Minggu, 03 April 2016

Sejarah Perkembangan Hukum Islam di Dunia Islam

Diposting oleh Mukaramah di 11.30


Revisi Makalah Kelompok 6

SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM
DI DUNIA ISLAM
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah: Aspek Hukum dalam Muamalat
  Dosen: Itsla Yunisva Aviva, M.E.Sy.
 

Disusun oleh

MUKARAMAH (NIM: 1504120424)
MULIANI (NIM: 1504120410)
NOSHRATINA ALYANI (NIM: 1504120448)
M. SYARIF (NIM: 1504120435)
HAFIDZ (NIM: 1202120169)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKARAYA
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
JURUSAN EKONOMI ISLAM
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
TAHUN 2016 M/1437 H.


KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan hidayah, inayah dan rahmat-Nya, sehingga penyusunan makalah ini selesai dengan baik dan tepat waktu. Karena tanpa pertolongan-Nya kami selaku penyusun tidak akan mampu menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa semoga tercurahkan selalu shalawat serta salam kepada manusia termulia yakni baginda Rasulullah Muhammad SAW. yang berkat usaha kerja kerasnya kita dipersatukan dalam persaudaraan yang lurus lagi benar dan semoga kita selaku ummatnya selalu dalam jalan-Nya dan mengikuti jalan Nabi Muhammad SAW.
Dalam pembuatan makalah ini kami tidak begitu mendapat banyak kesulitan karena adanya saran dari berbagai pihak tentang pembuatannya. Namun, tidak menutup kemungkinan makalah ini masih jauh dari sempurna dan banyak kekurangan, baik dari penulisan, ejaan dan sebagainya. Oleh karenanya, kami sangat mengharapkan dengan lapang dada, kritik dan saran yang bersifat membangun.
Akhirnya, kami selaku penyusun mengucapkan terima kasih kepada Ibu. Itsla Yunisva Aviva, M.E.SY. yang telah memberikan tugas dan bimbingannya kepada kami, yang mana ini akan membantu kami agar terbiasa dalam pembuatan makalah. Tidak lupa kami ucapkan pula terima kasih kepada seluruh pihak yang telah memberikan bantuannya sehingga kami mampu menyelesaikan makalah ini dengan baik.


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam, sangatlah penting untuk kita ketahui. Selain untuk memperdalam pengetahuan kita tentang sejarah hukum Islam, namun yang paling penting adalah bagaimana kita bisa memahami betul sumber dan dasar hukum Islam itu sendiri, karena dengan mempelajari sejarah kita bisa merasakan betapa dekat dan besar perjuangan para ulama dahulu terhadap  perkembangan hukum  Islam sekarang dengan menggali ilmu-ilmu yang terkandung dalam al-Qur’an maupun Sunnah. Kita tidak bisa menutup mata terhadap sejarah, kalau bukan karena ulama-ulama kita terdahulu yang mempelajari, mengajarkan serta menulis buku-buku tentang Islam atau sejarahnya, maka mustahil bagi kita sekarang ini untuk  merasakan manisnya hukum Islam itu sendiri.[1]
B.  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana perkembangan hukum Islam pada masa Nabi Muhammad saw.?
2.      Bagaimana perkembangan hukum Islam pada masa Khulafaur Rasyidin?
3.      Bagaimana perkembangan hukum Islam pada masa Imam Mazhab?
C.  Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui perkembangan hukum Islam pada masa Nabi Muhammad saw.
2.      Mengetahui perkembangan hukum Islam pada masa Khulafaur Rasyidin.
3.      Mengetahui perkembangan hukum Islam pada masa Imam Mazhab.
D.  Metode Penulisan
Adapun metode yang digunakan dalam pembuatan makalah ini adalah dengan cara menelaah buku-buku kepustakaan sebagai referensi dan menelusuri internet yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam makalah ini.



