Makalah Kelompok 7
KEADAAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah: Aspek Hukum dalam Muamalat
Dosen: Itsla Yunisva Aviva, M.E.Sy.
Disusun oleh
MUKARAMAH (NIM: 1504120424)
NOR JANAH (NIM: 15041204)
HAMIDAH (NIM: 15041204)
SITI NUR ANISA (NIM: 15041204)
FAUZAN HAKIM (NIM: 15041204)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKARAYA
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
JURUSAN EKONOMI ISLAM
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah memberikan hidayah, inayah dan rahmat-Nya, sehingga penyusunan makalah
ini selesai dengan baik dan tepat waktu. Karena tanpa pertolongan-Nya kami
selaku penyusun tidak akan mampu menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa semoga
tercurahkan selalu shalawat serta salam kepada manusia termulia yakni baginda
Rasulullah Muhammad SAW. yang berkat usaha kerja kerasnya kita dipersatukan
dalam persaudaraan yang lurus lagi benar dan semoga kita selaku ummatnya selalu
dalam jalan-Nya dan mengikuti jalan Nabi Muhammad SAW.
Dalam pembuatan makalah ini kami tidak begitu mendapat
banyak kesulitan karena adanya saran dari berbagai pihak tentang pembuatannya.
Namun, tidak menutup kemungkinan makalah ini masih jauh dari sempurna dan
banyak kekurangan, baik dari penulisan, ejaan dan sebagainya. Oleh karenanya,
kami sangat mengharapkan dengan lapang dada, kritik dan saran yang bersifat
membangun.
Akhirnya, kami selaku penyusun mengucapkan terima kasih
kepada Ibu. Itsla Yunisva Aviva, M.E.SY. yang telah memberikan tugas dan
bimbingannya kepada kami, yang mana ini akan membantu kami agar terbiasa dalam
pembuatan makalah. Tidak lupa kami ucapkan pula terima kasih kepada seluruh
pihak yang telah memberikan bantuannya sehingga kami mampu menyelesaikan
makalah ini dengan baik.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam di Indonesia adalah unsur
paling mayoritas. Dalam tataran dunia Islam internasional, umat Islam Indonesia
bahkan dapat disebut sebagai komunitas muslim paling besar yang berkumpul dalam
satu batas teritorial kenegaraan. Karena itu, menjadi sangat menarik untuk
memahami alur perjalanan sejarah hukum Islam di tengah-tengah komunitas Islam
terbesar di dunia itu. Di samping itu, kajian tentang sejarah hukum Islam di
Indonesia juga dapat dijadikan sebagai salah satu pijakan bagi umat Islam
secara khusus untuk menentukan strategi yang tepat di masa depan dalam
mendekatkan dan “mengakrabkan” bangsa ini dengan hukum Islam. Proses sejarah
hukum Islam yang diwarnai “benturan” dengan tradisi yang sebelumnya berlaku dan
juga dengan kebijakan-kebijakan politik-kenegaraan, serta tindakan-tindakan
yang diambil oleh para tokoh Islam Indonesia terdahulu setidaknya dapat menjadi
bahan telaah penting di masa datang. Setidaknya, sejarah itu menunjukkan bahwa
proses Islamisasi sebuah masyarakat bukanlah proses yang dapat selesai
seketika.[1]
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana keadaan hukum Islam di Indonesia pada zaman kerajaan?
2.
Bagaimana keadaan hukum Islam di Indonesia pada zaman penjajahan?
3.
Bagaimana keadaan hukum Islam di Indonesia pada zaman setelah
kemerdekaan?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui keadaan hukum Islam di Indonesia pada zaman kerajaan.
2.
Mengetahui keadaan hukum Islam di Indonesia pada zaman penjajahan.
3.
Mengetahui keadaan hukum Islam di Indonesia pada zaman setelah
kemerdekaan.
D.
