Revisi Makalah Kelompok 6
SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM
DI DUNIA ISLAM
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah: Aspek Hukum dalam Muamalat
Dosen: Itsla Yunisva Aviva, M.E.Sy.
Disusun oleh
MUKARAMAH (NIM: 1504120424)
MULIANI (NIM: 1504120410)
NOSHRATINA ALYANI (NIM: 1504120448)
M. SYARIF (NIM: 1504120435)
HAFIDZ (NIM: 1202120169)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKARAYA
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
JURUSAN EKONOMI ISLAM
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
TAHUN 2016 M/1437 H.
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah memberikan hidayah, inayah dan rahmat-Nya, sehingga penyusunan makalah
ini selesai dengan baik dan tepat waktu. Karena tanpa pertolongan-Nya kami
selaku penyusun tidak akan mampu menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa semoga
tercurahkan selalu shalawat serta salam kepada manusia termulia yakni baginda
Rasulullah Muhammad SAW. yang berkat usaha kerja kerasnya kita dipersatukan
dalam persaudaraan yang lurus lagi benar dan semoga kita selaku ummatnya selalu
dalam jalan-Nya dan mengikuti jalan Nabi Muhammad SAW.
Dalam pembuatan makalah ini kami tidak begitu mendapat
banyak kesulitan karena adanya saran dari berbagai pihak tentang pembuatannya.
Namun, tidak menutup kemungkinan makalah ini masih jauh dari sempurna dan
banyak kekurangan, baik dari penulisan, ejaan dan sebagainya. Oleh karenanya,
kami sangat mengharapkan dengan lapang dada, kritik dan saran yang bersifat
membangun.
Akhirnya, kami selaku penyusun mengucapkan terima kasih
kepada Ibu. Itsla Yunisva Aviva, M.E.SY. yang telah memberikan tugas dan
bimbingannya kepada kami, yang mana ini akan membantu kami agar terbiasa dalam
pembuatan makalah. Tidak lupa kami ucapkan pula terima kasih kepada seluruh
pihak yang telah memberikan bantuannya sehingga kami mampu menyelesaikan
makalah ini dengan baik.
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Sejarah
pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam, sangatlah penting untuk kita ketahui.
Selain untuk memperdalam pengetahuan kita tentang sejarah hukum Islam, namun
yang paling penting adalah bagaimana kita bisa memahami betul sumber dan dasar
hukum Islam itu sendiri, karena dengan mempelajari sejarah kita bisa merasakan
betapa dekat dan besar perjuangan para ulama dahulu terhadap perkembangan
hukum Islam sekarang dengan menggali ilmu-ilmu yang terkandung dalam al-Qur’an
maupun Sunnah. Kita tidak bisa menutup mata terhadap sejarah, kalau bukan
karena ulama-ulama kita terdahulu yang mempelajari, mengajarkan serta menulis
buku-buku tentang Islam atau sejarahnya, maka mustahil bagi kita sekarang ini
untuk merasakan manisnya hukum Islam itu
sendiri.[1]
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana perkembangan hukum Islam pada masa Nabi Muhammad saw.?
2.
Bagaimana perkembangan hukum Islam pada masa Khulafaur Rasyidin?
3.
Bagaimana perkembangan hukum Islam pada masa Imam Mazhab?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui perkembangan hukum Islam pada masa Nabi Muhammad saw.
2.
Mengetahui perkembangan hukum Islam pada masa Khulafaur Rasyidin.
3.
Mengetahui perkembangan hukum Islam pada masa Imam Mazhab.
D.
Metode Penulisan
Adapun
metode yang digunakan dalam pembuatan makalah ini adalah dengan cara menelaah
buku-buku kepustakaan sebagai referensi dan menelusuri internet yang
berhubungan dengan materi yang dibahas dalam makalah ini.
BAB
II
PEMBAHASAN
Agama Islam sebagai induk hukum Islam muncul di Semenanjung Arab,
di suatu daerah tandus yang dikelilingi oleh laut pada ketiga sisinya dan
lautan pasir pada sisi keempat. Daerah ini adalah daerah yang sangat panas, di
tengah-tengah gurun pasir yang amat sangat luas yang mempengaruhi cara hidup
dan cara berfikir orang-orang Badui yang tinggal di tempat itu. Untuk
memperoleh air bagi makanan ternaknya, mereka selalu berpindah-pindah dari satu
tempat ke tempat lain. Alam yang begitu keras membentuk manusia-manusia
individualistis. Perjuangan memperoleh air dan padang rumput merupakan
sumber-sumber perselisihan antar mereka. Dan karena itu pula mereka hidup dalam
klen-klen yang disusun berdasarkan garis patrilineal, yang saling bertentangan.