BAB II
PEMBAHASAN
A.  Perkembangan Hukum Islam di Masa Nabi Muhammad saw. (610 M – 632 M)
Agama Islam sebagai induk hukum Islam muncul di Semenanjung Arab, di suatu daerah tandus yang dikelilingi oleh laut pada ketiga sisinya dan lautan pasir pada sisi keempat. Daerah ini adalah daerah yang sangat panas, di tengah-tengah gurun pasir yang amat sangat luas yang mempengaruhi cara hidup dan cara berfikir orang-orang Badui yang tinggal di tempat itu. Untuk memperoleh air bagi makanan ternaknya, mereka selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Alam yang begitu keras membentuk manusia-manusia individualistis. Perjuangan memperoleh air dan padang rumput merupakan sumber-sumber perselisihan antar mereka. Dan karena itu pula mereka hidup dalam klen-klen yang disusun berdasarkan garis patrilineal, yang saling bertentangan.
Kedudukan anak laki-laki sangat penting dalam sebuah keluarga karena melalui anak laki-laki inilah garis keturunan ditarik dan dia pulalah di dalam keluarga yang dianggap akan meneruskan keturunan dan membawa nama baik keluarganya. Dan karena statusnya yang demikian, maka laki-laki mempunyai kekuasaan yang amat besar dibanding wanita. Kedudukan wanita dipandang sangat rendah, wanita hanya dibebani kewajiban tanpa imbalan hak sama sekali. Karena itu pula, jika lahir anak perempuan dalam satu rumah tangga, seluruh keluarga menjadi malu karena merasa tidak bisa mempertahankan keturunannya. Karena itu keluarga bersangkutan, berusaha untuk melenyapkan nyawa bayi wanita atau membunuhnya kemudian setelah ia berumur beberapa tahun.
Pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal tahun Gajah yang bertepatan dengan tanggal 20 April tahun 571 Masehi, lahirlah seorang bayi yang oleh ibunya (Aminah) diberi nama Ahmad, dan oleh kakeknya Abdul Muthalib dinamakan Muhammad. Kedua nama ini berasal dari satu akar kata yang di dalam bahasa Arab berarti terpuji atau yang dipuji. Setelah ibunya meninggal Muhammad dipelihara oleh kakeknya yang bernama Abdul Muthalib dan setelah kakeknya meninggal dunia pula, Muhammad masih diasuh oleh pamannya Abu Thalib. Muhammad berasal dari keluarga terhormat tetapi tidak kaya dan sebagai seorang pemuda ia hidup di kalangan mereka yang berkuasa di Mekah. Pada usia 25 tahun beliau kawin dengan seorang janda yang bernama Khadijah yang umurnya lima belas tahun lebih tua dari beliau dan masih mempunyai hubungan kekerabatan.[2]
Pada waktu masyarakat Arab dalam keadaan yang memprihatinkan Nabi Muhammad sering menyendiri di gua Hira selama bulan Ramadhan. Ketika beliau mencapai umur 40 tahun, yakni pada tahun 610 Masehi, beliau menerima wahyu pertama. Pada waktu itu beliau ditetapkan sebagai Rasul atau Utusan Allah. Tiga tahun kemudian, Malaikat Jibril membawa perintah Allah untuk menyebarluaskan wahyu yang diterimanya kepada umat manusia. Menurut penelitian Abdul Wahab Khallaf, Guru Besar Hukum Islam Universitas Kairo, ayat-ayat hukum mengenai soal-soal ibadah jumlahnya 140 ayat dalam Al Qur’an. Ayat-ayat ibadah ini berkenaan dengan soal shalat, zakat dan haji. Sedangkan ayat-ayat hukum mengenai mu’amalah jumlahnya 228, lebih kurang 3% dari jumlah seluruh ayat-ayat yang terdapat dalam l Qur’an. Klasifikasi 228 ayat hukum yang terdapat dalam Al Qur’an itu menurut penelitian Prof. Abdul Wahhab Khallaf adalah sebagai berikut:
1.    Hukum Keluarga yang terdiri dari hukum perkawinan dan kewarisan sebanyak 70 ayat.
2.    Hukum Perdata lainnya, di antaranya hukum perjanjian (perikatan) terdapat 70 ayat.
3.    Mengenai hukum ekonomi keuangan termasuk hukum dagang terdiri dari 10 ayat.
4.    Hukum Pidana terdiri dari 30 ayat.
5.    Hukum Tata Negara terdapat 10 ayat.
6.    Hukum Internasional terdapat 25 ayat.
7.    Hukum Acara dan Peradilan terdapat 13 ayat.
Ayat-ayat tersebut pada umumnya berupa prinsip-prinsip yang harus dikembangkan lebih lanjut sewaktu Nabi Muhammad masih hidup, tugas untuk mengembangkan dan menafsirkan ayat-ayat hukum ini terletak pada diri beliau sendiri melalui ucapan, perbuatan dan sikap diam beliau yang disebut sunnah yang kini dapat dibaca dalam kitab-kitab hadis.[3]
B.  Perkembangan Hukum Islam di Masa Khulafaur Rasyidin (632 M – 662 M)
Kata Khulafaur Rasyidin itu berasal dari bahasa arab yang terdiri dari kata khulafa’ dan rasyidin. khulafa’ itu menunjukkan banyak khalifah, bila satu di sebut khalifah, yang mempunyai arti pemimpin dalam arti orang yang mengganti kedudukan rasullah SAW sesudah wafat melindungi agama dan siasat (politik) keduniaan agar setiap orang menempati apa yang telah ditentukan oleh batas-batanya dalam melaksanakan hukum-hukum syariat agama Islam. Adapun kata Arrasyidin itu berarti arif dan bijaksana. Jadi Khulafaur Rasyidin mempunyai arti pemimpin yang bijaksana sesudah Nabi Muhammad wafat.[4]
