaranya, sehingga menciptakan kemiskinan di mana–mana.[1] Pembahasan mengenai pengertian distribusi pendapatan dan kekayaan, tidak akan lepas dari pembahasan mengenai konsep moral ekonomi yang dianut. Di samping itu, juga tidak lepas dari model instrumen yang diterapkan individu maupun negara, dalam menentukan sumber-sumber maupun cara-cara pendistribusian pendapatnya. Konsep moral ekonomi tersebut, yang berkaitan dengan kebendaan (materi), kepemilikan dan kekayaan (property and wealth concept)  harus dipahami untuk tujuan menjaga perasaan ataupun mengikis kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Idealisme prinsip-prinsip ekonomi harus disepakati dalam koridor pencapain standar hidup secara umum dan pencegahan eksploitasi kelompok kaya terhadap kelompok miskin. Menanggapi kenyataan tersebut Islam sebagai agama yang universal diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan tersebut dan sekaligus menjadi sistem perekonomian suatu Negara.[2]
Untuk itu, pada kesempatan kali ini pemakalah mencoba membahas tentang distribusi pendapatan dan kekayaan dalam sistem ekonomi Islam, konsep moral dalam distribusi pendapatan dan kekayaan, sektor-sektor dalam distribusi pendapatan dan kekayaan,  konsep dalam pemanfaatan kekayaan, larangan penumpukan dan penimbunan kekayaan serta dampak distribusi dalam Islam.
B.  PEMBAHASAN
1.    Pengertian Distribusi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, distribusi adalah penyaluran (pembagian, pengiriman) kepada beberapa orang atau ke beberapa tempat;  pembagian barang keperluan sehari-hari (terutama dalam masa darurat) oleh pemerintah kepada pegawai negeri, penduduk, dan sebagainya.[3] Sedangkan, Menurut ilmu ekonomi, distribusi adalah setiap kegiatan menyalurkan barang dan jasa dari produsen (penghasil) ke tangan konsumen (pemakai) atau yang membutuhkannya.[4]
Distribusi merupakan kegiatan ekonomi lebih lanjut dari kegiatan produksi. Hasil produksi yang diperoleh kemudian disebarkan dan dipindahtangankan dari satu pihak ke pihak lain. Mekanisme yang digunakan dalam distribusi ini tiada lain adalah dengan cara pertukaran antara hasil produksi dengan hasil produksi lainnya atau antara hasil produksi dengan alat tukar (uang). Selain, bentuk distribusi dengan cara pertukaran (exchange) ada juga model distribusi yang bukan berkaitan dengan masalah hasil produksi, melainkan distribusi pendapatan (distribution of income) yang lebih berorientasi pada distribusi kekayaan karena anjuran dan kewajiban agama, seperti zakat, infak, dan shodaqoh, serta bentuk-bentuk distribusi sosial lainnya seperti wakaf, hibah dan hadiah.[5]
2.    Distribusi Pendapatan Dalam Sistem Ekonomi Islam
Distribusi pendapatan dalam Islam merupakan penyaluran harta yang ada, baik dimiliki oleh pribadi atau umum (publik) kepada pihak yang berhak menerima yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan syariat. Fokus dari distribusi pendapatan dalam Islam adalah proses pendistribusiannya. Secara sederhana bisa digambarkan, kewajiban menyisihkan sebagai harta bagi pihak surplus (berkecukupan) diyakini sebagai kompensasi atas kekayaannya dan di sisi lain merupakan insentif (perangsang) untuk kekayaan pihak defisit (berkekurangan).[6]
Adapun prinsip utama dalam konsep distribusi menurut pandangan Islam ialah peningkatan dan pembagian bagi hasil kekayaan agar sirkulasi kekayaan dapat ditingkatkan, sehingga kekayaan yang ada dapat melimpah dengan merata dan tidak hanya beredar diantara golongan tertentu saja. Selain itu, ada pula pendapat yang menyatakan bahwa posisi distribusi dalam aktifitas ekonomi suatu pemerintahan amatlah penting, hal ini dikarenakan distribusi itu sendiri menjadi tujuan dari kebijakan fiskal dalam suatu pemerintahan (selain fungsi alokasi). Sementara Anas Zarqa mengemukakan bahwa definisi distribusi itu sebagai suatu transfer dari pendapatan kekayaan antara individu dengan cara pertukaran (melalui Pasar) atau dengan cara lain, seperti warisan, shadaqah, wakaf dan zakat.[7]
3.    Konsep Moral Islam dalam Sistem Distribusi Pendapatan dan Kekayaan
Secara umum, Islam mengarahkan kegiatan ekonomi berbasis akhlak al-karimah dengan mewujudkan kebebasan dan keadilan dalam setiap aktivitas ekonomi.[8] Pemfokusan pada distribusi tidak berarti Islam tidak memperhatikan keuntungan yang diperoleh dari produksi. Islam memberikan gaji secara adil kepada para pegawai dan buruh jika mereka melaksanakan tugas dengan sempurna, sebagaimana Islam dengan tegas menolak segala bentuk riba. Distribusi ekonomi Islam berdiri di atas dua sendi, yaitu sendi kebebasan dan sendi keadilan.
