Makalah Kelompok 8
DISTRIBUSI PENDAPATAN & KEKAYAAN
DALAM SISTEM EKONOMI ISLAM
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah: Pengantar Ekonomi Islam
Dosen: DR. H. Jirhanuddin
Disusun oleh
MUKARAMAH
NIM: 1504120424
NOR JANNAH
NIM: 1504120432
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKARAYA
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
JURUSAN EKONOMI ISLAM
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
TAHUN 2016 M/1437 H.
A.
PENDAHULUAN
Pada saat ini realita yang nampak adalah telah terjadi
ketidakadilan dan ketimpangan dalam pendistribusian pendapatan dan kekayaan
baik di Negara maju atau negara-negara
berkembang yang mempergunakan sistem kapitalis sebagai sistem ekonomi
negaranya, sehingga menciptakan kemiskinan di mana–mana.[1] Pembahasan
mengenai pengertian distribusi pendapatan dan kekayaan, tidak akan lepas dari
pembahasan mengenai konsep moral ekonomi yang dianut. Di samping itu, juga
tidak lepas dari model instrumen yang diterapkan individu maupun negara, dalam
menentukan sumber-sumber maupun cara-cara pendistribusian pendapatnya. Konsep
moral ekonomi tersebut, yang berkaitan dengan kebendaan (materi), kepemilikan
dan kekayaan (property and wealth concept) harus dipahami untuk tujuan menjaga perasaan
ataupun mengikis kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Idealisme
prinsip-prinsip ekonomi harus disepakati dalam koridor pencapain standar hidup
secara umum dan pencegahan eksploitasi kelompok kaya terhadap kelompok miskin.
Menanggapi kenyataan tersebut Islam sebagai agama yang universal diharapkan
dapat menyelesaikan permasalahan tersebut dan sekaligus menjadi sistem
perekonomian suatu Negara.[2]
Untuk itu, pada kesempatan kali ini pemakalah mencoba membahas
tentang distribusi pendapatan dan kekayaan dalam sistem ekonomi Islam, konsep
moral dalam distribusi pendapatan dan kekayaan, sektor-sektor dalam distribusi
pendapatan dan kekayaan, konsep dalam
pemanfaatan kekayaan, larangan penumpukan dan penimbunan kekayaan serta dampak
distribusi dalam Islam.
B.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Distribusi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, distribusi adalah penyaluran (pembagian, pengiriman) kepada
beberapa orang atau ke beberapa tempat;
pembagian barang keperluan sehari-hari (terutama dalam masa darurat)
oleh pemerintah kepada pegawai negeri, penduduk, dan sebagainya.[3]
Sedangkan, Menurut ilmu ekonomi, distribusi adalah setiap kegiatan menyalurkan barang dan jasa dari
produsen (penghasil) ke tangan konsumen (pemakai) atau yang membutuhkannya.[4]
Distribusi merupakan kegiatan ekonomi lebih lanjut dari kegiatan produksi.
Hasil produksi yang diperoleh kemudian disebarkan dan dipindahtangankan dari
satu pihak ke pihak lain. Mekanisme yang digunakan dalam distribusi ini tiada
lain adalah dengan cara pertukaran antara hasil produksi dengan hasil produksi
lainnya atau antara hasil produksi dengan alat tukar (uang). Selain, bentuk
distribusi dengan cara pertukaran (exchange) ada juga model distribusi yang
bukan berkaitan dengan masalah hasil produksi, melainkan distribusi pendapatan
(distribution of income) yang lebih berorientasi pada distribusi
kekayaan karena anjuran dan kewajiban agama, seperti zakat, infak, dan shodaqoh,
serta bentuk-bentuk distribusi sosial lainnya seperti wakaf, hibah dan hadiah.[5]
2.