Dengan wafatnya Nabi Muhammad, berhentilah wahyu yang turun selama 22 tahun 2 bulan 22 hari yang Beliau terima melalui malaikat Jibril baik waktu beliau masih berada di Makkah maupun setelah hijrah ke Madinah. Demikian juga halnya dengan sunnah, berakhir pula dengan meninggalnya Rasulullah itu. Kedudukan Nabi Muhammad sebagai utusan Tuhan tidak mungkin diganti, tetapi tugas Beliau sebagai pemimpin masyarakat Islam dan kepala Negara harus dilanjutkan oleh orang lain.[5] Untuk menggantikan kedudukan Nabi Muhammad sebagai pemimpin ummat dan kepala negara, dipilihlah seorang pengganti dari kalangan sahabat Nabi sendiri. Dari kalangan sahabat Nabi yang terkemuka pada waktu itu terpilih Abu Bakar Siddiq menjadi khalifah pertama. Setelah beliau meninggal dunia, berturut-turut menjadi khalifah kedua, ketiga, dan keempat adalah Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.[6]
1.    Abu Bakar Siddiq (632 M – 634 M)
Beliau adalah ahli hukum yang tinggi mutunya. Sebelum masuk Islam beliau terkenal sebagai orang yang jujur dan disegani. Beliau ikut aktif mengembangkan dan menyiarkan Islam. Dan karena hubungannya yang dekat Nabi Muhammad, beliau mempunyai pengertian yang dalam tentang jiwa Islam lebih dari yang lain. Karena itu pula pemilihannya sebagai khalifah pertama adalah tepat sekali.
Banyak tindakannya yang dicatat dalam sejarah Islam, namun yang penting adalah:
a.       pidato pelantikannya yang antara lain berbunyi: “Aku telah kalian pilih sebagai khalifah, kepala negara, tetapi aku bukannlah yang terbaik diantara kita sekalian. Karena itu, jika aku melakukan sesuatu yang benar ikuti dan bantulah aku, tetapi jika aku melakukan kesalahan, perbaikilah. Sebab, menurut pendapatku, menyatakan yang benar adalah amanat, membohongi rakyat adalah pengkhianatan.” Selanjutnya beliau berkata, “ikutilah perintahku selama aku mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya, kalian berhak untuk tidak patuh kepadaku dan akupun tidak akan menuntut kepatuhan kalian. ” kata-kata Abu Bakar ini sangat penting artinya dipandang dari suduh hukum ketatanegaraan dan pemikiran pollitik Islam, sebab kata-katanya itu dapat dijadikan dasar dalam menentukan hubungan antara rakyat dengan penguasa, antara pemerintah dengan warga negara.
b.       Selain pidato pelantikannya, yang kedua adalah cara yang dilakukan oleh Abu Bakar dalam memecahkan persoalan hukum yang timbul dalam masyarakat. Mula-mula pemecahan masalah itu dicarinya dalam wahyu Tuhan. Kalau tidak terdapat disana, dicarinya dalam sunnah  Nabi. Kalau dalam sunnah Nabi ini pemecahan masalah tidak diperoleh, Abu Bakar bertanya kepada para sahabat Nabi yang dikumpulkannya dalam satu majlis. Mereka yang duduk dalam majlis itu melakukan ijtihad bersama (jama’i). timbulah keputusan atau konsensus bersama yang disebut ijma mengenai masalah tersebut. Dalam masa pemerintahan Abu Bakar inilah sering dicapai apa yag disebut dalam kepustakaan sebagai ijma sahabat.
c.       Atas anjuran Umar, dibentuk panitia khusus yang bertugas mengumpulkan catatan ayat-ayat Qur’an yang telah ditulis di zaman Nabi pada bahan-bahan darurat seperti pelepah-pelepah kurma, tulang-tulang unta dan sebagainya dan menghimpunnya ke dalam satu naskah. Panitia ini dipimpin oleh Zaid bin Tsabit salah seorang pencatat wahyu dan sekretaris Nabi Muhammad ketika Beliau masih hidup. Sebelum diserahkan kepada Abu Bakar, himpunan naskah Al-Qur’an itu diuji dahulu ketepatan pencatatannya dengan hafalan para penghafal Al-Qur’an yang selalu ada dari masa ke masa. Setelah Abu Bakar meninggal dunia, naskah itu disimpan oleh Umar bin Khattab dan sesudah Khalifah II ini meninggal dunia pula, naskah Al-Qur’an itu disimpan dan dipelihara oleh Hafsah, janda Nabi Muhammad.[7]
2.    Umar bin Khattab (634 M – 644 M)