Metode Penulisan
Adapun
metode yang digunakan dalam pembuatan makalah ini adalah dengan cara menelaah
buku-buku kepustakaan sebagai referensi dan menelusuri internet yang
berhubungan dengan materi yang dibahas dalam makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Keadaan Hukum Islam pada Zaman Kerajaan
Jika dilihat sebelum Islam masuk, masyarakat Indonesia telah
membudaya kepercayaan animisme dan dinamisme. Kemudian lahirlah
kerajaan-kerajaan yang masing-masing dibangun atas dasar agama yang dianut
mereka, misalkan Hindu, Budha dan disusul dengan kerajaan Islam yang didukung
para wali pembawa dan penyiar agama Islam. Akar sejarah hukum Islam di kawasan
nusantara menurut sebagian ahli sejarah telah dimulai pada abad pertama hijriah,
atau sekitar abad ketujuh dan kedelapan Masehi. Sebagai gerbang masuk ke dalam
kawasan nusantara, di kawasan utara pulau Sumatra lah yang dijadikan sebagai
titik awal gerakan dakwah para pendatang muslim. Dan secara perlahan gerakan
dakwah itu kemudian membentuk masyarakat Islam pertama di Peureulak, Aceh
Timur. Berkembanganya komunitas muslim di wilayah itu kemudian diikuti dengan
berdirirnya kerajaan Islam pertama sekitar abad ketiga belas yang dikenal
dengan Samudera Pasai, terletak di wilayah aceh utara. Dengan berdirinya
kerajaan Pasai itu, maka pengaruh Islam semakin menyebar dengan berdirirnya
kerajaan lainnya seperti kesultanan Malaka yang tidak jauh dari Aceh. Selain
itu ada beberapa yang ada di jawa antara lain kesultanan demak, mataram, dan
cirebon. Kemudian di daerah sulawesi dan maluku ada kerajaan gowa dan
kesultanan ternate serta tidore. Dengan adanya kerajaan-kerajaan Islam
menggantikan kerajaan Hindu-Budha berarti untuk pertama kalinya hukum Islam
telah ada di Indonesia sebagai hukum positif.
Hukum Islam di berlakukan oleh raja-raja di Indonesia dengan cara
mengangkat ulama-ulama untuk menyelesaikan sengketa. Bentuk peradilannya
berbeda-beda tergantung dengan bentuk peradilan adat. Karena palaksanaan
peradilan yang bercorak Islam dilakukan
dengan cara mencampurkan (mengawinkan) dengan bentuk peradilan Adat di Indonesia.
Pada kerajaan-kerajaan di Jawa pada pelaksanaannya ahli hukum Islam memliki
tempat yang terhomat yang kemudian di kenal dengan sebutan penghulu di mana
tugasnya disamping sebagai ulama juga menyelesaikan perkara-perkara perdata,
perkawinan, dan kekeluargaan, proses penyelesaian (peradilan) di selesaikan di
masjid. Secara yuridis raja-raja di Indonesia memberlakukan hukum Islam akan
tetapi tidak dalam konteks peraturan atau perundang-undangan kerajaan. Hukum
Islam di berlakukan dalam kontek ijtihad ulama, permasalahan-permasalahan yang
terjadi terkadang tidak bisa di selesaikan oleh perundanga-undangan kerajaan
maka terkadang di tanyakan kepada Ulama. Saat itulah ulama melakukan ijtihad
atau menyandarkan pendapatnya kepada kitab-kitab fiqh. Dengan pola ini mazhab
imam 4 syafii’I, Hanafi, Maliki, dan
Hambali berkembang di Indonesia hingga saat ini. Hukum Islam dipraktekkan oleh
masyarakat dalam bentuk yang hampir bisa dikatakan sempurna (syumul), mencakup
masalah mu’amalah, ahwal al-syakhsiyyah (perkawinan, perceraian dan warisan),
peradilan, dan tentu saja dalam masalah ibadah. Hukum Islam juga menjadi sistem
hukum mandiri yang digunakan di kerajaan-kerajaan Islam nusantara. Islam
menjadi pilihan bagi masyarakat karena secara teologis ajarannya memberikan
keyakinan dan kedamaian bagi penganutnya. Masyarakat pada periode ini dengan
rela dan patuh, tunduk dan mengikuti ajaran-ajaran Islam dalam berbagai dimensi
kehidupan. Namun keadaan itu kemudian menjadi terganggu dengan datangnya
kolonialisme barat yang membawa misi tertentu, mulai dari misi dagang, politik
bahkan sampai misi kristenis.[2]
B.