Kedudukan anak laki-laki sangat penting dalam sebuah keluarga
karena melalui anak laki-laki inilah garis keturunan ditarik dan dia pulalah di
dalam keluarga yang dianggap akan meneruskan keturunan dan membawa nama baik
keluarganya. Dan karena statusnya yang demikian, maka laki-laki mempunyai
kekuasaan yang amat besar dibanding wanita. Kedudukan wanita dipandang sangat
rendah, wanita hanya dibebani kewajiban tanpa imbalan hak sama sekali. Karena
itu pula, jika lahir anak perempuan dalam satu rumah tangga, seluruh keluarga
menjadi malu karena merasa tidak bisa mempertahankan keturunannya. Karena itu
keluarga bersangkutan, berusaha untuk melenyapkan nyawa bayi wanita atau
membunuhnya kemudian setelah ia berumur beberapa tahun.
Pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal tahun Gajah yang bertepatan dengan
tanggal 20 April tahun 571 Masehi, lahirlah seorang bayi yang oleh ibunya
(Aminah) diberi nama Ahmad, dan oleh kakeknya Abdul Muthalib dinamakan
Muhammad. Kedua nama ini berasal dari satu akar kata yang di dalam bahasa Arab
berarti terpuji atau yang dipuji. Setelah ibunya meninggal Muhammad dipelihara
oleh kakeknya yang bernama Abdul Muthalib dan setelah kakeknya meninggal dunia
pula, Muhammad masih diasuh oleh pamannya Abu Thalib. Muhammad berasal dari
keluarga terhormat tetapi tidak kaya dan sebagai seorang pemuda ia hidup di
kalangan mereka yang berkuasa di Mekah. Pada usia 25 tahun beliau kawin dengan
seorang janda yang bernama Khadijah yang umurnya lima belas tahun lebih tua
dari beliau dan masih mempunyai hubungan kekerabatan.[2]
Pada waktu masyarakat Arab dalam keadaan yang memprihatinkan Nabi
Muhammad sering menyendiri di gua Hira selama bulan Ramadhan. Ketika beliau
mencapai umur 40 tahun, yakni pada tahun 610 Masehi, beliau menerima wahyu
pertama. Pada waktu itu beliau ditetapkan sebagai Rasul atau Utusan Allah. Tiga
tahun kemudian, Malaikat Jibril membawa perintah Allah untuk menyebarluaskan
wahyu yang diterimanya kepada umat manusia. Menurut penelitian Abdul Wahab
Khallaf, Guru Besar Hukum Islam Universitas Kairo, ayat-ayat hukum mengenai
soal-soal ibadah jumlahnya 140 ayat dalam Al Qur’an. Ayat-ayat ibadah ini
berkenaan dengan soal shalat, zakat dan haji. Sedangkan ayat-ayat hukum
mengenai mu’amalah jumlahnya 228, lebih kurang 3% dari jumlah seluruh ayat-ayat
yang terdapat dalam l Qur’an. Klasifikasi 228 ayat hukum yang terdapat dalam Al
Qur’an itu menurut penelitian Prof. Abdul Wahhab Khallaf adalah sebagai
berikut:
1.
Hukum Keluarga yang terdiri dari hukum perkawinan dan kewarisan
sebanyak 70 ayat.
2.
Hukum Perdata lainnya, di antaranya hukum perjanjian (perikatan)
terdapat 70 ayat.
3.
Mengenai hukum ekonomi keuangan termasuk hukum dagang terdiri dari
10 ayat.
4.
Hukum Pidana terdiri dari 30 ayat.
5.
Hukum Tata Negara terdapat 10 ayat.
6.
Hukum Internasional terdapat 25 ayat.
7.
Hukum Acara dan Peradilan terdapat 13 ayat.
Ayat-ayat tersebut pada umumnya berupa prinsip-prinsip yang harus
dikembangkan lebih lanjut sewaktu Nabi Muhammad masih hidup, tugas untuk
mengembangkan dan menafsirkan ayat-ayat hukum ini terletak pada diri beliau
sendiri melalui ucapan, perbuatan dan sikap diam beliau yang disebut sunnah
yang kini dapat dibaca dalam kitab-kitab hadis.[3]
B.