 Sebagai sahabat Nabi, Umar turut aktif menyiarkan agama Islam. Ia melanjutkan usaha Abu Bakar meluaskan daerah Islam sampai ke Palestina, Sirya, Irak, dan Persia disebelah Utara seta ke Mesir di Barat Daya. Ia menetapkan hukum Islam yang terkenal dengan tahun Hijriyah berdasarkan perederan bulan (Qamariyah). Dibandingkan dengan tahun Masehi (Maadiyah) yang didasarkan pada perederan matahari atau Syamsiyah, tahun Hijriyah lebih pendek. Perbedaannya setiap tahun adalah 11 hari, sekian jam, sekian menit. Penetapan tahun Hijriyah ini dilakukan Umar pada tahun 638 M dengan bantuan para ahli ilmu hisab (hitung) pada waktu itu. Selain itu, penetapan Umar yang diikuti oleh ummat Islam di seluruh dunia sampai sekarang (dan juga di masa yang akan datang) adalah membiasakan salat at-tarawih berjama’ah yaitu salat sunnat malam yang dilakukan sesudah salah Isya, selama bulan Ramadhan. Disamping itu, Khalifah Umar ini mempunyai sikap toleran terhadap pemeluk agama yang lain. Ini terbukti ketika beliau hendak mendirikan masjid (sekarang terkenal dengan masjid Umar, di Jerussalem, Palestina), yaitu tempat yang menurut keyakinan beliau Nabi Muhammad dahulu mi’raj ke langit. Sebelum mendirikan masjid, Khalifah Umar terlebih dahulu memberitahukan maksudnya dan meminta izin kepada pemimpin agama golongan Kristen dan Yahudi di tempat itu. Karena di dekat tempat itu telah berdiri tempat ibadah orang Kristen dan Yahudi. Padahal, sebagai penguasa atas seluruh daerah baru tersebut, ia tidak wajib melakukan hal itu. Namun, ia melakukan hal tersebut karena sikapnya yang toleran terhadap pemeluk agama lain.[8]
Berikut contoh-contoh tentang ijtihad Umar.
a.    Kasus Talak
Pada pasal "talak tiga sekaligus" dari bab "thalak", kitab Shahih Muslim, juz 1 halaman 574, dirawikan dari Abdullah bin Abbas melalui beberapa rangkaian sanad; pada masa kehidupan Rasulullah saw. Kekhalifahan Abu Bakar dan dua tahun pertama kekhalifahan Umar perbuatan talak tiga sekaligus dianggap satu. Kemudian Umar bin Khattab berkata : "Banyak orang tergesa-gesa dalam urusan talak yang seharusnya mereka berhati-hati dalam memutuskannya. Maka sebagai pencegah agar mereka tidak tergesaa-gesa sebaiknya kita tetapkan saja seperti yang mereka ucapkan.” Sebab itu dilaksanakan kehendak Umar, Yakni menjatuhkan thalak tiga sekaligus dianggap thalak terakhir sehingga tidak ada kesempatan untuk rujuk lagi (kecuali setelah wanta itu kawin lagi dengan seorang pria lain lalu menceraikan lagi setelah itu).
b.    Tentang Adzan
Umar tidak hanya menghapus atau mengurangi satu baris kalimat adzan Hayya 'ala Khayr al 'amal, tetapi ia juga menambahkan sebaris kalimat untuk adzan subuh Ashalatu khairun minan naum, suatu kalimat adzan yang tidak pernah didengar pada masa Rasulullah masih hidup dan masa kekhalifahan Abu Bakar. Riwayat  ini bisa dilihat dalam kitabb Al Muwaththa Imam Malik, Pada bab tentang seruan sholat, "bahwa muadzin mendatangi Umar bin Khattab untuk memberi tahu tentang tibanya waktu shalat subuh. Ketika dijumpai Umar masih tidur, si muadzin berkata; "Ash-Shalatu Khairun min an-Naum (sholat lebih utama dari tidur), maka Umar memerintahkan agar kalimat itu dimasukkan kedalam adzan subuh." Lain lagi motifnya Umar menghapus kalimat adzan Hayya 'ala Khayr al 'amal. disini persoalanya lebih serius, berhubungan langsung dengan kepentingan politik di masa pemerintahan Umar dengan penakluknya. Seperti diungkapkan oleh sejarawan, masa kekhalifahan Umar adalah satu kurun waktu bersejarah dimana tentara kaum muslimin bergerak melakukan penaklukan-penaklukan penting ke berbagai penjuru, situasi seperti ini memerlukan semangat untuk membangkitkan gairah perjuangan. sementara Umar bin Khattab tahu betul peranan "jihad fi sabilillah" dan ingin meletakkanya pada prioritas istimewa agar jihad itu terkesan paling utama ketimbang yang lain, termasuk diantaranya lebih penting dan lebih utama dari shalat. Untuk itu khalifah Umar memerintahkan kalimat "marilah mengerjakan sebaik-baiknya amal" yakni shalat, sebagai satu perbuatan utama dan sebaik-baiknya dihapuskan, karena dianggap mengganggu dan menghambat misi ekspansi.[9]
c.    Menurut Al-Qur’an surah Al-Maidah: 38, orang yang mencuri diancam dengan hukuman potong tangan. Di masa pemerintahan Umar terjadi kelaparan dalam masyarakat di Semenanjung Arabia. Dalam keadaan masyarakat yang ditimpa oleh bahaya kelaparan itu, ancaman hukuman terhadap pencuri yang disebut dalam Al-Qur’an tidak dilaksanakan oleh Khalifah Umar berdasarkan pertimbangan keadaan (darurat) dan kemaslahatn (jiwa) masyarakat.[10]
3.    Utsman bin Affan (644 M – 656 M)
Di masa pemerintahannya perluasan daerah Islam diteruskan, ke Barat sampai ke Maroko, ke Timur menuju India ke Utara bergerak ke arah Konstantinopel. Banyak juga jasa-jasa Utsman, namun yang relevan untuk diuraikan adalah tindakannya untuk menyalin dan membuat Al-Qur’an standar, yang di dalam kepustakaan disebut dengan kodifikasi Al-Qur’an atau peresmian Al-Qur’an.