Keadaan Hukum Islam di Indonesia pada Zaman Penjajahan
1.
Masa Belanda
Di masa VOC kedudukan hukum kekeluargaan Islam telah ada dalam
masyarakat dan diakui dalam kerajaan-kerajaaan Islam kemudian dikumpulkan dalam
suatu buku yang dikenal dengan Compendium Freijer. Di samping itu dibuat
pula kumpulan hukum perkawinan dan kewarisan Islam untuk daerah-daerah Cirebon,
Semarang dan Makasar (Bone dan Goa).[3] Cikal
bakal penjajahan Belanda terhadap kawawsan nusantara dimulai dengan kehadiran
organisasi perdagangan dagang Belanda di Hindia Timur atau yang lebih dikenal
dengan VOC. Ketika VOC datang ke Indonesia, kebijakan yang telah dilaksanakan
oleh para sultan/kepala Negara tetap dipertahankan pada daerah-daerah yang
dikuasainya. Bahkan dalam banyak hal, VOC memberikan kemudahan dan fasilitas
agar lembaga peradilah Islam dapat terus berkembang. Bentuk kemudahan yang
diberikan VOC adalah menerbitkan buku-buku hukum Islam untuk menjadi pegangan
para hakim dalam memutuskan perkara.[4]
Dalam menghadap perkembangan hukum Islam di Indonesia, pada mulanya
pemerintah konolial Belanda meneruskan kebijaksanaan yang telah dilaksanakan
oleh VOC, mereka tidak menganggap bahwa hukum Islam adalah suatu ancaman yang
harus ditakuti. Atas usul Van Den Berg dengan teori receptie in complexu yang
berkembang dan diyakini kebenarannya oleh pakar-pakar hukum pemerintah colonial
Belanda maka dibentuklah Peradilan Agama Indonesia. Kondisi sebagaimana
tersebut di atas tidak dapat dipertahankan dalam jangka waktu yang lama karena
pemerintahan kolonial Belanda mengubah pendiriannya tentang pemberlakuan hukum
Islam di Indonesia[5]
Perubahan pendirian pemerintah kolonial Belanda ini akibat usul Snouck
Hurgronje dengan teorinya yang terkenal dengan teori receptie. Akibat
teori ini perkembangan hukum Islam menjadi terhambat karena pemerintahan
kolonial Belanda mengeluarkan kebijakan baru yang membatasi berlakunya
kewenangan peradilan agama.[6]
Dalam kenyataannya, penggunaan hukum Belanda itu menemukan
kesulitan. Ini disebabkan karena penduduk pribumi berat menerima hukum-hukum
yang asing bagi mereka. Akibatnya, VOC pun membebaskan penduduk pribumi untuk
menjalankan apa yang selama ini telah mereka jalankan. Kaitannya dengan hukum
Islam, dapat dicatat beberapa “kompromi” yang dilakukan oleh pihak VOC, yaitu:
a.
Dalam Statuta Batavia yag ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC,
dinyatakan bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk agama Islam.
b.
Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku
di tengah masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi ini
kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.
c.