a.    Sendi Kebebasan
1)      Pengakuan hak milik pribadi, tanda pertama kebebasan
menyadari bahwa pengakuan akan kepemilikan adalah hal yang sangat penting. Setiap hasil ekonomi seorang muslim, dapat menjadi hak miliknya. Karena hal inilah yang menjadi motivasi dasar atas aktivitas produksi dan pembangunan. Landasannya, jika seseorang yang berusaha lebih keras daripada orang lain dan tidak diberikan apresiasi, misalnya dalam bentuk pendapatan, maka tentunya tidak ada orang yang mau berusaha dengan keras. Pendapatan itu sendiri tidak akan ada artinya kecuali dengan mengakui adanya hak milik. Motivasi ini kemudian membimbing manusia untuk terus berkompetensi dalam menggapai kepemilikannya.[9]
2)      Warisan, pengakuan terhadap hak milik yang paling menonjol
Ada dua hak yang utama dalam warisan, yaitu:
(a)  Hak yang tetap dan kekal, yaitu kekaknya pemilikan kekalnya keberadaan barang dan bisa jadi hakiki dan bisa jadi majazi (anggapan atau fiquratif). Hakiki, jika harta yang dimiliki bisa dipergunakan dan dibelanjakan untuk membeli barang-barang yang bersifat temporer, seperti makanan, pakaian, dan perabot rumah tangga dan di bawah kekuasaanya selama hidupnya. Pemilikan hakiki bisa berubah menjadi pemilikan majazi dalam dua keadaan, yaitu: pertama, harta milik yang bisa habis sedangkan pemiliknya belum sempat mempergunakannya. Kedua, harta yang tidak bisa dibelanjakan, seperti rumah dan tanah yang ditinggal mati pemiliknya.
(b)  Hak bebas membelanjakan harta milik.
Dalam pemilikan yang terakhir ini, tergambar pemilikan secara majazi. Berbagai syariat dan aliran berusaha meletakkan hukum pemilikan pribadi ini dan hukum perpindahan barang yang dimiliki pewaris kepada orang sesudahnya, berupa bangunan dan harta benda. Perpindahan ini tercapai dengan cara wasiat yang disampaikan oleh pemilik harta kepada orang lain setelah ia wafat, yang ditentukan semasa ia hidup. Atau, warisan diterima oleh anggota keluarga yang ditinggalkan atau oleh kaum kerabat yang menurut ketentuan Islam adalah yang paling berhak menerima harta yang ditinggalkan itu.[10]
b.    Sendi Keadilan
Keadilan dalam Islam bukanlah prinsip nomor dua, melainkan akar prinsip. Keadilan diterapkan pada semua ajaran Islam dan peraturan-peraturannya baik akidah, syariat, atau etika.[11] Keadilan adalah keseimbangan antar individu dan masyarakat, antara suatu masyarakat dan masyarakat lainnya. Keseimbangan ini tidak akan terwujud tanpa melaksanakan syariat yang telah ditetapkan oleh Allah. Prof. Abbas Al Akkad berkata, “persamaan yang baik ialah keadilan yang di dalamnya tidak terdapat unsur kezaliman. Oleh sebab itu, para ahli tidak bisa mendefinisikan persamaan kewajiban karena persamaan kewajiban di dalam perbedaan kemampuan adalah tindakan zalim. Mereka juga tidak bisa mendefinisikan persamaan hak di dalam kewajiban yang berbeda adalah kezaliman yang lebih nista lagi. Maka, cara yang paling terjamin ialah persamaan yang tumbuh dalam memperoleh kesempatan kerja dan berusaha memperoleh sarana untuk itu.[12] Jadi, Ekses etikonomi untuk pembahasan mekanisme distribusi pendapatan atas hak kepemilikan materi/ kekayaan dalam Islam mencerminkan beberapa hal berikut:
a.    Pemberlakuan hak kepemilikan individu pada suatu benda, tidak menutupi sepenuhnya akan adanya hak yang sama bagi orang lain.