Standardisasi Al-Qur’an perlu diadakan, karena pada masa pemerintahannya wilayah Islam telah sangat luas dan didiami oleh berbagai suku bangsa dengan berbagai bahasa dan dialek yang tidak sama. Perbedaan cara mengucapkan itu menimbulkan perbedaan arti. Untuk itu, Utsman membentuk panitia yang kembali dipimpin oleh Zaid bin Tsabit untuk menyalin naskah Al-Qur’an yang telah dihimpun di masa Khalifah Abu Bakar dahulu, yang disimpan oleh Hafsah, janda Nabi Muhammad. Panitia ini bekerja dengan satu disiplin tertentu, menyalin naskah Al-Qur’an ke dalam lima mus-haf, untuk dijadikan standar dalam penulisan dan bacaan Qur’an di wilayah kekuasaan Islam pada waktu itu. Semua naskah yang dikirim ke ibukota provinsi (Makkah, Kairo, Damaskus, Baghdad) itu disimpan dalam masjid besarnya masing-masing dan satu naskah tinggal di Madinah untuk mengenang jasa Utsman. Naskah yang disalin di masa pemerintahannya itu disebut Mus-haf Usmani atau al-Imam karena ia menjadi standar bagi Qur’an yang lain. Kemudian disalin dan diberi tanda-tanda bacaan di Mesir seperti yang kita lihat sekarang ini.[11]
4.    Ali bin Abi Thalib (656 M – 662 M)
Semasa pemerintahannya Ali tidak banyak dapat berbuat untuk mengebangkan hukum Islam, karena keadaan negara tidak stabil. Di sana-sini timbul bibit-bibit perpecahan yang serius dalam tubuh ummat Islam yang bermuara pada perang saudara yang kemudian menimbulkan kelompok-kelompok, diantaranya dua kelompok besar ummat Islam sekarang ini yakni ahlus sunnah wal jama’ah (Sunni) yaitu kelompok atau jamaah ummat Islam yang berpegang teguh pada Sunnah Nabi Muhammad dan Syi’ah yaitu pengikut Ali bin Abi Thalib. Perpecahan kedua kelompok ini dimulai dengan perbedaan pendapat mengenai masalah politik, yakni siapa yang berhak menjadi Khalifah, kemudian disusul dengan masalah pemahaman akidah, pelaksanaan ibadah, sistem hukum dan kekeluargaan.[12]
Pengaruh hukum yang ditinggalkan oleh periode sahabat ini ada tiga hal, yaitu:
1.    Pensyarahan perundang-undangan bagi nash-nash hukum dalam Al-Qur’an dan al-Sunnah. Setelah para pemuka sahabat membahas nash-nash untuk diterapkan pada kejadian-kejadian yang dihadapi, maka tersusunlah beberapa pendapat dalam memahami nash-nash tersebut serta apa yang dikehendaki oleh nash-nash tersebut. Dalam menetapkan pendapatnya, para sahabat bersandar kepada kemampuan bahasa serta bakat hukum mereka, dan mereka berpegang kepada hikmah hukum, sebab-sebab turun ayat Al-Qur’an dan sebab-sebab turunnya teks al-Sunnah.
2.    Bermacam-macamnya ijtihad sahabat pada kejadian-kejadian yang tidak ada nash hukumnya. Jika tidak menjumpai suatu nash dalam Al-Qur’an al-Sunnah tentang hukum kejadian yang dihadapi, maka para sahabat berijtihad untuk mengistinbatkan hukum dengan memakai salah satu dari beberapa metode istinbath yang ada.[13] Ijtihad dalam menyelesaikan kasus disebut fatwa, yaitu suatu pendapat yang muncul karena adanya peristiwa yang terjadi. Fatwa-fatwa yang diungkapkan para sahabat mempunyai pengaruh terhadap perkembangan hukum islam. Banyak para ulama dan imam madzhab merujuk pada pendapat para sahabat besar dan mengembangkan lagi ijtihad mereka guna menemukan penyelesaian permasalahan-permasalahan hukum Islam, bahkan masalah yang belum dihadapi.
3.    Sahabat telah menentukan thuruq al-istinbath dalam menyelesaikan kasus yang dihadapi. Thuruq al-Istinbath tersebut digunakan dalam rangka menyelesaikan kasus yang dihadapi. Sehingga generasi sahabat kecil dan tabiin mengikuti jejak sahabat besar dalam menyelesaikan suatu perkara.[14]
C.  Perkembangan Hukum Islam di Masa Imam Mazhab
Setelah kuasaan Umayyah berakhir, kendali pemerintahan Islam dilanjutkan oleh dinasti Abbasiah. Periode ini dikenal sebagai zaman keemasan dalam sejarah pemikiran hukum Islam, atau fase fikih menjadi ilmu yang mandiri atau fase kesempurnaan. Faktor-faktor yang mendorong perkembangan pemikiran dalam hukum Islam pada periode ini, adalah berkembangnya ilmu pengetahuan di dunia Islam. Berkembang pesatnya ilmu pengetahuan di dunia Islam itu disebabkan oleh:
a.    Banyaknya mawali yang masuk Islam. Mereka dimanfaatkan untuk menterjemahkan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab, termasuk filsafat karya Aristoteles, Plato dan Galen.
b.    Berkembangnya pemikiran karena luasnya ilmu pengetahuan.
c.    Adanya upaya umat Islam untuk melestarikan Alquran dengan dua cara; dicatat (dikumpulkan dalam satu mushaf), dan dihafal. Pelestarian Alquran melalui hafalan dilakukan dengan mengembangkan cara membacanya sehingga saat itu dikenal corak bacaan Alquran (qira’at). Adanya perbedaan qira’at (bacaan) tentunya akan mengakibatkan munculnya perbedaan dalam mengistinbatkan hukum Islam.