Adanya upaya kompilasi serupa di berbagai wilayah lain, seperti di
Semarang, Cirebon, Gowa dan Bone. Di Semarang, misalnya, hasil kompilasi itu
dikenal dengan nama Kitab Hukum Mogharraer (dari al-Muharrar). Namun kompilasi
yang satu ini memiliki kelebihan dibanding Compendium Freijer, dimana ia juga
memuat kaidah-kaidah hukum pidana Islam.
Pengakuan terhadap hukum Islam ini terus berlangsung bahkan hingga
menjelang peralihan kekuasaan dari Kerajaan Inggris kepada Kerajaan Belanda
kembali. Setelah Thomas Stanford Raffles menjabat sebagai gubernur selama 5
tahun (1811-1816) dan Belanda kembali memegang kekuasaan terhadap wilayah
Hindia Belanda, semakin nampak bahwa pihak Belanda berusaha keras
mencengkramkan kuku-kuku kekuasaannya di wilayah ini. Namun upaya itu menemui
kesulitan akibat adanya perbedaan agama antara sang penjajah dengan rakyat
jajahannya, khususnya umat Islam yang mengenal konsep dar al-Islam dan dar
al-harb. Itulah sebabnya, Pemerintah Belanda mengupayakan ragam cara untuk
menyelesaikan masalah itu. Diantaranya dengan (1) menyebarkan agama Kristen
kepada rakyat pribumi, dan (2) membatasi keberlakuan hukum Islam hanya pada
aspek-aspek batiniah (spiritual) saja.[7]
2.
Masa Jepang
Dalam aspek perkembangan hukum masa penjajahan Jepang (1942-1945)
tidak terjadi perubahan yang mendasar, perkembangan hukum Islam masa ini
setidaknya dapat dilihat dari keberadaan pengadilan agama. Berdasarkan
peraturan yang dikeluarkan pemerintahan Bala Tentara Jepang melalui dekritnya
No. 1 tahun 1992 menyatakan, semua badan pemerintahan beserta wewenangan, semua
undang-undang, tata hukum dan peraturan dari pemerintahan yang lama dianggpa
masih tetap berlaku dalam waktu yang tidak ditentukan selama tidak bertentangan
dengan peraturan pemerintah Bala Tentara Jepang. Tetapi kemudian ahli-ahli
hukum Indonesia ingin menghapus pengadilan agama. Pemikiran ini muncul dari
Soepomo, penasehat separtemen kehakiman ketika itu dan ahli hukum adat. Ia
setuju agar hukum Islam tidak berlaku dan ingin menegakkan hukum adat. Tetapi
usulannya ini diabaikan oleh Jepang karena akan khawatir akan menimbulkan
protes dari umat Islam. Kebijakan pemerintah Bala tentara Jepang untuk tidak
mengganggu gugat persoalan agama, sebab tindakan itu dapat merusak ketentraman
konsentrasi Jepang. Oleh sebab itu jepang memilih unutk tidak ikut campur soal
urusan agama umat, termasuk hukum Islam.[8]
Pemerintah Pendudukan Jepang tetap melakukan berbagai kebijakan
untuk menarik simpati umat Islam di Indonesia. Diantaranya adalah:
a. Janji Panglima
Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam sebagai agama mayoritas
penduduk pulau Jawa.
b. Mendirikan
Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang dipimpin oleh bangsa Indonesia
sendiri.
c. Mengizinkan
berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU.
d. Menyetujui
berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada bulan oktober 1943.
e. Menyetujui
berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang mendampingi berdirinya PETA.
f. Berupaya
memenuhi desakan para tokoh Islam untuk mengembalikan kewenangan Pengadilan
Agama dengan meminta seorang ahli hukum adat, Soepomo, pada bulan Januari 1944
untuk menyampaikan laporan tentang hal itu. Namun upaya ini kemudian
“dimentahkan” oleh Soepomo dengan alasan kompleksitas dan menundanya hingga
Indonesia merdeka.[9]
Dengan demikian, nyaris tidak ada perubahan berarti bagi posisi
hukum Islam selama masa pendudukan Jepang di Tanah air. Namun bagaimanapun
juga, masa pendudukan Jepang lebih baik daripada Belanda dari sisi adanya
pengalaman baru bagi para pemimpin Islam dalam mengatur masalah-masalah
keagamaan.