Perkembangan Hukum Islam di Masa Khulafaur Rasyidin (632 M – 662 M)
Kata Khulafaur
Rasyidin itu berasal dari bahasa arab yang terdiri dari kata khulafa’
dan rasyidin. khulafa’ itu menunjukkan banyak khalifah, bila satu
di sebut khalifah, yang mempunyai arti pemimpin dalam arti orang yang
mengganti kedudukan rasullah SAW sesudah wafat melindungi agama dan siasat
(politik) keduniaan agar setiap orang menempati apa yang telah ditentukan oleh
batas-batanya dalam melaksanakan hukum-hukum syariat agama Islam. Adapun kata Arrasyidin
itu berarti arif dan bijaksana. Jadi Khulafaur Rasyidin mempunyai arti
pemimpin yang bijaksana sesudah Nabi Muhammad wafat.[4]
Dengan wafatnya Nabi Muhammad, berhentilah wahyu yang turun selama
22 tahun 2 bulan 22 hari yang Beliau terima melalui malaikat Jibril baik waktu
beliau masih berada di Makkah maupun setelah hijrah ke Madinah. Demikian juga
halnya dengan sunnah, berakhir pula dengan meninggalnya Rasulullah itu.
Kedudukan Nabi Muhammad sebagai utusan Tuhan tidak mungkin diganti, tetapi
tugas Beliau sebagai pemimpin masyarakat Islam dan kepala Negara harus
dilanjutkan oleh orang lain.[5] Untuk
menggantikan kedudukan Nabi Muhammad sebagai pemimpin ummat dan kepala negara,
dipilihlah seorang pengganti dari kalangan sahabat Nabi sendiri. Dari kalangan
sahabat Nabi yang terkemuka pada waktu itu terpilih Abu Bakar Siddiq menjadi
khalifah pertama. Setelah beliau meninggal dunia, berturut-turut menjadi
khalifah kedua, ketiga, dan keempat adalah Umar bin Khattab, Utsman bin Affan
dan Ali bin Abi Thalib.[6]
1.
Abu Bakar Siddiq (632 M – 634
M)
Beliau adalah
ahli hukum yang tinggi mutunya. Sebelum masuk Islam beliau terkenal sebagai
orang yang jujur dan disegani. Beliau ikut aktif mengembangkan dan menyiarkan
Islam. Dan karena hubungannya yang dekat Nabi Muhammad, beliau mempunyai
pengertian yang dalam tentang jiwa Islam lebih dari yang lain. Karena itu pula
pemilihannya sebagai khalifah pertama adalah tepat sekali.
Banyak
tindakannya yang dicatat dalam sejarah Islam, namun yang penting adalah:
a.
pidato pelantikannya yang antara
lain berbunyi: “Aku telah kalian pilih sebagai khalifah, kepala negara,
tetapi aku bukannlah yang terbaik diantara kita sekalian. Karena itu, jika aku
melakukan sesuatu yang benar ikuti dan bantulah aku, tetapi jika aku melakukan
kesalahan, perbaikilah. Sebab, menurut pendapatku, menyatakan yang benar adalah
amanat, membohongi rakyat adalah pengkhianatan.” Selanjutnya beliau
berkata, “ikutilah perintahku selama aku mengikuti perintah Allah dan
Rasul-Nya, kalian berhak untuk tidak patuh kepadaku dan akupun tidak akan
menuntut kepatuhan kalian. ” kata-kata Abu Bakar ini sangat penting artinya
dipandang dari suduh hukum ketatanegaraan dan pemikiran pollitik Islam, sebab
kata-katanya itu dapat dijadikan dasar dalam menentukan hubungan antara rakyat
dengan penguasa, antara pemerintah dengan warga negara.
b.
Selain pidato pelantikannya, yang kedua adalah
cara yang dilakukan oleh Abu Bakar dalam memecahkan persoalan hukum yang timbul
dalam masyarakat. Mula-mula pemecahan masalah itu dicarinya dalam wahyu Tuhan.
Kalau tidak terdapat disana, dicarinya dalam sunnah Nabi. Kalau dalam sunnah Nabi ini pemecahan
masalah tidak diperoleh, Abu Bakar bertanya kepada para sahabat Nabi yang
dikumpulkannya dalam satu majlis. Mereka yang duduk dalam majlis itu melakukan
ijtihad bersama (jama’i). timbulah keputusan atau konsensus bersama
yang disebut ijma mengenai masalah tersebut. Dalam masa pemerintahan Abu
Bakar inilah sering dicapai apa yag disebut dalam kepustakaan sebagai ijma
sahabat.
c.
Atas anjuran Umar, dibentuk panitia
khusus yang bertugas mengumpulkan catatan ayat-ayat Qur’an yang telah ditulis
di zaman Nabi pada bahan-bahan darurat seperti pelepah-pelepah kurma,
tulang-tulang unta dan sebagainya dan menghimpunnya ke dalam satu naskah.
Panitia ini dipimpin oleh Zaid bin Tsabit salah seorang pencatat wahyu dan
sekretaris Nabi Muhammad ketika Beliau masih hidup. Sebelum diserahkan kepada
Abu Bakar, himpunan naskah Al-Qur’an itu diuji dahulu ketepatan pencatatannya
dengan hafalan para penghafal Al-Qur’an yang selalu ada dari masa ke masa.