Pada dinasti Abbasiah ini, pesatnya perkembangan pemikiran hukum Islam melahirkan beberapa mazhab yang masih eksis hingga sekarang, di antaranya Hanafiah, Malikiah, Syafi’iah dan Hanabilah yang dikemukakan secara ringkas dalam uraian selanjutnya.
a.    Mazhab Hanafiah dirintis oleh imam Abu Hanifah. Di antara hasil                                                    pemikiran hukum Islam yang dikembangkan Abu Hanifah, adalah:
1)   benda wakaf masih tetap milik wāqif. Kedudukan wakaf dipandang sama dengan ‘ariyah (pinjam meminjam). Karena itu benda wakaf dapat dijual, diwariskan, dan dihibahkan oleh wakif kepada orang lain, kecuali wakaf untuk masjid, wakaf yang ditetapkan berdasarkan keputusan hakim, wakaf wasiat, dan wakaf yang diikrarkan secara tegas, bahwa wakaf itu terus dilanjutkan meskipun wāqif telah meninggal.
2)   wanita boleh menjadi hakim di pengadilan yang tugasnya khusus menangani perkara perdata, bukan perkara pidana. Karena wanita tidak dibolehkan menjadi saksi pidana, ia hanya boleh menjadi saksi perkara perdata.
3)   shalat gerhana (matahari dan bulan) dilakukan dua rakaat seperti salat ‘Id, tidak dilakukan dua kali ruku dalam satu rakaat.
b.    Mazhab Malikiah dirintis oleh imam Malik bin Anas. Di antara pemikiran hukum Islam yang dikembangkan oleh imam Malik, adalah:
1)   kesucian mustahadah. Menurut imam Malik, wanita yang mengalami istihadah diwajibkan satu kali mandi, kesuciannya setelah itu cukup dengan berwudu, berdasarkan amal ulama Madinah.
2)   berjimak dengan wanita mustahadah. Laki-laki diharamkan berjima dengan isterinya yang sedang haid dan nifas. Tetapi boleh berjima dengan isterinya yang sedang istihadah.
3)   qamat salat, dilakukan satu kali satu kali.
4)   bacaan salat di belakang imam, makmum disunatkan membaca bacaan salat saat bacaan salat imam tidak terdengar.
5)   takbir zawa’id dalam salat hari raya idul fitri dan idul adha, adalah 6 kali takbir, selain tabiratul ihram pada rakaat pertama, sedangkan pada rakaat kedua adalah 5 kali takbir, selain takbir bangkit dari sujud.
c.    Mazhab Syafi’iah dirintis oleh Imam Syafi’i. Hasil pemikiran Imam Syafi’i berkembang dalam dua model; qaul al-qadīm dan qaul al-jadīd, diantaranya:
1)   Qaul qadim
a)    Orang yang wudunya tidak tertib karena lupa adalah sah.
b)   Berturut-turut dalam memba-suh anggota badan yang wajib dibasuh dalam berwudu adalah wajib.
c)    Menyentuh dubur tidak membatalkan wudhu.
d)   Seseorang dibolehkan tayamum dengan pasir.
e)    Salat isya lebih utama dilaksanakan dengan segera.
f)    Ibadah umrah adalah sunnah.
2)   Qaul jadid
a)    Orang yg wudunya tidak tertib, meskipun lupa, adalah tidak sah.
b)   Berturut-turut dalam membasuh anggota badan yang wajib dibasuh dalam berwudhu adalah sunat.
c)    Menyentuh dubur membatalkan wudhu.
d)   Seseorang tidak dibolehkan tayamum dengan pasir.
e)    Salat isya lebih utama dilaksanakan dengan diakhirkan.
f)    Ibadah umrah adalah wajib
Selain itu imam Syafi’i juga mengembangkan pemikiran hukum Islam di antaranya:
a)    masalah imamah termasuk masalah agama, karena itu mendirikan imamah merupakan kewajiban agama. Pemimpin umat Islam harus beragama Islam, dan dari kalangan Quraisy serta orang-orang non muslim terlindungi.
b)   wanita tidak boleh menjadi hakim secara mutlak.
d.   Mazhab Hanabilah dirintis oleh imam Ahmad bin Hanbal. Di antara hasil pemikiran hukum Islam yang dikembangkan imam Ahmad, adalah:
1)   Pencuri yang dapat dipotong tangannya, harus mukallaf, dapat memilih, merdeka, dan bukan pemilik walau pun syubhat. Nisab harta yang dicuri minimal ¼ dinar atau 3 dirham.
2)   khalifah harus dari kalangan Quraisy. Ketaatan kepada khalifah adalah mutlak.
Dengan demikian dapat diungkapkan, bahwa pemikiran dalam hukum Islam mencapai kemajuan pesat di zaman dinasti Abbasiah, ditandai oleh: (1) lahirnya para ahli hukum Islam serta (2) munculnya berbagai teori hukum Islam yang masih dianut hingga sekarang. Jadi pada periode ini pemikiran hukum Islam terkristali-sasi oleh para imam mazhab, Hanafi, Malik, Syafi’i, dan Hanbali. Jika masa-masa sebelumnya metodologi formulasi hukum Islam belum jelas, maka pada masa imam mazhab, telah diformulasikan secara jelas. Di samping itu di zaman ini dihasilkan pula berbagai kitab hadis mu’tabar yang dikenal dengan kutub al-sittah. Dengan demikian perkembangan pemikiran dalam hukum Islam mencapai kejayaannya di zaman dinasti Abbasiah.[15]



BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Pada waktu masyarakat Arab dalam keadaan yang memprihatinkan Nabi Muhammad sering menyendiri di gua Hira selama bulan Ramadhan. Ketika beliau mencapai umur 40 tahun, yakni pada tahun 610 Masehi, beliau menerima wahyu pertama. Pada waktu itu beliau ditetapkan sebagai Rasul atau Utusan Allah. Tiga tahun kemudian, Malaikat Jibril membawa perintah Allah untuk menyebarluaskan wahyu yang diterimanya kepada umat manusia. Wahyu tersebut adalah Al-Qur’an yang menjadi sumber hukum pertama dalam Islam. Menurut penelitian Abdul Wahab Khallaf, Guru Besar Hukum Islam Universitas Kairo, ayat-ayat hukum mengenai soal-soal ibadah jumlahnya 140 ayat dalam Al Qur’an. Ayat-ayat ibadah ini berkenaan dengan soal shalat, zakat dan haji. Sedangkan ayat-ayat hukum mengenai mu’amalah jumlahnya 228, lebih kurang 3% dari jumlah seluruh ayat-ayat yang terdapat dalam l Qur’an.
Pada masa sahabat cara menetapkan hukum dengan cara: 1) menelaah Qur’an, 2) melihat pada sunnah Nabi, baik perkataan maupun perbuatan beliau, 3) jikalau belum ditemukan para sahabat melakukan ijtihad bersama, 4) jikalau belum ditemukan juga hukumnya, maka para sahabat melakukan Qiyas.
Pada masa imam mazhabpun, cara pentepannya hampir sama dengan yang dilakukan pada masa sahabat. Namun, imam mazhab sering melakukan ijtihad sendiri, sehingga menghasilkan fatwa yang berbeda-beda.