Distribusi Pendapatan Dalam Sistem Ekonomi Islam
Distribusi pendapatan dalam Islam merupakan penyaluran harta yang
ada, baik dimiliki oleh pribadi atau umum (publik) kepada pihak yang berhak
menerima yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai
dengan syariat. Fokus dari distribusi pendapatan dalam Islam adalah proses
pendistribusiannya. Secara sederhana bisa digambarkan, kewajiban menyisihkan
sebagai harta bagi pihak surplus (berkecukupan) diyakini sebagai kompensasi
atas kekayaannya dan di sisi lain merupakan insentif (perangsang) untuk
kekayaan pihak defisit (berkekurangan).[6]
Adapun prinsip utama dalam konsep distribusi
menurut pandangan Islam ialah peningkatan dan pembagian bagi hasil
kekayaan agar sirkulasi kekayaan dapat ditingkatkan, sehingga kekayaan yang ada
dapat melimpah dengan merata dan tidak hanya beredar diantara golongan tertentu
saja. Selain itu, ada pula pendapat yang menyatakan bahwa posisi distribusi
dalam aktifitas ekonomi suatu pemerintahan amatlah penting, hal ini dikarenakan
distribusi itu sendiri menjadi tujuan dari kebijakan fiskal dalam suatu pemerintahan
(selain fungsi alokasi). Sementara Anas Zarqa mengemukakan bahwa definisi
distribusi itu sebagai suatu transfer dari pendapatan kekayaan antara individu
dengan cara pertukaran (melalui Pasar) atau dengan cara lain, seperti warisan,
shadaqah, wakaf dan zakat.[7]
3.
Konsep Moral Islam dalam Sistem Distribusi Pendapatan dan Kekayaan
Secara umum, Islam mengarahkan
kegiatan ekonomi berbasis akhlak al-karimah dengan mewujudkan kebebasan
dan keadilan dalam setiap aktivitas ekonomi.[8]
Pemfokusan pada distribusi tidak berarti Islam tidak memperhatikan keuntungan
yang diperoleh dari produksi. Islam memberikan gaji secara adil kepada para
pegawai dan buruh jika mereka melaksanakan tugas dengan sempurna, sebagaimana
Islam dengan tegas menolak segala bentuk riba. Distribusi ekonomi Islam berdiri di atas dua sendi, yaitu sendi kebebasan dan sendi
keadilan.
a.
Sendi Kebebasan
1)
Pengakuan hak milik pribadi, tanda pertama kebebasan
menyadari bahwa pengakuan akan kepemilikan adalah hal yang sangat
penting. Setiap hasil ekonomi seorang muslim, dapat menjadi hak miliknya.
Karena hal inilah yang menjadi motivasi dasar atas aktivitas produksi dan
pembangunan. Landasannya, jika seseorang yang berusaha lebih keras daripada
orang lain dan tidak diberikan apresiasi, misalnya dalam bentuk pendapatan,
maka tentunya tidak ada orang yang mau berusaha dengan keras. Pendapatan itu
sendiri tidak akan ada artinya kecuali dengan mengakui adanya hak milik.
Motivasi ini kemudian membimbing manusia untuk terus berkompetensi dalam
menggapai kepemilikannya.[9]
2)
Warisan, pengakuan terhadap hak milik yang paling menonjol
Ada dua hak yang utama dalam warisan, yaitu:
(a)
Hak yang tetap dan kekal,
yaitu kekaknya pemilikan kekalnya keberadaan barang dan bisa jadi hakiki dan
bisa jadi majazi (anggapan atau fiquratif). Hakiki, jika harta yang dimiliki
bisa dipergunakan dan dibelanjakan untuk membeli barang-barang yang bersifat
temporer, seperti makanan, pakaian, dan perabot rumah tangga dan di bawah
kekuasaanya selama hidupnya. Pemilikan hakiki bisa berubah menjadi pemilikan
majazi dalam dua keadaan, yaitu: pertama, harta milik yang bisa habis
sedangkan pemiliknya belum sempat mempergunakannya. Kedua, harta yang
tidak bisa dibelanjakan, seperti rumah dan tanah yang ditinggal mati
pemiliknya.
(b)
Hak bebas membelanjakan
harta milik.
Dalam pemilikan yang terakhir ini, tergambar pemilikan secara
majazi. Berbagai syariat dan aliran berusaha meletakkan hukum pemilikan pribadi
ini dan hukum perpindahan barang yang dimiliki pewaris kepada orang sesudahnya,
berupa bangunan dan harta benda. Perpindahan ini tercapai dengan cara wasiat
yang disampaikan oleh pemilik harta kepada orang lain setelah ia wafat, yang
ditentukan semasa ia hidup. Atau, warisan diterima oleh anggota keluarga yang
ditinggalkan atau oleh kaum kerabat yang menurut ketentuan Islam adalah yang
paling berhak menerima harta yang ditinggalkan itu.[10]
b.
Sendi Keadilan
Keadilan dalam Islam bukanlah prinsip nomor dua, melainkan akar
prinsip. Keadilan diterapkan pada semua ajaran Islam dan peraturan-peraturannya
baik akidah, syariat, atau etika.[11]
Keadilan adalah keseimbangan antar individu dan masyarakat, antara suatu
masyarakat dan masyarakat lainnya. Keseimbangan ini tidak akan terwujud tanpa
melaksanakan syariat yang telah ditetapkan oleh Allah. Prof. Abbas Al Akkad
berkata, “persamaan yang baik ialah keadilan yang di dalamnya tidak terdapat
unsur kezaliman.” Oleh sebab itu, para ahli tidak bisa
mendefinisikan persamaan kewajiban karena persamaan kewajiban di dalam
perbedaan kemampuan adalah tindakan zalim. Mereka juga tidak bisa
mendefinisikan persamaan hak di dalam kewajiban yang berbeda adalah kezaliman
yang lebih nista lagi. Maka, cara yang paling terjamin ialah persamaan yang
tumbuh dalam memperoleh kesempatan kerja dan berusaha memperoleh sarana untuk
itu.[12]
Jadi, Ekses etikonomi untuk pembahasan
mekanisme distribusi pendapatan atas hak kepemilikan materi/ kekayaan dalam Islam
mencerminkan beberapa hal berikut:
a.
Pemberlakuan hak kepemilikan individu pada suatu benda, tidak
menutupi sepenuhnya akan adanya hak yang sama bagi orang lain.
b.
Negara mempunyai otoritas kepemilikan atas kepemilikan individu
yang tidak bertanggung jawab terhadap hak miliknya.
c.
Dalam hak kepemilikan berlaku sistematika konsep takaful/ jaminan
sosial (sesama muslim atau sesama manusia secara umum).
d.
Hak milik umum dapat menjadi hak milik pribadi (konsep usaha dan
niatan).
e.
Konsep kepemilikan dapat meringankan sejumlah konsekuensi hukum
syariah (hudud).
f.
konsep kongsi dalam hak yang melahirkan keuntungan materi harus
merujuk kepada sistem bagi hasil.
g.
Ada hak kepemilikan orang lain dalam hak kepemilikan harta.[13]
4.
Sektor-sektor Distribusi Pendapatan dan Kekayaan
Sektor-sektor distribusi pendapatan dan kekayaan terbagi pada tiga
bentuk, yakni sektor rumah tangga sebagai basis kegiatan produksi, sektor
negara dan sektor industri, seperti berikut.
a.
Distribusi Pendapatan dalam Konteks Rumah Tangga (Household)
Mengingat nilai-nilai Islam merupakan faktor endogen dalam rumah
tangga seorang muslim, maka haruslah dipahami bahwa seluruh proses aktivitas
ekonomi di dalamnya, harus dilandasi legalitas halal haram, mulai dari
produktivitas (kerja), hak kepemilikan, konsumsi (pembelanjaan), transaksi, dan
investasi yang terkait dengan aspek hukum tersebut kemudian menjadi muara
bagaimana seorang muslim melaksanakan proses distribusi pendapatannya.[14]
Distribusi pendapatan dalam konteks rumah tangga tidak terlepas
dari shadaqah. Shadaqah dalam kontek terminologi Al-Qur’an dapat
dipahami dalam dua aspek, yaitu shadaqah wajibah dan shadaqah
nafilah.
1)
Shadaqah wajibah berarti
bentuk-bentuk pengeluaran rumah tangga yang berkaitan dengan instrumen
distribusi pendapatan berbasis kewajiban. Untuk kategori ini bisa berarti
kewajiban seseorang sebagai muslim dengan muslim lainnya, seperti nafkah,
zakat, dan warisan.
2)
Shadaqah nafilah (sunnah)
yang berarti bentuk-bentuk pengeluaran rumah tangga yang berkaitan dengan
instrumen distribusi pendapatan berbasis amalan sunat, seperti infaq, aqiqah,
dan wakaf.[15]
Distribusi pendapatan dalam
konteks rumah tangga juga berkaitan dengan terminologi had/hudud
(hukuman) atau pertobatan dalam perbuatan dosa. Hukuman terjadi, bilamana
seorang muslim melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan aturan syariah,
kemudian sebagai konsekuensi hukumannya ia diharuskan membayar denda (kafarat)
dan dam (diyat). Kafarat dan dam ini merupakan satu bentuk hukuman yang
bernuansa distribusi-redistribusi pendapatan. Yang menjadi penekanan dalam
konsep distribusi pendapatan adalah adanya hak Allah dan Rasul-Nya serta orang
muslim lain dari setiap pendapatan orang muslim. Hal ini juga diarahkan sebagai
bentuk dari takaful ijtima’i (jaminan sosial) seorang muslim dengan keluarga
dan dengan orang lain, sehingga menjamin terjadinya minimalisasi
ketidaksetaraan pendapatan (unequality income) dan keadilan sosial (sosial
justice).[16]
b.