Setelah Abu Bakar meninggal dunia, naskah itu disimpan oleh Umar bin Khattab
dan sesudah Khalifah II ini meninggal dunia pula, naskah Al-Qur’an itu disimpan
dan dipelihara oleh Hafsah, janda Nabi Muhammad.[7]
2.
Umar bin Khattab (634 M – 644 M)
Sebagai sahabat Nabi, Umar turut aktif
menyiarkan agama Islam. Ia melanjutkan usaha Abu Bakar meluaskan daerah Islam
sampai ke Palestina, Sirya, Irak, dan Persia disebelah Utara seta ke Mesir di
Barat Daya. Ia menetapkan hukum Islam yang terkenal dengan tahun Hijriyah berdasarkan
perederan bulan (Qamariyah). Dibandingkan dengan tahun Masehi (Maadiyah)
yang didasarkan pada perederan matahari atau Syamsiyah, tahun Hijriyah
lebih pendek. Perbedaannya setiap tahun adalah 11 hari, sekian jam, sekian
menit. Penetapan tahun Hijriyah ini dilakukan Umar pada tahun 638 M dengan
bantuan para ahli ilmu hisab (hitung) pada waktu itu. Selain itu,
penetapan Umar yang diikuti oleh ummat Islam di seluruh dunia sampai sekarang
(dan juga di masa yang akan datang) adalah membiasakan salat at-tarawih berjama’ah
yaitu salat sunnat malam yang dilakukan sesudah salah Isya, selama bulan
Ramadhan. Disamping itu, Khalifah Umar ini mempunyai sikap toleran terhadap
pemeluk agama yang lain. Ini terbukti ketika beliau hendak mendirikan masjid
(sekarang terkenal dengan masjid Umar, di Jerussalem, Palestina), yaitu tempat
yang menurut keyakinan beliau Nabi Muhammad dahulu mi’raj ke langit. Sebelum
mendirikan masjid, Khalifah Umar terlebih dahulu memberitahukan maksudnya dan
meminta izin kepada pemimpin agama golongan Kristen dan Yahudi di tempat itu.
Karena di dekat tempat itu telah berdiri tempat ibadah orang Kristen dan
Yahudi. Padahal, sebagai penguasa atas seluruh daerah baru tersebut, ia tidak
wajib melakukan hal itu. Namun, ia melakukan hal tersebut karena sikapnya yang
toleran terhadap pemeluk agama lain.[8]
Berikut
contoh-contoh tentang ijtihad Umar.
a. Kasus Talak
Pada pasal "talak
tiga sekaligus" dari bab "thalak", kitab Shahih Muslim, juz 1
halaman 574, dirawikan dari Abdullah bin Abbas melalui beberapa rangkaian
sanad; pada masa kehidupan Rasulullah saw. Kekhalifahan Abu Bakar dan dua tahun
pertama kekhalifahan Umar perbuatan talak tiga sekaligus dianggap satu.
Kemudian Umar bin Khattab berkata : "Banyak orang tergesa-gesa dalam
urusan talak yang seharusnya mereka berhati-hati dalam memutuskannya. Maka sebagai
pencegah agar mereka tidak tergesaa-gesa sebaiknya kita tetapkan saja seperti
yang mereka ucapkan.” Sebab itu dilaksanakan kehendak Umar, Yakni
menjatuhkan thalak tiga sekaligus dianggap thalak terakhir sehingga tidak ada
kesempatan untuk rujuk lagi (kecuali setelah wanta itu kawin lagi dengan
seorang pria lain lalu menceraikan lagi setelah itu).
b.
Tentang Adzan
Umar tidak hanya menghapus atau mengurangi satu baris kalimat adzan Hayya
'ala Khayr al 'amal, tetapi ia juga menambahkan sebaris kalimat untuk adzan
subuh Ashalatu khairun minan naum, suatu kalimat adzan yang tidak pernah
didengar pada masa Rasulullah masih hidup dan masa kekhalifahan Abu Bakar.
Riwayat ini bisa dilihat dalam kitabb Al
Muwaththa Imam Malik, Pada bab tentang seruan sholat, "bahwa muadzin
mendatangi Umar bin Khattab untuk memberi tahu tentang tibanya waktu shalat
subuh. Ketika dijumpai Umar masih tidur, si muadzin berkata; "Ash-Shalatu
Khairun min an-Naum (sholat lebih utama dari tidur), maka Umar
memerintahkan agar kalimat itu dimasukkan kedalam adzan subuh." Lain lagi
motifnya Umar menghapus kalimat adzan Hayya 'ala Khayr al 'amal. disini
persoalanya lebih serius, berhubungan langsung dengan kepentingan politik di
masa pemerintahan Umar dengan penakluknya. Seperti diungkapkan oleh sejarawan,
masa kekhalifahan Umar adalah satu kurun waktu bersejarah dimana tentara kaum
muslimin bergerak melakukan penaklukan-penaklukan penting ke berbagai penjuru,
situasi seperti ini memerlukan semangat untuk membangkitkan gairah perjuangan. sementara
Umar bin Khattab tahu betul peranan "jihad fi sabilillah" dan ingin
meletakkanya pada prioritas istimewa agar jihad itu terkesan paling utama
ketimbang yang lain, termasuk diantaranya lebih penting dan lebih utama dari
shalat. Untuk itu khalifah Umar memerintahkan kalimat "marilah
mengerjakan sebaik-baiknya amal" yakni shalat, sebagai satu perbuatan
utama dan sebaik-baiknya dihapuskan, karena dianggap mengganggu dan menghambat
misi ekspansi.[9]
c.
Menurut Al-Qur’an surah Al-Maidah: 38, orang yang mencuri diancam dengan
hukuman potong tangan. Di masa pemerintahan Umar terjadi kelaparan dalam
masyarakat di Semenanjung Arabia. Dalam keadaan masyarakat yang ditimpa oleh
bahaya kelaparan itu, ancaman hukuman terhadap pencuri yang disebut dalam
Al-Qur’an tidak dilaksanakan oleh Khalifah Umar berdasarkan pertimbangan
keadaan (darurat) dan kemaslahatn (jiwa) masyarakat.[10]
3.
Utsman bin Affan (644 M – 656 M)
Di masa
pemerintahannya perluasan daerah Islam diteruskan, ke Barat sampai ke Maroko,
ke Timur menuju India ke Utara bergerak ke arah Konstantinopel. Banyak juga
jasa-jasa Utsman, namun yang relevan untuk diuraikan adalah tindakannya untuk
menyalin dan membuat Al-Qur’an standar, yang di dalam kepustakaan disebut
dengan kodifikasi Al-Qur’an atau peresmian Al-Qur’an.
Standardisasi
Al-Qur’an perlu diadakan, karena pada masa pemerintahannya wilayah Islam telah
sangat luas dan didiami oleh berbagai suku bangsa dengan berbagai bahasa dan
dialek yang tidak sama. Perbedaan cara mengucapkan itu menimbulkan perbedaan
arti. Untuk itu, Utsman membentuk panitia yang kembali dipimpin oleh Zaid bin
Tsabit untuk menyalin naskah Al-Qur’an yang telah dihimpun di masa Khalifah Abu
Bakar dahulu, yang disimpan oleh Hafsah, janda Nabi Muhammad. Panitia ini
bekerja dengan satu disiplin tertentu, menyalin naskah Al-Qur’an ke dalam lima mus-haf,
untuk dijadikan standar dalam penulisan dan bacaan Qur’an di wilayah
kekuasaan Islam pada waktu itu. Semua naskah yang dikirim ke ibukota provinsi
(Makkah, Kairo, Damaskus, Baghdad) itu disimpan dalam masjid besarnya
masing-masing dan satu naskah tinggal di Madinah untuk mengenang jasa Utsman.
Naskah yang disalin di masa pemerintahannya itu disebut Mus-haf Usmani atau
al-Imam karena ia menjadi standar bagi Qur’an yang lain. Kemudian
disalin dan diberi tanda-tanda bacaan di Mesir seperti yang kita lihat sekarang
ini.[11]
4.
Ali bin Abi Thalib (656 M – 662 M)
Semasa
pemerintahannya Ali tidak banyak dapat berbuat untuk mengebangkan hukum Islam,
karena keadaan negara tidak stabil. Di sana-sini timbul bibit-bibit perpecahan
yang serius dalam tubuh ummat Islam yang bermuara pada perang saudara yang
kemudian menimbulkan kelompok-kelompok, diantaranya dua kelompok besar ummat
Islam sekarang ini yakni ahlus sunnah wal jama’ah (Sunni) yaitu kelompok
atau jamaah ummat Islam yang berpegang teguh pada Sunnah Nabi Muhammad dan Syi’ah
yaitu pengikut Ali bin Abi Thalib. Perpecahan kedua kelompok ini dimulai dengan
perbedaan pendapat mengenai masalah politik, yakni siapa yang berhak menjadi
Khalifah, kemudian disusul dengan masalah pemahaman akidah, pelaksanaan ibadah,
sistem hukum dan kekeluargaan.[12]
Pengaruh hukum
yang ditinggalkan oleh periode sahabat ini ada tiga hal, yaitu:
1.