b.    Negara mempunyai otoritas kepemilikan atas kepemilikan individu yang tidak bertanggung jawab terhadap hak miliknya.
c.    Dalam hak kepemilikan berlaku sistematika konsep takaful/ jaminan sosial (sesama muslim atau sesama manusia secara umum).
d.   Hak milik umum dapat menjadi hak milik pribadi (konsep usaha dan niatan).
e.    Konsep kepemilikan dapat meringankan sejumlah konsekuensi hukum syariah (hudud).
f.     konsep kongsi dalam hak yang melahirkan keuntungan materi harus merujuk kepada sistem bagi hasil.
g.    Ada hak kepemilikan orang lain dalam hak kepemilikan harta.[13]
4.    Sektor-sektor Distribusi Pendapatan dan Kekayaan
Sektor-sektor distribusi pendapatan dan kekayaan terbagi pada tiga bentuk, yakni sektor rumah tangga sebagai basis kegiatan produksi, sektor negara dan sektor industri, seperti berikut.
a.    Distribusi Pendapatan dalam Konteks Rumah Tangga (Household)
Mengingat nilai-nilai Islam merupakan faktor endogen dalam rumah tangga seorang muslim, maka haruslah dipahami bahwa seluruh proses aktivitas ekonomi di dalamnya, harus dilandasi legalitas halal haram, mulai dari produktivitas (kerja), hak kepemilikan, konsumsi (pembelanjaan), transaksi, dan investasi yang terkait dengan aspek hukum tersebut kemudian menjadi muara bagaimana seorang muslim melaksanakan proses distribusi pendapatannya.[14]
Distribusi pendapatan dalam konteks rumah tangga tidak terlepas dari shadaqah. Shadaqah dalam kontek terminologi Al-Qur’an dapat dipahami dalam dua aspek, yaitu shadaqah wajibah dan shadaqah nafilah.
1)   Shadaqah wajibah berarti bentuk-bentuk pengeluaran rumah tangga yang berkaitan dengan instrumen distribusi pendapatan berbasis kewajiban. Untuk kategori ini bisa berarti kewajiban seseorang sebagai muslim dengan muslim lainnya, seperti nafkah, zakat, dan warisan.