Distribusi Pendapatan dalam Konteks Negara
Prinsip-prinsip ekonomi yang dibangun di atas nilai moral Islam
mencanangkan kepentingan distribusi pendapatan secara adil. Sarjana muslim
banyak membicarakan objektivitas perekonomian berbasis Islam pada level negara
terkait dengan penjaminan level minimum kehidupan bagi mereka yang
berpendapatan dibawah kemampuan pemenuhan kebutuhan dasar. Negara wajib bekerja
untuk meningkatkan kesejahteraan materi bagi lingkungan sosial maupun individu
dengan memaksimalkan pemanfaatan sumber daya yang tersedia. Karena itu, negara
wajib mengeluarkan kebijakan yang mengupayakan stabilitas ekonomi, pembangunan
sosial ekonomi, pertumbuhan ekonomi yang merata dan lain sebagainya. Negara
juga bertanggung jawab atas manajemen kepemilikan publik yang pemanfaatannya
diarahkan untuk seluruh anggota masyarakat.[17]
1)
Pengelolaan Sumber Daya
Dalam pengelolaan sumber daya alam yang tersedia, pemerintah
(negara) harus mampu mendistribusikan secara baik atas pemanfaatan tanah/lahan
dan industri (sumber daya alam). Artinya kesempatan tidak hanya diberikan
kepada sekelompok orang untuk menjalankan proses produksi. Kebijakan distribusi
menganut kesamaan dalam kesempatan kerja, pemanfaatan lahan-lahan yang menjadi
sektor publik, pembelaan kepentingan ekonomi untuk kelompok miskin, menjaga
keseimbangan sosial dan investasi yang adil dan merata berdasarkan equity
dan keseimbangan antargeografis, area, sektor perkotaan dan pedesaan dan
lapangan pekerjaan.
2)
Kompetisi Pasar dan Redistribusi Sistem
Perspektif teori ekonomi menyatakan bahwa pasar adalah salah satu
mekanisme yang bisa dijalankan oleh manusia untuk mengatasi problem-problem
ekonomi yang terdiri atas: produksi, konsumsi, dan distribusi. Alternatif
solusi yang mencuat dalam sejarah peradaban untuk problem ekonomi adalah
mekanisme pasar, tradisi (custom), dan ekonomi terpimpin (command
econoomics). Walaupun masing-masing memiliki berbagai macam kelemahan,
seperti tradisi yang bersifat statis dan cenderung tidak adaptif terhadap
tuntutan perubahan, ataupun ekonomi terpimpin yang menjadi kewalahan ketika
masyarakat menjadi semakin besar, sistem ini menghadapi limitasi karena sumber
daya yang dibutuhkan untuk mempertahankan power kepemimpinan tentunya
juga makin besar.
3)
Model Ekonomi Politik (As-Siyasah Al-Iqtishodiyah)
Para ekonomi muslim sudah mengilustrasikan secara jelas bahwa ajaran
Islam memiliki orientasi dan modal kebijakan ekonomi tersendiri. Model
kebijakan ekonomi politik Islam bersifat statis dan berkembang pada waktu yang
bersamaan. Adapun kebijakan statisnya terletak pada tataran prinsip dan
fundamental. Hal ini untuk menjamin kebutuhan dasar bagi setiap individu maupun
masyarakat, tanpa harus melihat level pembangunan masing-masing ataupun
kekuatan alat-alat produksinya. Sedangkan yang dimaksud model kebijakan ekonomi
politiknya bersifat berkembang adalah bahwa setiap prinsip dasarnya sangat
mudah diadaptasikan terhadap berbagai macam model aplikasi di segala tempat dan
waktu.[18]
c.
Distribusi Pendapatan dalam Konteks Industri
Distribusi pendapatan sektor industri terdiri dari mudharabah,
musyarakah, upah maupun sewa. Mudharabah merupakan bentuk kerjasama antara pihak
pemodal (shahibu maal) dengan pengusaha (mudharib) dengan sistem
bagi hasil. Pemodal, sebagai pihak yang mempunyai kelebihan harta namun, tidak
punya kesempatan ataupun waktu untuk mengembangkan hartanya. Ia mendistribusikan
sebagaian kekayaannya kepada pengusaha dalam bentuk investasi jangka pendek
maupun jangka panjang secara mudharabah (bagi hasil). Musyarakah
merupakan kerja sama beberapa pemodal dalam mengelola suatu usaha dengan sistem
bagi hasil. Distribusi kekayaan seperti ini merupakan bentuk distribusi dalam
bentuk investasi, baik jaga pendek maupun jangka panjang. Dengan berhimpunannya
beberapa pemodal dalam mendirikan suatu perusahan seperti PT atau pun CV tentu
akan memberikan peluang kepada masyarakat menjadi tenaga kerja pada perusahaan
tersebut dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk mendapatkan pendapatan
dalam bentuk upah/gaji. Di samping itu, rumah tangga yang mempunyai lahan
ataupun bangunan yang digunakan perusahaan juga akan mendapatkan pendapatan
dalam bentuk sewa.[19]
5.
Konsep Pemanfaatan Kekayaan dalam Islam
Dalam Islam
memang diyakini bahwa Allah SWT memberikan harta pada seluruh ummat tidak
merata. Ada yang mendapatkan harta melebihi kebutuhan hidupnya dan ada yang
sedikit dibawah jumlah kebutuhan mereka sehingga diperlukan interaksi dalam
distribusi harta. Dengan ketentuan kolektifitas yang dimiliki sistem ekonomi
Islam kelangkaan menjadi bukan masalah. Seperti dalam firman Allah swt., dalam
surat Al-Dzariyat: 19.
Artinya: “dan pada harta-harta mereka ada hak untuk
orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian”
Dari ayat
tersebut, dapat disimpulkan bahwa Islam menjamin kehidupan tiap individu serta
jamaah untuk tetap sebagai sebuah komunitas yang berpegang pada ketentuan yang
ada. Akan tetapi apabila masyarakat berdiri di atas kesenjangan yang lebar
antara individu yang lain dalam memenuhi kebutuhannya maka harus diwujudkan
adanya keseimbangan antara individu dengan mengupayakan distribusi yang merata.
Mekanisme kepemilikan terhadap sesuatu tidak dapat dilakukan oleh semua
individu maka diperlukan sistem yang menjamin terjadinya distribusi dalam
perekonomian.[20]
Tujuan utama
dari harta itu diciptakan Allah adalah untuk menunjang kehidupan manusia. Oleh
karena itu, harta harus digunakan untuk maksud tersebut. Tentang penggunaan
harta yang telah diperoleh itu ada beberapa hal petunjuk dari Allah sebagai
berikut.
a.
Digunakan
untuk kepentingan kebutuhan hidup sendiri. Seperti dalam firman Allah swt.,
pada beberapa ayat Al-Qur’an diantaranya pada surah Al-Mursalat: 43.
Artinya:
(Dikatakan kepada mereka): "Makan dan minumlah kamu dengan enak karena apa
yang telah kamu kerjakan".
Meskipun yang disebutkan dalam ayat
di atas hanyalah makan dan minum, namun tentunya yang dimaksud di sini adalah
semua kebutuhan hidup seperti pakaian dan perumahan. Hal ini berarti Allah
menyuruh menikmati hasil usaha untuk kepentingan hidup di dunia. Namun dalam memanfaatkannya
ada beberapa hal yang dilarang, yaitu:
1)
Israf, yaitu berlebih-lebihan dalam
memanfaatkan harta, meskipun untuk kepentingan diri sendiri. Seperti, makan
lebih dari tiga kali sehari, mempunyai mobil lebih dari yang diperlukan dan mempunyai
rumah melebihi kebutuhan.
2)
Tabzir atau boros dalam arti menggunakan
harta untuk sesuatu yang tidak diperlukan dan menghambur-hamburkan harta untuk
sesuatu yang tidak bermanfaat.
b.
Digunakan untuk memenuhi
kewajibannya terhadap Allah. Kewajiban kepada Allah itu ada dua macam, yaitu:
1)
Kewajiban materi yang berkenaan
dengan kewajiban agama yang merupakan utang terhadap Allah seperti untuk
keperluan membayar zakat atau nazar atau kewajiban materi lainnya
2)
Kewajiban materi yang harus
ditunaikan untuk keluarga yaitu istri, anak dan kerabat.
c.
Dimanfaatkan bagi kepentingan
sosial.[21]
6. Larangan
Penumpukan dan Penimbunan Kekayaan
Di
samping Allah memberi pedoman dalam pemanfaatan harta, Allah juga melarang umat
Islam menggunakan hartanya untuk tujuan yang negatif yang dapat menyulitkan
kehidupan orang, menyakiti orang dan menjauhkan orang dari melaksanakan
pemerintah agama. Secara lebih khusus Nabi melarang menggunakan harta yang
diperolehnya dengan cara-cara sebagai berikut:
a.
Iddikhar, yaitu menumpuk barang untuk
kepentingan sendiri dan untuk dimakan sendiri sewaktu orang lain telah
mengalami kelangkaan makanan.
b.
Ihtikar, yang berarti penimbunan secara
spekulatif dalam bentuk membeli barang sewaktu harga masih stabil kemudian
menimbunnya ditempat tertentu sehingga terjadi kelangkaan, kemudian dijualnya
dengan harga yang lebih tinggi.[22]
7.
Dampak distribusi dalam Islam
Distribusi
pendapatan merupakan bagian yang penting dalam membentuk kesejahteraan. Dampak
dari distribusi pendapatan bukan saja pada aspek ekonomi tetapi juga aspek
sosial dan politik. Oleh karena itu Islam memberi perhatian lebih terhadap
distribusi pendapatan dalam
masyarakat. Maka islam memperhatikan berbagai sisi dari perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhannya, misalnya dalam dalam jual-beli, hutang piutang, dan sebagainya. Dampak yang di timbulkan dari distribusi pendapatan yang di dasarkan atas konsep islam;
masyarakat. Maka islam memperhatikan berbagai sisi dari perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhannya, misalnya dalam dalam jual-beli, hutang piutang, dan sebagainya. Dampak yang di timbulkan dari distribusi pendapatan yang di dasarkan atas konsep islam;
a.
Dalam konsep
Islam perilaku distribusi pendapatan dalam masyarakat merupakan bagian dari
bentuk proses kesadaran masyarakat dalam mendekatkan diri kepada Allah, oleh
karena itu, distribusi dalam Islam akan menciptakan kehidupan yang saling
menghargai dan menghormati
antara satu dengan yang lain karena tidak akan sempurna eksistensinya sebagai manusia jika tidak ada yang lain.
antara satu dengan yang lain karena tidak akan sempurna eksistensinya sebagai manusia jika tidak ada yang lain.
b.
Seorang
muslim akan menghindari praktek distribusi yang menggunakan barang-barang yang
merusak masyarakat misalnya minuman keras, obat terlarang, pembajakan, dan
sebagainya sebagai media distribusi.
c.
Negara
bertanggung jawab terhadap mekanisme distribusi dengan mengedepankan
kepentingan umum dari pada kepentingan kelompok, atau golongan apalagi
perorangan. Oleh karena itu sektor publik yang digunakan untuk kemaslahatan
umat jangan sampai jatuh di tangan orang yang mempunyai visi kepentingan
kelompok, golongan dan kepentingan pribadi.
d.
Negara
mempunyai tanggung jawab untuk menyediakan fasilitas publik yang berhubungan
dengan masalah optimalisasi distribusi pendapatan, seperti; sekolah, rumah
sakit, lapangan kerja, perumahan, jalan, jembatan dan sebagainya. Sarana tersebut
sebagai bentuk soft distribution yang di gunakan untuk mengoptimalkan sumber
daya yang berkaitan. Misalnya, sekolah akan mencetak manusia yang pandai
sehingga bisa memikirkan yang terbaik dari keadaan umat manusia, rumah sakit
menciptakan orang sehat sehingga bisa bekerja dengan baik, lapangan kerja
mengurangi angka kriminalitas dan ketakutan dan sebagainya.[23]
C.
PENUTUP
Demikianlah pembahasan makalah sederhana kami tentang, Distribusi
Pendapatan dan Kekayaan dalam sistem Ekonomi Islam. Semoga dengan adanya
makalah ini, dapat membantu memperluas pemahaman kita tentang distribusi
pendapatan dan kekayaan dalam sistem Ekonomi Islam. Khususnya tentang
kepemilikan harta, baik itu milik pribadi maupun publik. Karena sesungguhnya,
apa yang kita miliki sekarang ini adalah titipan atau amanah dari Allah swt.,
dan didalamnya ada hak untuk saudara kita. Untuk itu, pergunakan dan
manfaatkanlah dengan baik, terutama untuk menolong sesama.
Kami menyadari, masih banyak kesalahan dalam makalah ini. Baik
dalam pengetikan maupun presentasi. Untuk itu, kami mengharapkan kritik dan
saran dari pembaca yang bersifat membangun. Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
A.
Buku
Aziz, Abdul, Ekonomi Islam Analisis Mikro dan Makro, Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2008.
Djamil, Fathurrahman, Hukum Ekonomi Islam: Sejarah, Teori, dan
Konsep, Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Nasution, Mustafa Edwin, dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam,
Jakarta: Kencana, 2007.
Rozalinda, Ekonomi Islam Teori dan Aplikasinya pada Aktivitas
Ekonomi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014.
Syarifuddin, Amir, Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta: Kencana,
2010.
Qardhawi, Yusuf, Norma dan Etika Ekonomi Islam, diterjemahkan
oleh Zainal Arifin dan Dahlia Husin, Jakarta: Gema Insani Press, 1997.
B.
Internet
Amiroh, Distribusi Pendapatan dan
Kekayaan dalam Islam, http://amirohazzahrah.blogspot.co.id/2014/05/distribusi-pendapatan-dan-kekayaan.html (online, sabtu, 16 april 2016)
[1]Amiroh, Distribusi
Pendapatan dan Kekayaan dalam Islam, http://amirohazzahrah.blogspot.co.id/2014/05/distribusi-pendapatan-dan-kekayaan.html (online,
sabtu, 16 april 2016)
[2]Mustafa Edwin
Nasution, dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Jakarta: Kencana,
2007, hlm 118.
[3]Kamus Besar Bahasa Indonesia versi online, http://kbbi.web.id/distribusi.
[5]Abdul Aziz, Ekonomi
Islam Analisis Mikro dan Makro, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008, hlm 85-86.
[6]Rozalinda, Ekonomi
Islam Teori dan Aplikasinya pada Aktivitas Ekonomi, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2014, hlm 131.
[7]Fathurrahman
Djamil, Hukum Ekonomi Islam: Sejarah, Teori, dan Konsep, Jakarta: Sinar
Grafika, 2013, hlm 185.
[8]Rozalinda, Ekonomi
Islam Teori..., hlm 134.
[9]Mustafa Edwin
Nasution, dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam..., hlm 120-121.
[10]Yusuf Qardhawi,
Norma dan Etika Ekonomi Islam, diterjemahkan oleh Zainal Arifin dan
Dahlia Husin, Jakarta: Gema Insani Press, 1997, hlm 209-212.
[11]Yusuf Qardhawi,
Norma dan Etika Ekonomi Islam..., hlm 222.
[12]Yusuf Qardhawi,
Norma dan Etika Ekonomi Islam..., hlm 228.
[13]Mustafa Edwin
Nasution, dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam..., hlm 130.
[14]Mustafa Edwin
Nasution, dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam..., hlm 135.
[15]Rozalinda, Ekonomi
Islam Teori..., hlm 137.
[16]Mustafa Edwin
Nasution, dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam..., hlm135-136.
[17]Rozalinda, Ekonomi
Islam Teori..., hlm 138-139.
[18]Mustafa Edwin
Nasution, dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam..., hlm 148-154.
[19]Rozalinda, Ekonomi
Islam..., hlm 140.
[20]Amiroh, Distribusi
Pendapatan dan Kekayaan dalam Islam, http://amirohazzahrah.blogspot.co.id/2014/05/distribusi-pendapatan-dan-kekayaan.html (online,
sabtu, 16 april 2016)
[21]Amir Syarifuddin,
Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta: Kencana, 2010, hlm 184-187.
[22]Amir Syarifuddin,
Garis-Garis..., hlm 188-189.
[23]Amiroh, Distribusi
Pendapatan dan Kekayaan dalam Islam, http://amirohazzahrah.blogspot.co.id/2014/05/distribusi-pendapatan-dan-kekayaan.html (online,
sabtu, 16 april 2016)
0 komentar:
Posting Komentar