B.  Saran
Kami menyadari, masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam penulisan makalah ini. Untuk itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun.



DAFTAR PUSTAKA
A.    BUKU
Ali, Mohammad Daud, Pengantar Ilmu Hukum dan Tatata Hukum Islam di Indonesia  .Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.
Ali, Muhammad Daud, Hukum Islam,  Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2004.
Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002.
Ngainun Naim, Sejarah Pemikiran Hukum Islam: Sebuah Pengantar, Yogyakarta: TERAS, 2009, h. 66-67.

B.    INTERNET
http://www.kompasiana.com/rahilazny89/khulafaur_rasyidin_(diunduh, minggu, 2 april 2016, 14.30 wib)




[2]Daud, Mohammad Ali, Pengantar Ilmu Hukum dan Tatata Hukum Islam di Indonesia  (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007) hal. 155
[3]Ali, Muhammad Daud, Hukum Islam, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 42.
[4]http://www.kompasiana.com/rahilazny89/khulafaur_rasyidin_ (diunduh, minggu, 2 april 2016, 14.30 wib)
[5]Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002, h. 153.
[6]Mohammad Daud Ali, Hukum Islam..., h. 155.
[7]Mohammad Daud Ali, Hukum Islam..., h. 156-157.
[8]Mohammad Daud Ali, Hukum Islam..., h. 158.
[10]Mohammad Daud Ali, Hukum Islam..., h. 160.
[11]Mohammad Daud Ali, Hukum Islam..., h. 162-163.
[12]Mohammad Daud Ali, Hukum Islam..., h. 164.
[13]Ngainun Naim, Sejarah Pemikiran Hukum Islam: Sebuah Pengantar, Yogyakarta: TERAS, 2009, h. 66-67.

0 komentar:

 

Kumpulan Makalah, Artikel, dan Karya Tulis Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea