Makalah Kelompok 3
FILSAFAT ILMU
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah: Filsafat Ilmu
Dosen: Sofyan Hakim, SE. MM
Disusun oleh
AKHMADI (NIM: 15041204)
M. SYARIF (NIM: 1504120435)
LAILA MAGHFIROH (NIM: 1504120436)
MUKARAMAH (NIM: 1504120424)
NOOR JANNAH (NIM: 1504120432)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKARAYA
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
JURUSAN EKONOMI ISLAM
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
A.
Pendahuluan
Filsafat dan ilmu pada dasarnya adalah dua kata yang
saling terkait, baik secara substansial maupun historis, karena kelahiran ilmu
tidak lepas dari peranan filsafat. Ilmu-ilmu pengetahuan yang lahir selanjutnya
berkembang menjadi lebih terspesialisasi dalam bentuk yang lebih kecil dan
sekaligus semakin aplikatif dan terasa manfaatnya. Filsafat sebagai induk dari
segala ilmu membangun kerangka berfikir dengan meletakkan tiga dasar utama,
yaitu ontologi, epistimologi dan aksiologi. Maka Filsafat Ilmu menurut Jujun
Suriasumantri merupakan bagian dari epistimologi (filsafat ilmu pengetahuan
yang secara spesifik mengkaji hakekat ilmu (pengetahuan ilmiah). Peran Filsafat
Ilmu dalam struktur bangunan keilmuan sebagai landasan filosofis bagi tegaknya
suatu ilmu. Filsafat Ilmu dianggap sebagai satu-satunya pola pikir yang bisa
dipertanggungjawabkan. Berbeda dengan ilmu logika, Filsafat Ilmu menawarkan
banyak pola pikir dengan memperhatikan kondisi objek dan subjek ilmu, bahkan
pola pikir logika sebagai bagian dalamnya. Begitulah urgensi Filsafat Ilmu,
baik sebagai disiplin maupun sebagai landasan filosofis pengembangan ilmu.
Untuk lebih lanjut, dalam pembahasan kali ini kami akan
membahas tentang batasan dan ruang lingkung filsafat ilmu yang kami rangkum
mulai dari pengertian filsafat ilmu sendiri, objek filsafat ilmu yang terdiri
atas objek material dan objek formal, struktur pembahasan filsafat ilmu yang
meliputi ontologi, epistemologi, dan aksiologi, serta tujuan dari mempelajari
filsafat ilmu itu sendiri.
B.
Pembahasan
1. Pengertian
Filsafat Ilmu
Secara etimologi kata filsafat yang dalam
bahasa Arab falsafah yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah philosophy,
adalah berasal dari bahasa Yunani philosophia. Kata philosophia terdiri
atas kata philein yang berarti cinta (love) dan sophia yang
berarti kebijaksanaan (wisdom), sehingga secara etimologi filsafat
berarti cinta kebijaksanaan (love of wisdom) dalam arti yang
sedalam-dalamnya.[1] Pengertian filsafat secara terminologi sangat
beragam dalam ungkapan maupun titik tekanannya. Bahkan Moh. Hatta dan Langaveld
mengatakan bahwa definisi filsafat tidak perlu diberikan karena setiap orang
memiliki titik tekan sendiri dalam definisinya. Oleh karena itu, biarkan saja
seseorang meneliti filsafat terlebih dahulu kemudian menyimpulkannya.[2] Namun,
secara umum Filsafat adalah
pengetahuan yang diperoleh dengan cara berpikir logis, tentang objek yang
abstrak logis, kebenaranya dipertanggung jawabkan secara logis pula. Jika
diringkaskan dapat, juga dikatakan bahwa filsafat ialah pengetahuan yang logis
yang tidak dapat dibuktikan secara empiris.[3]
Adapun Ilmu berasal
dari bahasa Arab ‘alima, ya’lamu, ‘ilman, dengan wazan fa’ila,
yaf’alu, yang berarti mengerti, memahami benar-benar. Dalam bahasa Inggris
disebut science, dari bahasa Latin scientia (pengetahuan), scire
(mengetahui). Sinonim yang paling dekat dengan bahasa Yunani adalah episteme.
Jadi pengertian ilmu yang terdapat dalam kamus bahasa Indonesia adalah
pengetahuan tentang suatu bidang, yang disusun secara bersistem menurut
metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala
tertentu di bidang (pengetahuan) itu.[4] Jadi, ilmu adalah
sebagian pengetahuan yang mempunyai ciri, tanda, syarat tertentu, yaitu
sistematik, rasional, empiris, universal, objektif, dapat diukur, terbuka, dan
kumulatif (bersusun timbun).[5]
Setelah dipahami
pengertian filsafat dan ilmu dapat disimpulkan bahwa filsafat ilmu merupakan
kajian secara mendalam tentang dasar-dasar ilmu.
2. Objek Filsafat
Ilmu
a. Objek Material
Objek material, yaitu suatu bahan yang menjadi
tujuan penelitian atau pembentukan pengetahuan itu.[6] Tentang objek material ini banyak yang sama dengan objek material sains. Bedanya ialah
dalam dua hal. Pertama, sains menyelidiki objek material yang empiris; filsafat
menyelidiki objek itu juga, tetapi bagian yang abstraknya. Kedua, ada objek
material filsafat yang memang tidak dapat diteliti oleh sains, seperti Tuhan, hari
akhir, yaitu objek material yang untuk selama-lamanya tidak empiris.[7]
b.
Objek Formal
Objek formal adalah sudut pandang dari mana sang
subjek menelaah objek materialnya. Objek formal filsafat ilmu adalah hakikat
(esensi) ilmu pengetahuan, bagaimana cara memperoleh kebenaran ilmiah dan apa
fungsi ilmu itu bagi manusia.[8] Yang membedakan
filsafat dengan ilmu-ilmu lain terletak dalam objek material dan objek
formalnya. Kalau dalam ilmu-ilmu lain objek materialnya membatasi diri,
sedangkan pada filsafat tidak membatasi diri. Adapun pada objek formalnya
membahas objek materialnya itu sampai ke hakikat atau esensi dari yang
dihadapinya.[9]
3.
Struktur Pembahasan Filsafat
a.
Ontologi
Ontologi merupakan bagian filsafat
yang membahas tentang yang ada, baik konkret maupun abstrak yang pada garis
besarnya terbagi pada persoalan hakikat Tuhan, hakikat alam dan hakikat
manusia. Titik tolak dan dasarnya adalah refleksi terhadap kenyataan yang
paling dekat yaitu manusia sendiri dan dunianya. Segala yang dibicarakan
disebut metafisika. Ontologi bermanfaat untuk refleksi kritis bagi pengembangan
ilmu pengetahuan.[10] Ontologi juga membahas tentang apa yang ingin kita ketahui,
seberapa jauh kita ingin tahu, atau suatu pengkajian mengenai teori tentang
ada. Ruang kajian meliputi eksistensi,
esensi, substansi, materi, perubahan (change) dari sebuah objek atau fenomena alam
dan sosial.[11]
b.
Epistemologi
Epistemologi adalah padanan kata dari episteme dan logos. Kajian filsafat
untuk menjawab hubungan, sebab, akibat, bagaimana dan mengapa sesuatu itu bisa
terjadi. Aspek epistemologi adalah kebenaran fakta/kenyataan dari sudut pandang
mengapa dan bagaimana fakta itu benar yang dapat diverifikasi atau dibuktikan
kembali kebenarannya. Basis atau landasan bagi epistemologi ilmu adalah “metode
ilmiah” dengan hasil kajian berupa teori, prinsip, hukum ilmu pengetahuan.[12]
Epistemologi
merupakan bagian filsafat yang membawa kita untuk mengetahui cara mempelajari
atau mengembangkan ilmu. Bagaimana metodenya, bagaimana teori atau ilmunya
sampai mendapat kebenaran yang nyata suatu objek. Kebenaran sendiri ada empat
kategori yaitu kebenaran pengetahuan, kebenaran ilmiah, kebenaran filsafati dan
kebenaran wahyu (yang mutlak). Epistemologi bermanfaat untuk pencapaian
kebenaran obyektif sesuai dengan kerangka dasar keilmuan guna kesejahteraan dan
kemaslahatan manusia sebagai makhluk Tuhan.[13]
c.
Aksiologi
Aksiologi adalah kajian filsafat yang memanfaatkan hasil kajian ontologi
dan epistemologi untuk kepentingan dan kebaikan umat manusia. Pengetahuan yang
diperoleh dapat digunakan untuk menjelaskan, (to explain), mengendalikan
(to control), meramalkan (to predict) dan memecahkan masalah (to
solve problem) yang dihadapi manusia di masa mendatang.[14]
Aksiologi
terdiri dari dua hal utama, yaitu etika dan estetika. Etika berhubungan dengan
nilai atau penilaian perilaku orang. Estetika berhubungan
dengan pandangan indah atau tidak indahnya karya manusia. Aksiologi
memberi manfaat untuk mengantisipasi perkembangan kehidupan manusia yang
negatif sehingga ilmu pengetahuan dan teknologi tetap berjalan pada jalur
kemanusiaan.[15]
Dengan demikian, Ontologi, membicarakan hakikat pengetahuan (segala
sesuatu). Epistemologi, membicarakan cara
memperoleh pengetahuan itu, dan Aksiologi
membicarakan guna pengetahuan itu.[16]
4.
Metode Filsafat
Sepanjang sejarah filsafat telah dikembangkan
sejumlah meode-metode yang berbeda dengan cukup jelas. Yang paling penting
disusun menurut garis historis sedikitnya ada 10 metode, yaitu sebagai berikut.
a.
Metode Kritis: Sokrates, Plato.
Bersifat analisis istilah dan pendapat.
Merupakan heurmeneutika yang menjelaskan keyakinan dan memperlihatkan
pertentangan. Dengan jalan bertanya (berdialog), membedakan, membersihkan,
menyisihkan dan menolak, akhirnya ditemukan hakikat.
b.
Metode Intuitif: Plotinos, Bergson.
Dengan jalan intropeksi intuitif, dan dengan
pemakaian simbol-simbol diusahakan pembersihan intelektual (bersama dengan
persucian moral), sehingga tercapai suatu penerangan pikiran. Bergson: dengan
jalan pembauran antara kesadaran dan proses perubahan, tercapai pemahaman
langsung mengenai kenyataan.
c.
Metode Skolastik: Aristoteles, Tomas Aquinas,
Filsafat Abad Pertengahan.
Bersifat sintesis-deduktif, dengan bertitik
tolak dari definisi-definisi atau prinsip-prinsip yang jelas dengan sendirinya,
ditarik kesimpulan-kesimpulan.
d. Metode Geometris: Descartes dan pengikutnya.
Melalui analisis mengenai hal-hal kompleks,
dicapai intuisi akan hakikat-hakikat ‘sederhana’ (ide terang dan berbeda dari
yang lain); dari hakikat-hakikat itu dideduksikan secara matematis segala
pengertian lainnya.
e. Metode Empiris: Hobbes, Locke, Barkeley, Hume.
Hanya pengalamanlah menyajikan pengertian
benar; maka semua pengertian (ide-ide) dalam introspeksi dibandingkan dengan
serapan-serapan (impressi) dan kemudian disusun bersama secara geometris
f. Metode Transendental: Kant, Neo-Skolastik.
Bertitik tolak dari tepatnya pengertian
tertentu, dengan jalan analisis diselidiki syarat-syarat apriori bagi
pengertian sedemikian.
g. Metode Fenomenologis: Husserl, eksistensialisme.
Dengan jalan beberapa pemotongan sistematis (reduction),
refleksi atas fenomin dalam kesadaran mencapai hakikat-hakikat murni.
h. Metode Dialektis: Hegel, Marx.
Dengan jalan mengikuti dinamika pikiran atau
alam sendiri, menurut triade tesis, antitesis, sintesis dicapai hakikat
kenyataan.
i. Metode Neo-positivistis.
Kenyataan dipahami menurut hakikatnya dengan jalan
mempergunakan aturan-aturan seperti berlaku pada ilmu pengetahuan positif (eksakta).
j. Metode analitika bahasa: Wittgenstein.
Dengan jalan analisis pemakaian bahasa
sehari-hari ditentukan sah atau tidaknya ucapan-ucapan filosofi.[17]
5.
Tujuan Filsafat Ilmu
a.
Mendalami unsur-unsur pokok ilmu, sehingga secara
menyeluruh kita dapat memahami sumber, hakikat dan tujuan ilmu.
b.
Memahami sejarah pertumbuhan, perkembangan, dan
kemajuan ilmu di berbagai bidang, sehingga kita mendapat gambaran tentang
proses ilmu kontemporer secara historis.
c.
Menjadi pedoman bagi para dosen dan mahasiswa dalam
mendalami studi di perguruan tinggi, terutama untuk membedakan persoalan yang
ilmiah dan non ilmiah.
d.
Mendorong para calon ilmuwan untuk konsisten dalam
memahami ilmu dan mengembangkannya.
e.
Mempertegas bahwa dalam persoalan sumber dan tujuan
antara ilmu dan agama tidak ada pertentangan.[18]
C. Penutup
Demikianlah, pembahasan tentang batasan dan ruang
lingkup filsafat yang dapat kami bahas. Mudah-mudahan mampu menambah wawasan
dan pengetahuan kita, serta menggugah kita untuk terus mencari dan berpetualang
di dunia ilmu.
Terimakasih pada semua pihak yang telah membantu
dalam penyelesaian tugas ini dan kami sadar masih banyak terdapat kesalahan
baik pada pengetikan makalah maupun presentasi, untuk itu kami mengaharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun.
[1]Surajiyo, Filsafat
Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, Jakarta: PT Bumi aksara, Ed. 1, Cet.
5, 2010, hlm. 3.
[2]Amsal Bakhtiar,
Filsafat Ilmu, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006, hlm. 6.
[3]Ahmad Tafsir,Filsafat
Umum,Bandung:PT.Remaja Rosdakarya,2010, hlm.45.
[4]Amsal Bakhtiar,
Filsafat Ilmu..., hlm. 12.
[5]Amsal Bakhtiar,
Filsafat Ilmu..., hlm. 16.
[6]Surajiyo, Filsafat
Ilmu dan Perkembangannya..., hlm. 7.
[8]Stefanus
Supriyanto, Filsafat Ilmu, Jakarta: Prestasi Pustaka, cet. 1, 2013, hlm.
80.
[11]Stefanus
Supriyanto, Filsafat Ilmu..., hlm. 30-32
[12]Ibid.
[14]Stefanus
Supriyanto, Filsafat Ilmu..., hlm. 30-32.
[16]Ibid.
[17]Surajiyo, Filsafat
Ilmu dan Perkembangannya..., hlm. 9-11.
[18]Amsal Bakhtiar,
Filsafat Ilmu..., hlm. 20.
0 komentar:
Posting Komentar