C.
Keadaan Hukum Islam di Indonesia pada Zaman Setelah Kemerdekaan
Sejak awal kemerdekaan Indonesia, telah terlihat adanya keinginan
bangsa Indonesia untuk memilih hukum nasional yang diwarnai dan dijiwai oleh
hukum agama. Hal ini tercermin dari adanya ketentuan-ketentuan yang dibuat dan
disetujui oleh bangsa Indonesia itu sendiri, yaitu: (1) adanya konsensus
nasional pertama pada tanggal 22 juni 1945 menyangkut rumusan sila pertma dasar
negara yang berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam
bagi pemeluk-pemeluknya”, (2) rumusan tersebut diganti pada tanggal 18 Agustus
1945 dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa” dengan tujuan untuk memberikan pengertian
yang lebih luas, bahwa kewajiban menjalankan hukum agama bukan hanya oleh orang
Islam, tetapi juga pemeluk-pemeluk agama lain, (3) UUD 1945 di beberapa tempat
memberikan dasar bagi hukum agama di Indonesia, seperti terlihat pada pembukaan
UUD 1945 alinea ketiga dan keempat, bab XI, pasal 29 ayat 1 dan 2. Di samping
itu, hukum Islam sebagai tatanan hukum
yang ditaati oleh mayoritas rakyat Indonesia adalah hukum yang telah hidup dalam masyarakat dan
merupakan norma yang menjadi sumber perilaku dan juga nilai moral yang menjiwai
kehidupan masyarakat, hukum Islam merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
hukum nasional Indonesia.[10] Berdasarkan
pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Dasar 1954, dan pembukaan UUD 1954
tersebut, maka kedudukan hukum Islam telah mulai mantap dan berkembang karena
hukum Islam pada pokoknya adalah hukum dari Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan
rumusan falsafah Negara Pancasila. Pola-pola etis dari kaidah-kaidah dalam
Al-Qur’an cukup laus memeberi dorongan terhadap hukm modern dan memungkinkan
adanya variasi dalam penafsiran sesuai dengan kebutuhan menurut ruang dan
waktu.
Dalam pelaksanaannya di peradilan agama dikeluarkan peraturan
pemerintahan nomor 45 tahun 1957 tenteng pembentukan peradilan agama di laur
Jawa dan Madura dengan nama Mahkamah Syar’iyyah tingkat pertama di Kabupaten
dan tingkat banding di ibukaota provinsi. Undang-undang Nomor 14 tahun 1970,
tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman. Pasal 10 mengatur bahwa di samping
peradilan umum ada peradilan agama. Dengan demikian hukum Islam dianggap
berlaku di Indonesia berdasarkan kekuatan hukum Islam itu sendiri berdasarkan
kepada pasal 29 UUD 1945, bukan lagi dengan pasal 134 ayat (2) Indische Staats
Regeling.[11]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Keadaan hukum Islam pada zaman kerajaan secara yuridis raja-raja di
Indonesia memberlakukan hukum Islam akan tetapi tidak dalam konteks peraturan
atau perundang-undangan kerajaan. Hukum Islam di berlakukan dalam kontek
ijtihad ulama, permasalahan-permasalahan yang terjadi terkadang tidak bisa di
selesaikan oleh perundanga-undangan kerajaan maka terkadang di tanyakan kepada
Ulama.
Keadaan hukum Islam pada zaman penjajahan bisa di bagi menjadi pada
masa penjajahan Belanda dan pada masa penjajahan Jepang. Pada masa penjajahan
Belanda Kaitannya dengan hukum Islam, dapat dicatat beberapa “kompromi” yang
dilakukan oleh pihak VOC, yaitu: (1) Dalam Statuta Batavia yag ditetapkan pada
tahun 1642 oleh VOC, dinyatakan bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para
pemeluk agama Islam, (2) Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang
telah berlaku di tengah masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760.
Kompilasi ini kemudian dikenal dengan Compendium Freijer. Sedangkan pada masa
penjajahan Jepang Pemerintah Pendudukan Jepang tetap melakukan berbagai
kebijakan untuk menarik simpati umat Islam di Indonesia. Diantaranya adalah:
(1) Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam sebagai
agama mayoritas penduduk pulau Jawa, (2) Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan
Agama Islam) yang dipimpin oleh bangsa Indonesia sendiri, (3) Mengizinkan
berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU, dll.
Keadaan hukum Islam setelah kemerdekaan, telah terlihat adanya
keinginan bangsa Indonesia untuk memilih hukum nasional yang diwarnai dan
dijiwai oleh hukum agama. Hal ini tercermin dari adanya ketentuan-ketentuan
yang dibuat dan disetujui oleh bangsa Indonesia itu sendiri, yaitu: (1) adanya
konsensus nasional pertama pada tanggal 22 juni 1945 menyangkut rumusan sila
pertma dasar negara yang berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan
syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, (2) rumusan tersebut diganti pada
tanggal 18 Agustus 1945 dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa” dengan tujuan untuk
memberikan pengertian yang lebih luas, bahwa kewajiban menjalankan hukum agama bukan
hanya oleh orang Islam, tetapi juga pemeluk-pemeluk agama lain, (3) UUD 1945 di
beberapa tempat memberikan dasar bagi hukum agama di Indonesia, seperti
terlihat pada pembukaan UUD 1945 alinea ketiga dan keempat, bab XI, pasal 29
ayat 1 dan 2.
B.
Saran
Kami menyadari, masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam
penulisan makalah ini. Untuk itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun.
DAFTAR PUSTAKA
A.
Buku
Ali,
Mohammad Daud, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 1990.
Manan,
Abdul, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2007.
Maula,
Bani Syarif, Sosiologi Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: Aditya
Media Publishing, 2010.
Ramulyo,
Mohd. Idris, Asas-asas Hukum Islam Sejarah Timbul dan Berkembangnya
Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia, Jakarta: SINAR
GRAFIKA, 1995.
B.
Internet
https://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/hukum-islam/perkembangan-hukum-islam/ (online, selasa 19 april 2016)
http://ladydeeane91.blogspot.co.id/2012/04/hukum-islam-di-indonesia.html?m=1. (online, selasa 19 april 2016)
[1]https://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/hukum-islam/perkembangan-hukum-islam/
(online,
selasa 19 april 2016)
[2] Mohammad Daud
Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia.
Jakarta: Rajawali Pers, 1990, hlm. 230 – 226.
[3]Mohd. Idris
Ramulyo, Asas-asas Hukum Islam Sejarah Timbul dan Berkembangnya Kedudukan
Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia, Jakarta: SINAR GRAFIKA, 1995,
hlm 48-49.
[4]Abdul Manan, Reformasi
Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007, hlm 1-2.
[5]Abdul Manan, Reformasi
Hukum Islam..., hlm 2.
[7]https://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/hukum-islam/perkembangan-hukum-islam/
(online,
selasa 19 april 2016)
[8]http://ladydeeane91.blogspot.co.id/2012/04/hukum-islam-di-indonesia.html?m=1. (online,
selasa 19 april 2016)
[9]https://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/hukum-islam/perkembangan-hukum-islam/
(online,
selasa 19 april 2016)
[10]Bani Syarif
Maula, Sosiologi Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: Aditya Media
Publishing, 2010, hlm 100.
[11]Mohd. Idris
Ramulyo, Asas-asas Hukum Islam.., hlm 57-58.