Pensyarahan perundang-undangan bagi
nash-nash hukum dalam Al-Qur’an dan al-Sunnah. Setelah para pemuka sahabat
membahas nash-nash untuk diterapkan pada kejadian-kejadian yang dihadapi, maka
tersusunlah beberapa pendapat dalam memahami nash-nash tersebut serta apa yang
dikehendaki oleh nash-nash tersebut. Dalam menetapkan pendapatnya, para sahabat
bersandar kepada kemampuan bahasa serta bakat hukum mereka, dan mereka
berpegang kepada hikmah hukum, sebab-sebab turun ayat Al-Qur’an dan sebab-sebab
turunnya teks al-Sunnah.
2.
Bermacam-macamnya ijtihad sahabat
pada kejadian-kejadian yang tidak ada nash hukumnya. Jika tidak menjumpai suatu
nash dalam Al-Qur’an al-Sunnah
tentang hukum kejadian yang dihadapi, maka para sahabat berijtihad untuk mengistinbatkan
hukum dengan memakai salah satu dari beberapa metode istinbath yang
ada.[13]
Ijtihad dalam menyelesaikan kasus disebut fatwa, yaitu suatu pendapat yang
muncul karena adanya peristiwa yang terjadi. Fatwa-fatwa yang diungkapkan para
sahabat mempunyai pengaruh terhadap perkembangan hukum islam. Banyak para ulama
dan imam madzhab merujuk pada pendapat para sahabat besar dan mengembangkan
lagi ijtihad mereka guna menemukan penyelesaian permasalahan-permasalahan hukum
Islam, bahkan masalah yang belum dihadapi.
3.
Sahabat telah menentukan thuruq al-istinbath dalam menyelesaikan
kasus yang dihadapi. Thuruq al-Istinbath tersebut digunakan dalam rangka
menyelesaikan kasus yang dihadapi. Sehingga generasi sahabat kecil dan tabiin
mengikuti jejak sahabat besar dalam menyelesaikan suatu perkara.[14]
C. Perkembangan
Hukum Islam di Masa Imam Mazhab
Setelah
kuasaan Umayyah berakhir, kendali pemerintahan Islam dilanjutkan oleh dinasti
Abbasiah. Periode ini dikenal sebagai zaman keemasan dalam sejarah pemikiran
hukum Islam, atau fase fikih menjadi ilmu yang mandiri atau fase kesempurnaan.
Faktor-faktor yang mendorong perkembangan pemikiran dalam hukum Islam pada
periode ini, adalah berkembangnya ilmu pengetahuan di dunia Islam. Berkembang
pesatnya ilmu pengetahuan di dunia Islam itu disebabkan oleh:
a. Banyaknya mawali yang masuk Islam.
Mereka dimanfaatkan untuk menterjemahkan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab,
termasuk filsafat karya Aristoteles, Plato dan Galen.
b. Berkembangnya pemikiran karena luasnya
ilmu pengetahuan.
c. Adanya upaya umat Islam untuk
melestarikan Alquran dengan dua cara; dicatat (dikumpulkan dalam satu mushaf),
dan dihafal. Pelestarian Alquran melalui hafalan dilakukan dengan mengembangkan
cara membacanya sehingga saat itu dikenal corak bacaan Alquran (qira’at). Adanya
perbedaan qira’at (bacaan) tentunya akan mengakibatkan munculnya perbedaan
dalam mengistinbatkan hukum Islam.
Pada
dinasti Abbasiah ini, pesatnya perkembangan pemikiran hukum Islam melahirkan
beberapa mazhab yang masih eksis hingga sekarang, di antaranya Hanafiah,
Malikiah, Syafi’iah dan Hanabilah yang dikemukakan secara ringkas dalam uraian
selanjutnya.
a. Mazhab Hanafiah dirintis oleh imam Abu
Hanifah. Di antara hasil pemikiran hukum Islam yang
dikembangkan Abu Hanifah, adalah:
1) benda wakaf masih tetap milik wāqif.
Kedudukan wakaf dipandang sama dengan ‘ariyah (pinjam meminjam). Karena itu
benda wakaf dapat dijual, diwariskan, dan dihibahkan oleh wakif kepada orang
lain, kecuali wakaf untuk masjid, wakaf yang ditetapkan berdasarkan keputusan
hakim, wakaf wasiat, dan wakaf yang diikrarkan secara tegas, bahwa wakaf itu
terus dilanjutkan meskipun wāqif telah meninggal.
2) wanita boleh menjadi hakim di pengadilan
yang tugasnya khusus menangani perkara perdata, bukan perkara pidana. Karena
wanita tidak dibolehkan menjadi saksi pidana, ia hanya boleh menjadi saksi
perkara perdata.
3) shalat gerhana (matahari dan bulan)
dilakukan dua rakaat seperti salat ‘Id, tidak dilakukan dua kali ruku dalam
satu rakaat.
b. Mazhab Malikiah dirintis oleh imam Malik
bin Anas. Di antara pemikiran hukum Islam yang dikembangkan oleh imam Malik,
adalah:
1) kesucian mustahadah. Menurut imam Malik,
wanita yang mengalami istihadah diwajibkan satu kali mandi, kesuciannya setelah
itu cukup dengan berwudu, berdasarkan amal ulama Madinah.
2) berjimak dengan wanita mustahadah.
Laki-laki diharamkan berjima dengan isterinya yang sedang haid dan nifas.
Tetapi boleh berjima dengan isterinya yang sedang istihadah.
3) qamat salat, dilakukan satu kali satu
kali.
4) bacaan salat di belakang imam, makmum
disunatkan membaca bacaan salat saat bacaan salat imam tidak terdengar.
5) takbir zawa’id dalam salat hari raya
idul fitri dan idul adha, adalah 6 kali takbir, selain tabiratul ihram pada
rakaat pertama, sedangkan pada rakaat kedua adalah 5 kali takbir, selain takbir
bangkit dari sujud.
c. Mazhab Syafi’iah dirintis oleh Imam
Syafi’i. Hasil pemikiran Imam Syafi’i berkembang dalam dua model; qaul al-qadīm
dan qaul al-jadīd, diantaranya:
1) Qaul qadim
a) Orang yang wudunya tidak tertib karena
lupa adalah sah.
b) Berturut-turut dalam memba-suh anggota
badan yang wajib dibasuh dalam berwudu adalah wajib.
c) Menyentuh dubur tidak membatalkan wudhu.
d) Seseorang dibolehkan tayamum dengan
pasir.
e) Salat isya lebih utama dilaksanakan
dengan segera.
f) Ibadah umrah adalah sunnah.
2) Qaul jadid
a)
Orang
yg wudunya tidak tertib, meskipun lupa, adalah tidak sah.
b)
Berturut-turut
dalam membasuh anggota badan yang wajib dibasuh dalam berwudhu adalah sunat.
c)
Menyentuh
dubur membatalkan wudhu.
d)
Seseorang
tidak dibolehkan tayamum dengan pasir.
e)
Salat
isya lebih utama dilaksanakan dengan diakhirkan.
f)
Ibadah
umrah adalah wajib
Selain
itu imam Syafi’i juga mengembangkan pemikiran hukum Islam di antaranya:
a)
masalah
imamah termasuk masalah agama, karena itu mendirikan imamah merupakan kewajiban
agama. Pemimpin umat Islam harus beragama Islam, dan dari kalangan Quraisy serta
orang-orang non muslim terlindungi.
b)
wanita
tidak boleh menjadi hakim secara mutlak.
d. Mazhab Hanabilah dirintis oleh imam
Ahmad bin Hanbal. Di antara hasil pemikiran hukum Islam yang dikembangkan imam
Ahmad, adalah:
1) Pencuri yang dapat dipotong tangannya,
harus mukallaf, dapat memilih, merdeka, dan bukan pemilik walau pun syubhat. Nisab
harta yang dicuri minimal ¼ dinar atau 3 dirham.
2) khalifah harus dari kalangan Quraisy.
Ketaatan kepada khalifah adalah mutlak.
Dengan demikian dapat diungkapkan,
bahwa pemikiran dalam hukum Islam mencapai kemajuan pesat di zaman dinasti
Abbasiah, ditandai oleh: (1) lahirnya para ahli hukum Islam serta (2) munculnya
berbagai teori hukum Islam yang masih dianut hingga sekarang. Jadi pada periode
ini pemikiran hukum Islam terkristali-sasi oleh para imam mazhab, Hanafi,
Malik, Syafi’i, dan Hanbali. Jika masa-masa sebelumnya metodologi formulasi
hukum Islam belum jelas, maka pada masa imam mazhab, telah diformulasikan
secara jelas. Di samping itu di zaman ini dihasilkan pula berbagai kitab hadis
mu’tabar yang dikenal dengan kutub al-sittah. Dengan demikian perkembangan
pemikiran dalam hukum Islam mencapai kejayaannya di zaman dinasti Abbasiah.[15]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada waktu masyarakat Arab dalam keadaan yang memprihatinkan Nabi
Muhammad sering menyendiri di gua Hira selama bulan Ramadhan. Ketika beliau
mencapai umur 40 tahun, yakni pada tahun 610 Masehi, beliau menerima wahyu
pertama. Pada waktu itu beliau ditetapkan sebagai Rasul atau Utusan Allah. Tiga
tahun kemudian, Malaikat Jibril membawa perintah Allah untuk menyebarluaskan wahyu
yang diterimanya kepada umat manusia. Wahyu tersebut adalah Al-Qur’an yang
menjadi sumber hukum pertama dalam Islam. Menurut penelitian Abdul Wahab
Khallaf, Guru Besar Hukum Islam Universitas Kairo, ayat-ayat hukum mengenai
soal-soal ibadah jumlahnya 140 ayat dalam Al Qur’an. Ayat-ayat ibadah ini
berkenaan dengan soal shalat, zakat dan haji. Sedangkan ayat-ayat hukum
mengenai mu’amalah jumlahnya 228, lebih kurang 3% dari jumlah seluruh ayat-ayat
yang terdapat dalam l Qur’an.
Pada masa sahabat cara menetapkan hukum dengan cara: 1) menelaah
Qur’an, 2) melihat pada sunnah Nabi, baik perkataan maupun perbuatan beliau, 3)
jikalau belum ditemukan para sahabat melakukan ijtihad bersama, 4) jikalau
belum ditemukan juga hukumnya, maka para sahabat melakukan Qiyas.
Pada masa imam mazhabpun, cara pentepannya hampir sama dengan yang
dilakukan pada masa sahabat. Namun, imam mazhab sering melakukan ijtihad
sendiri, sehingga menghasilkan fatwa yang berbeda-beda.
B. Saran
Kami menyadari, masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam
penulisan makalah ini. Untuk itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun.
DAFTAR PUSTAKA
A.
BUKU
Ali,
Mohammad Daud, Pengantar Ilmu Hukum dan
Tatata Hukum Islam di Indonesia .Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2007.
Ali,
Muhammad Daud, Hukum Islam,
Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2004.
Ali,
Mohammad Daud, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam,
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002.
Ngainun
Naim, Sejarah Pemikiran Hukum Islam: Sebuah Pengantar, Yogyakarta:
TERAS, 2009, h. 66-67.
B.
INTERNET
https://lailynurarifa.wordpress.com/2011/10/10/tarikh-tasyri%E2%80%99-masa-khulafaur-rasyidin/ (diunduh, minggu, 2
april 2016, 14.30 wib)
http://abdulkhaliklatuconsina.blogspot.co.id/2010/01/perkembangan-pemikiran-hukum-islam.html diunduh pada hari Minggu, 3 April 2016.
http://www.kompasiana.com/rahilazny89/khulafaur_rasyidin_(diunduh, minggu, 2 april 2016, 14.30 wib)
http://mahrusali611.blogspot.co.id/2013/03/penegakan-hukum-islam-dizaman-umar-bin.html (diunduh, minggu, 2
april 2016, 14.30 wib)
[2]Daud, Mohammad
Ali, Pengantar Ilmu Hukum dan Tatata
Hukum Islam di Indonesia (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2007) hal. 155
[3]Ali, Muhammad Daud, Hukum Islam, (Jakarta : PT. RajaGrafindo
Persada, 2004), hlm. 42.
[4]http://www.kompasiana.com/rahilazny89/khulafaur_rasyidin_ (diunduh, minggu, 2 april 2016, 14.30 wib)
[5]Mohammad Daud
Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2002, h. 153.
[6]Mohammad Daud
Ali, Hukum Islam..., h. 155.
[7]Mohammad Daud
Ali, Hukum Islam..., h. 156-157.
[8]Mohammad Daud
Ali, Hukum Islam..., h. 158.
[9]http://mahrusali611.blogspot.co.id/2013/03/penegakan-hukum-islam-dizaman-umar-bin.html (diunduh, minggu, 2
april 2016, 14.30 wib)
[10]Mohammad Daud
Ali, Hukum Islam..., h. 160.
[11]Mohammad Daud
Ali, Hukum Islam..., h. 162-163.
[12]Mohammad Daud
Ali, Hukum Islam..., h. 164.
[13]Ngainun Naim, Sejarah
Pemikiran Hukum Islam: Sebuah Pengantar, Yogyakarta: TERAS, 2009, h. 66-67.
[14]https://lailynurarifa.wordpress.com/2011/10/10/tarikh-tasyri%E2%80%99-masa-khulafaur-rasyidin/ (diunduh, minggu, 2
april 2016, 14.30 wib)
[15]http://abdulkhaliklatuconsina.blogspot.co.id/2010/01/perkembangan-pemikiran-hukum-islam.html diunduh pada hari Minggu, 3 April 2016.
0 komentar:
Posting Komentar