2)   Shadaqah nafilah (sunnah) yang berarti bentuk-bentuk pengeluaran rumah tangga yang berkaitan dengan instrumen distribusi pendapatan berbasis amalan sunat, seperti infaq, aqiqah, dan wakaf.[15]
 Distribusi pendapatan dalam konteks rumah tangga juga berkaitan dengan terminologi had/hudud (hukuman) atau pertobatan dalam perbuatan dosa. Hukuman terjadi, bilamana seorang muslim melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan aturan syariah, kemudian sebagai konsekuensi hukumannya ia diharuskan membayar denda (kafarat) dan dam (diyat). Kafarat dan dam ini merupakan satu bentuk hukuman yang bernuansa distribusi-redistribusi pendapatan. Yang menjadi penekanan dalam konsep distribusi pendapatan adalah adanya hak Allah dan Rasul-Nya serta orang muslim lain dari setiap pendapatan orang muslim. Hal ini juga diarahkan sebagai bentuk dari takaful ijtima’i (jaminan sosial) seorang muslim dengan keluarga dan dengan orang lain, sehingga menjamin terjadinya minimalisasi ketidaksetaraan pendapatan (unequality income) dan keadilan sosial (sosial justice).[16]
b.    Distribusi Pendapatan dalam Konteks Negara
Prinsip-prinsip ekonomi yang dibangun di atas nilai moral Islam mencanangkan kepentingan distribusi pendapatan secara adil. Sarjana muslim banyak membicarakan objektivitas perekonomian berbasis Islam pada level negara terkait dengan penjaminan level minimum kehidupan bagi mereka yang berpendapatan dibawah kemampuan pemenuhan kebutuhan dasar. Negara wajib bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan materi bagi lingkungan sosial maupun individu dengan memaksimalkan pemanfaatan sumber daya yang tersedia. Karena itu, negara wajib mengeluarkan kebijakan yang mengupayakan stabilitas ekonomi, pembangunan sosial ekonomi, pertumbuhan ekonomi yang merata dan lain sebagainya. Negara juga bertanggung jawab atas manajemen kepemilikan publik yang pemanfaatannya diarahkan untuk seluruh anggota masyarakat.[17]
1)   Pengelolaan Sumber Daya
Dalam pengelolaan sumber daya alam yang tersedia, pemerintah (negara) harus mampu mendistribusikan secara baik atas pemanfaatan tanah/lahan dan industri (sumber daya alam). Artinya kesempatan tidak hanya diberikan kepada sekelompok orang untuk menjalankan proses produksi. Kebijakan distribusi menganut kesamaan dalam kesempatan kerja, pemanfaatan lahan-lahan yang menjadi sektor publik, pembelaan kepentingan ekonomi untuk kelompok miskin, menjaga keseimbangan sosial dan investasi yang adil dan merata berdasarkan equity dan keseimbangan antargeografis, area, sektor perkotaan dan pedesaan dan lapangan pekerjaan.
2)   Kompetisi Pasar dan Redistribusi Sistem
Perspektif teori ekonomi menyatakan bahwa pasar adalah salah satu mekanisme yang bisa dijalankan oleh manusia untuk mengatasi problem-problem ekonomi yang terdiri atas: produksi, konsumsi, dan distribusi. Alternatif solusi yang mencuat dalam sejarah peradaban untuk problem ekonomi adalah mekanisme pasar, tradisi (custom), dan ekonomi terpimpin (command econoomics). Walaupun masing-masing memiliki berbagai macam kelemahan, seperti tradisi yang bersifat statis dan cenderung tidak adaptif terhadap tuntutan perubahan, ataupun ekonomi terpimpin yang menjadi kewalahan ketika masyarakat menjadi semakin besar, sistem ini menghadapi limitasi karena sumber daya yang dibutuhkan untuk mempertahankan power kepemimpinan tentunya juga makin besar.
3)   Model Ekonomi Politik (As-Siyasah Al-Iqtishodiyah)
Para ekonomi muslim sudah mengilustrasikan secara jelas bahwa ajaran Islam memiliki orientasi dan modal kebijakan ekonomi tersendiri. Model kebijakan ekonomi politik Islam bersifat statis dan berkembang pada waktu yang bersamaan. Adapun kebijakan statisnya terletak pada tataran prinsip dan fundamental. Hal ini untuk menjamin kebutuhan dasar bagi setiap individu maupun masyarakat, tanpa harus melihat level pembangunan masing-masing ataupun kekuatan alat-alat produksinya. Sedangkan yang dimaksud model kebijakan ekonomi politiknya bersifat berkembang adalah bahwa setiap prinsip dasarnya sangat mudah diadaptasikan terhadap berbagai macam model aplikasi di segala tempat dan waktu.[18]
c.    Distribusi Pendapatan dalam Konteks Industri
Distribusi pendapatan sektor industri terdiri dari mudharabah, musyarakah, upah maupun sewa. Mudharabah  merupakan bentuk kerjasama antara pihak pemodal (shahibu maal) dengan pengusaha (mudharib) dengan sistem bagi hasil. Pemodal, sebagai pihak yang mempunyai kelebihan harta namun, tidak punya kesempatan ataupun waktu untuk mengembangkan hartanya. Ia mendistribusikan sebagaian kekayaannya kepada pengusaha dalam bentuk investasi jangka pendek maupun jangka panjang secara mudharabah (bagi hasil). Musyarakah merupakan kerja sama beberapa pemodal dalam mengelola suatu usaha dengan sistem bagi hasil. Distribusi kekayaan seperti ini merupakan bentuk distribusi dalam bentuk investasi, baik jaga pendek maupun jangka panjang. Dengan berhimpunannya beberapa pemodal dalam mendirikan suatu perusahan seperti PT atau pun CV tentu akan memberikan peluang kepada masyarakat menjadi tenaga kerja pada perusahaan tersebut dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk mendapatkan pendapatan dalam bentuk upah/gaji. Di samping itu, rumah tangga yang mempunyai lahan ataupun bangunan yang digunakan perusahaan juga akan mendapatkan pendapatan dalam bentuk sewa.[19]
5.      Konsep Pemanfaatan Kekayaan dalam Islam
Dalam Islam memang diyakini bahwa Allah SWT memberikan harta pada seluruh ummat tidak merata. Ada yang mendapatkan harta melebihi kebutuhan hidupnya dan ada yang sedikit dibawah jumlah kebutuhan mereka sehingga diperlukan interaksi dalam distribusi harta. Dengan ketentuan kolektifitas yang dimiliki sistem ekonomi Islam kelangkaan menjadi bukan masalah. Seperti dalam firman Allah swt., dalam surat Al-Dzariyat: 19.
Artinya: “dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian”
Dari ayat tersebut, dapat disimpulkan bahwa Islam menjamin kehidupan tiap individu serta jamaah untuk tetap sebagai sebuah komunitas yang berpegang pada ketentuan yang ada. Akan tetapi apabila masyarakat berdiri di atas kesenjangan yang lebar antara individu yang lain dalam memenuhi kebutuhannya maka harus diwujudkan adanya keseimbangan antara individu dengan mengupayakan distribusi yang merata. Mekanisme kepemilikan terhadap sesuatu tidak dapat dilakukan oleh semua individu maka diperlukan sistem yang menjamin terjadinya distribusi dalam perekonomian.[20]
Tujuan utama dari harta itu diciptakan Allah adalah untuk menunjang kehidupan manusia. Oleh karena itu, harta harus digunakan untuk maksud tersebut. Tentang penggunaan harta yang telah diperoleh itu ada beberapa hal petunjuk dari Allah sebagai berikut.
a.    Digunakan untuk kepentingan kebutuhan hidup sendiri. Seperti dalam firman Allah swt., pada beberapa ayat Al-Qur’an diantaranya pada surah Al-Mursalat: 43.
Artinya: (Dikatakan kepada mereka): "Makan dan minumlah kamu dengan enak karena apa yang telah kamu kerjakan".
Meskipun yang disebutkan dalam ayat di atas hanyalah makan dan minum, namun tentunya yang dimaksud di sini adalah semua kebutuhan hidup seperti pakaian dan perumahan. Hal ini berarti Allah menyuruh menikmati hasil usaha untuk kepentingan  hidup di dunia. Namun dalam memanfaatkannya ada beberapa hal yang dilarang, yaitu:
1)   Israf, yaitu berlebih-lebihan dalam memanfaatkan harta, meskipun untuk kepentingan diri sendiri. Seperti, makan lebih dari tiga kali sehari, mempunyai mobil lebih dari yang diperlukan dan mempunyai rumah melebihi kebutuhan.
2)   Tabzir atau boros dalam arti menggunakan harta untuk sesuatu yang tidak diperlukan dan menghambur-hamburkan harta untuk sesuatu yang tidak bermanfaat.
b.    Digunakan untuk memenuhi kewajibannya terhadap Allah. Kewajiban kepada Allah itu ada dua macam, yaitu:
1)   Kewajiban materi yang berkenaan dengan kewajiban agama yang merupakan utang terhadap Allah seperti untuk keperluan membayar zakat atau nazar atau kewajiban materi lainnya
2)   Kewajiban materi yang harus ditunaikan untuk keluarga yaitu istri, anak dan kerabat.
c.    Dimanfaatkan bagi kepentingan sosial.[21]
6.      Larangan Penumpukan dan Penimbunan Kekayaan
Di samping Allah memberi pedoman dalam pemanfaatan harta, Allah juga melarang umat Islam menggunakan hartanya untuk tujuan yang negatif yang dapat menyulitkan kehidupan orang, menyakiti orang dan menjauhkan orang dari melaksanakan pemerintah agama. Secara lebih khusus Nabi melarang menggunakan harta yang diperolehnya dengan cara-cara sebagai berikut:
a.    Iddikhar, yaitu menumpuk barang untuk kepentingan sendiri dan untuk dimakan sendiri sewaktu orang lain telah mengalami kelangkaan makanan.
b.    Ihtikar, yang berarti penimbunan secara spekulatif dalam bentuk membeli barang sewaktu harga masih stabil kemudian menimbunnya ditempat tertentu sehingga terjadi kelangkaan, kemudian dijualnya dengan harga yang lebih tinggi.[22]
7.      Dampak distribusi dalam Islam
Distribusi pendapatan merupakan bagian yang penting dalam membentuk kesejahteraan. Dampak dari distribusi pendapatan bukan saja pada aspek ekonomi tetapi juga aspek sosial dan politik. Oleh karena itu Islam memberi perhatian lebih terhadap distribusi pendapatan dalam
masyarakat. Maka islam memperhatikan berbagai sisi dari perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhannya, misalnya dalam dalam jual-beli, hutang piutang, dan sebagainya. Dampak yang  di timbulkan dari distribusi pendapatan yang di dasarkan atas konsep islam;
a.    Dalam konsep Islam perilaku distribusi pendapatan dalam masyarakat merupakan bagian dari bentuk proses kesadaran masyarakat dalam mendekatkan diri kepada Allah, oleh karena itu, distribusi dalam Islam akan menciptakan kehidupan yang saling menghargai dan menghormati
antara satu dengan yang lain karena tidak akan sempurna eksistensinya sebagai manusia jika tidak ada yang lain.
b.    Seorang muslim akan menghindari praktek distribusi yang menggunakan barang-barang yang merusak masyarakat misalnya minuman keras, obat terlarang, pembajakan, dan sebagainya sebagai media distribusi.
c.    Negara bertanggung jawab terhadap mekanisme distribusi dengan mengedepankan kepentingan umum dari pada kepentingan kelompok, atau golongan apalagi perorangan. Oleh karena itu sektor publik yang digunakan untuk kemaslahatan umat jangan sampai jatuh di tangan orang yang mempunyai visi kepentingan kelompok, golongan dan kepentingan pribadi.
d.   Negara mempunyai tanggung jawab untuk menyediakan fasilitas publik yang berhubungan dengan masalah optimalisasi distribusi pendapatan, seperti; sekolah, rumah sakit, lapangan kerja, perumahan, jalan, jembatan dan sebagainya. Sarana tersebut sebagai bentuk soft distribution yang di gunakan untuk mengoptimalkan sumber daya yang berkaitan. Misalnya, sekolah akan mencetak manusia yang pandai sehingga bisa memikirkan yang terbaik dari keadaan umat manusia, rumah sakit menciptakan orang sehat sehingga bisa bekerja dengan baik, lapangan kerja mengurangi angka kriminalitas dan ketakutan dan sebagainya.[23]

C.  PENUTUP
Demikianlah pembahasan makalah sederhana kami tentang, Distribusi Pendapatan dan Kekayaan dalam sistem Ekonomi Islam. Semoga dengan adanya makalah ini, dapat membantu memperluas pemahaman kita tentang distribusi pendapatan dan kekayaan dalam sistem Ekonomi Islam. Khususnya tentang kepemilikan harta, baik itu milik pribadi maupun publik. Karena sesungguhnya, apa yang kita miliki sekarang ini adalah titipan atau amanah dari Allah swt., dan didalamnya ada hak untuk saudara kita. Untuk itu, pergunakan dan manfaatkanlah dengan baik, terutama untuk menolong sesama.
Kami menyadari, masih banyak kesalahan dalam makalah ini. Baik dalam pengetikan maupun presentasi. Untuk itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun. Terima kasih.


DAFTAR PUSTAKA
A.              Buku
Aziz, Abdul, Ekonomi Islam Analisis Mikro dan Makro, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008.
Djamil, Fathurrahman, Hukum Ekonomi Islam: Sejarah, Teori, dan Konsep, Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Nasution, Mustafa Edwin, dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Jakarta: Kencana, 2007.
Rozalinda, Ekonomi Islam Teori dan Aplikasinya pada Aktivitas Ekonomi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014.
Syarifuddin, Amir, Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta: Kencana, 2010.
Qardhawi, Yusuf, Norma dan Etika Ekonomi Islam, diterjemahkan oleh Zainal Arifin dan Dahlia Husin, Jakarta: Gema Insani Press, 1997.

B.  Internet
Amiroh, Distribusi Pendapatan dan Kekayaan dalam Islam, http://amirohazzahrah.blogspot.co.id/2014/05/distribusi-pendapatan-dan-kekayaan.html (online, sabtu, 16 april 2016)
Kamus Besar Bahasa Indonesia versi online, http://kbbi.web.id/distribusi.



[1]Amiroh, Distribusi Pendapatan dan Kekayaan dalam Islam, http://amirohazzahrah.blogspot.co.id/2014/05/distribusi-pendapatan-dan-kekayaan.html (online, sabtu, 16 april 2016)
[2]Mustafa Edwin Nasution, dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Jakarta: Kencana, 2007,  hlm 118.

[3]Kamus Besar Bahasa Indonesia versi online, http://kbbi.web.id/distribusi.

[5]Abdul Aziz, Ekonomi Islam Analisis Mikro dan Makro, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008, hlm 85-86.
[6]Rozalinda, Ekonomi Islam Teori dan Aplikasinya pada Aktivitas Ekonomi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014, hlm 131.
[7]Fathurrahman Djamil, Hukum Ekonomi Islam: Sejarah, Teori, dan Konsep, Jakarta: Sinar Grafika, 2013, hlm 185.
[8]Rozalinda, Ekonomi Islam Teori..., hlm 134.
[9]Mustafa Edwin Nasution, dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam..., hlm 120-121.
[10]Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, diterjemahkan oleh Zainal Arifin dan Dahlia Husin, Jakarta: Gema Insani Press, 1997, hlm 209-212.
[11]Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam..., hlm 222.
[12]Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam..., hlm 228.
[13]Mustafa Edwin Nasution, dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam..., hlm 130.
[14]Mustafa Edwin Nasution, dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam..., hlm 135.
[15]Rozalinda, Ekonomi Islam Teori..., hlm 137.
[16]Mustafa Edwin Nasution, dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam..., hlm135-136.
[17]Rozalinda, Ekonomi Islam Teori..., hlm 138-139.
[18]Mustafa Edwin Nasution, dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam..., hlm 148-154.
[19]Rozalinda, Ekonomi Islam..., hlm 140.
[20]Amiroh, Distribusi Pendapatan dan Kekayaan dalam Islam, http://amirohazzahrah.blogspot.co.id/2014/05/distribusi-pendapatan-dan-kekayaan.html (online, sabtu, 16 april 2016)
[21]Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta: Kencana, 2010, hlm 184-187.
[22]Amir Syarifuddin, Garis-Garis..., hlm 188-189.
[23]Amiroh, Distribusi Pendapatan dan Kekayaan dalam Islam, http://amirohazzahrah.blogspot.co.id/2014/05/distribusi-pendapatan-dan-kekayaan.html (online, sabtu, 16 april 2016)
 

0 komentar:

 

Kumpulan Makalah, Artikel, dan Karya Tulis Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea