Minggu, 24 April 2016

Keadaan Hukum Islam di Indonesia

Diposting oleh Mukaramah di 11.30 0 komentar


Makalah Kelompok 7

KEADAAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah: Aspek Hukum dalam Muamalat
Dosen: Itsla Yunisva Aviva, M.E.Sy.



Disusun oleh

MUKARAMAH (NIM: 1504120424)
NOR JANAH (NIM: 15041204)
HAMIDAH (NIM: 15041204)
SITI NUR ANISA (NIM: 15041204)
FAUZAN HAKIM (NIM: 15041204)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKARAYA
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
JURUSAN EKONOMI ISLAM
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
TAHUN 2016 M/1437 H.


KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan hidayah, inayah dan rahmat-Nya, sehingga penyusunan makalah ini selesai dengan baik dan tepat waktu. Karena tanpa pertolongan-Nya kami selaku penyusun tidak akan mampu menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa semoga tercurahkan selalu shalawat serta salam kepada manusia termulia yakni baginda Rasulullah Muhammad SAW. yang berkat usaha kerja kerasnya kita dipersatukan dalam persaudaraan yang lurus lagi benar dan semoga kita selaku ummatnya selalu dalam jalan-Nya dan mengikuti jalan Nabi Muhammad SAW.
Dalam pembuatan makalah ini kami tidak begitu mendapat banyak kesulitan karena adanya saran dari berbagai pihak tentang pembuatannya. Namun, tidak menutup kemungkinan makalah ini masih jauh dari sempurna dan banyak kekurangan, baik dari penulisan, ejaan dan sebagainya. Oleh karenanya, kami sangat mengharapkan dengan lapang dada, kritik dan saran yang bersifat membangun.
Akhirnya, kami selaku penyusun mengucapkan terima kasih kepada Ibu. Itsla Yunisva Aviva, M.E.SY. yang telah memberikan tugas dan bimbingannya kepada kami, yang mana ini akan membantu kami agar terbiasa dalam pembuatan makalah. Tidak lupa kami ucapkan pula terima kasih kepada seluruh pihak yang telah memberikan bantuannya sehingga kami mampu menyelesaikan makalah ini dengan baik.


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam di Indonesia adalah unsur paling mayoritas. Dalam tataran dunia Islam internasional, umat Islam Indonesia bahkan dapat disebut sebagai komunitas muslim paling besar yang berkumpul dalam satu batas teritorial kenegaraan. Karena itu, menjadi sangat menarik untuk memahami alur perjalanan sejarah hukum Islam di tengah-tengah komunitas Islam terbesar di dunia itu. Di samping itu, kajian tentang sejarah hukum Islam di Indonesia juga dapat dijadikan sebagai salah satu pijakan bagi umat Islam secara khusus untuk menentukan strategi yang tepat di masa depan dalam mendekatkan dan “mengakrabkan” bangsa ini dengan hukum Islam. Proses sejarah hukum Islam yang diwarnai “benturan” dengan tradisi yang sebelumnya berlaku dan juga dengan kebijakan-kebijakan politik-kenegaraan, serta tindakan-tindakan yang diambil oleh para tokoh Islam Indonesia terdahulu setidaknya dapat menjadi bahan telaah penting di masa datang. Setidaknya, sejarah itu menunjukkan bahwa proses Islamisasi sebuah masyarakat bukanlah proses yang dapat selesai seketika.[1]
B.  Rumusan Masalah
1.    Bagaimana keadaan hukum Islam di Indonesia pada zaman kerajaan?
2.    Bagaimana keadaan hukum Islam di Indonesia pada zaman penjajahan?
3.    Bagaimana keadaan hukum Islam di Indonesia pada zaman setelah kemerdekaan?
C.  Tujuan Penulisan
1.    Mengetahui keadaan hukum Islam di Indonesia pada zaman kerajaan.
2.    Mengetahui keadaan hukum Islam di Indonesia pada zaman penjajahan.
3.    Mengetahui keadaan hukum Islam di Indonesia pada zaman setelah kemerdekaan.
D.  Metode Penulisan
Adapun metode yang digunakan dalam pembuatan makalah ini adalah dengan cara menelaah buku-buku kepustakaan sebagai referensi dan menelusuri internet yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam makalah ini.



BAB II
PEMBAHASAN
A.  Keadaan Hukum Islam pada Zaman Kerajaan
Jika dilihat sebelum Islam masuk, masyarakat Indonesia telah membudaya kepercayaan animisme dan dinamisme. Kemudian lahirlah kerajaan-kerajaan yang masing-masing dibangun atas dasar agama yang dianut mereka, misalkan Hindu, Budha dan disusul dengan kerajaan Islam yang didukung para wali pembawa dan penyiar agama Islam. Akar sejarah hukum Islam di kawasan nusantara menurut sebagian ahli sejarah telah dimulai pada abad pertama hijriah, atau sekitar abad ketujuh dan kedelapan Masehi. Sebagai gerbang masuk ke dalam kawasan nusantara, di kawasan utara pulau Sumatra lah yang dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah para pendatang muslim. Dan secara perlahan gerakan dakwah itu kemudian membentuk masyarakat Islam pertama di Peureulak, Aceh Timur. Berkembanganya komunitas muslim di wilayah itu kemudian diikuti dengan berdirirnya kerajaan Islam pertama sekitar abad ketiga belas yang dikenal dengan Samudera Pasai, terletak di wilayah aceh utara. Dengan berdirinya kerajaan Pasai itu, maka pengaruh Islam semakin menyebar dengan berdirirnya kerajaan lainnya seperti kesultanan Malaka yang tidak jauh dari Aceh. Selain itu ada beberapa yang ada di jawa antara lain kesultanan demak, mataram, dan cirebon. Kemudian di daerah sulawesi dan maluku ada kerajaan gowa dan kesultanan ternate serta tidore. Dengan adanya kerajaan-kerajaan Islam menggantikan kerajaan Hindu-Budha berarti untuk pertama kalinya hukum Islam telah ada di Indonesia sebagai hukum positif.
Hukum Islam di berlakukan oleh raja-raja di Indonesia dengan cara mengangkat ulama-ulama untuk menyelesaikan sengketa. Bentuk peradilannya berbeda-beda tergantung dengan bentuk peradilan adat. Karena palaksanaan peradilan yang bercorak Islam  dilakukan dengan cara mencampurkan (mengawinkan) dengan bentuk peradilan Adat di Indonesia. Pada kerajaan-kerajaan di Jawa pada pelaksanaannya ahli hukum Islam memliki tempat yang terhomat yang kemudian di kenal dengan sebutan penghulu di mana tugasnya disamping sebagai ulama juga menyelesaikan perkara-perkara perdata, perkawinan, dan kekeluargaan, proses penyelesaian (peradilan) di selesaikan di masjid. Secara yuridis raja-raja di Indonesia memberlakukan hukum Islam akan tetapi tidak dalam konteks peraturan atau perundang-undangan kerajaan. Hukum Islam di berlakukan dalam kontek ijtihad ulama, permasalahan-permasalahan yang terjadi terkadang tidak bisa di selesaikan oleh perundanga-undangan kerajaan maka terkadang di tanyakan kepada Ulama. Saat itulah ulama melakukan ijtihad atau menyandarkan pendapatnya kepada kitab-kitab fiqh. Dengan pola ini mazhab imam 4 syafii’I, Hanafi, Maliki,  dan Hambali berkembang di Indonesia hingga saat ini. Hukum Islam dipraktekkan oleh masyarakat dalam bentuk yang hampir bisa dikatakan sempurna (syumul), mencakup masalah mu’amalah, ahwal al-syakhsiyyah (perkawinan, perceraian dan warisan), peradilan, dan tentu saja dalam masalah ibadah. Hukum Islam juga menjadi sistem hukum mandiri yang digunakan di kerajaan-kerajaan Islam nusantara. Islam menjadi pilihan bagi masyarakat karena secara teologis ajarannya memberikan keyakinan dan kedamaian bagi penganutnya. Masyarakat pada periode ini dengan rela dan patuh, tunduk dan mengikuti ajaran-ajaran Islam dalam berbagai dimensi kehidupan. Namun keadaan itu kemudian menjadi terganggu dengan datangnya kolonialisme barat yang membawa misi tertentu, mulai dari misi dagang, politik bahkan sampai misi kristenis.[2]
B.  Keadaan Hukum Islam di Indonesia pada Zaman Penjajahan
1.    Masa Belanda
Di masa VOC kedudukan hukum kekeluargaan Islam telah ada dalam masyarakat dan diakui dalam kerajaan-kerajaaan Islam kemudian dikumpulkan dalam suatu buku yang dikenal dengan Compendium Freijer. Di samping itu dibuat pula kumpulan hukum perkawinan dan kewarisan Islam untuk daerah-daerah Cirebon, Semarang dan Makasar (Bone dan Goa).[3] Cikal bakal penjajahan Belanda terhadap kawawsan nusantara dimulai dengan kehadiran organisasi perdagangan dagang Belanda di Hindia Timur atau yang lebih dikenal dengan VOC. Ketika VOC datang ke Indonesia, kebijakan yang telah dilaksanakan oleh para sultan/kepala Negara tetap dipertahankan pada daerah-daerah yang dikuasainya. Bahkan dalam banyak hal, VOC memberikan kemudahan dan fasilitas agar lembaga peradilah Islam dapat terus berkembang. Bentuk kemudahan yang diberikan VOC adalah menerbitkan buku-buku hukum Islam untuk menjadi pegangan para hakim dalam memutuskan perkara.[4]
Dalam menghadap perkembangan hukum Islam di Indonesia, pada mulanya pemerintah konolial Belanda meneruskan kebijaksanaan yang telah dilaksanakan oleh VOC, mereka tidak menganggap bahwa hukum Islam adalah suatu ancaman yang harus ditakuti. Atas usul Van Den Berg dengan teori receptie in complexu yang berkembang dan diyakini kebenarannya oleh pakar-pakar hukum pemerintah colonial Belanda maka dibentuklah Peradilan Agama Indonesia. Kondisi sebagaimana tersebut di atas tidak dapat dipertahankan dalam jangka waktu yang lama karena pemerintahan kolonial Belanda mengubah pendiriannya tentang pemberlakuan hukum Islam di Indonesia[5] Perubahan pendirian pemerintah kolonial Belanda ini akibat usul Snouck Hurgronje dengan teorinya yang terkenal dengan teori receptie. Akibat teori ini perkembangan hukum Islam menjadi terhambat karena pemerintahan kolonial Belanda mengeluarkan kebijakan baru yang membatasi berlakunya kewenangan peradilan agama.[6]
Dalam kenyataannya, penggunaan hukum Belanda itu menemukan kesulitan. Ini disebabkan karena penduduk pribumi berat menerima hukum-hukum yang asing bagi mereka. Akibatnya, VOC pun membebaskan penduduk pribumi untuk menjalankan apa yang selama ini telah mereka jalankan. Kaitannya dengan hukum Islam, dapat dicatat beberapa “kompromi” yang dilakukan oleh pihak VOC, yaitu:
a.    Dalam Statuta Batavia yag ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC, dinyatakan bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk agama Islam.
b.    Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku di tengah masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi ini kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.
c.    Adanya upaya kompilasi serupa di berbagai wilayah lain, seperti di Semarang, Cirebon, Gowa dan Bone. Di Semarang, misalnya, hasil kompilasi itu dikenal dengan nama Kitab Hukum Mogharraer (dari al-Muharrar). Namun kompilasi yang satu ini memiliki kelebihan dibanding Compendium Freijer, dimana ia juga memuat kaidah-kaidah hukum pidana Islam.
Pengakuan terhadap hukum Islam ini terus berlangsung bahkan hingga menjelang peralihan kekuasaan dari Kerajaan Inggris kepada Kerajaan Belanda kembali. Setelah Thomas Stanford Raffles menjabat sebagai gubernur selama 5 tahun (1811-1816) dan Belanda kembali memegang kekuasaan terhadap wilayah Hindia Belanda, semakin nampak bahwa pihak Belanda berusaha keras mencengkramkan kuku-kuku kekuasaannya di wilayah ini. Namun upaya itu menemui kesulitan akibat adanya perbedaan agama antara sang penjajah dengan rakyat jajahannya, khususnya umat Islam yang mengenal konsep dar al-Islam dan dar al-harb. Itulah sebabnya, Pemerintah Belanda mengupayakan ragam cara untuk menyelesaikan masalah itu. Diantaranya dengan (1) menyebarkan agama Kristen kepada rakyat pribumi, dan (2) membatasi keberlakuan hukum Islam hanya pada aspek-aspek batiniah (spiritual) saja.[7]
2.    Masa Jepang
Dalam aspek perkembangan hukum masa penjajahan Jepang (1942-1945) tidak terjadi perubahan yang mendasar, perkembangan hukum Islam masa ini setidaknya dapat dilihat dari keberadaan pengadilan agama. Berdasarkan peraturan yang dikeluarkan pemerintahan Bala Tentara Jepang melalui dekritnya No. 1 tahun 1992 menyatakan, semua badan pemerintahan beserta wewenangan, semua undang-undang, tata hukum dan peraturan dari pemerintahan yang lama dianggpa masih tetap berlaku dalam waktu yang tidak ditentukan selama tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah Bala Tentara Jepang. Tetapi kemudian ahli-ahli hukum Indonesia ingin menghapus pengadilan agama. Pemikiran ini muncul dari Soepomo, penasehat separtemen kehakiman ketika itu dan ahli hukum adat. Ia setuju agar hukum Islam tidak berlaku dan ingin menegakkan hukum adat. Tetapi usulannya ini diabaikan oleh Jepang karena akan khawatir akan menimbulkan protes dari umat Islam. Kebijakan pemerintah Bala tentara Jepang untuk tidak mengganggu gugat persoalan agama, sebab tindakan itu dapat merusak ketentraman konsentrasi Jepang. Oleh sebab itu jepang memilih unutk tidak ikut campur soal urusan agama umat, termasuk hukum Islam.[8]
Pemerintah Pendudukan Jepang tetap melakukan berbagai kebijakan untuk menarik simpati umat Islam di Indonesia. Diantaranya adalah:
a.    Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam sebagai agama mayoritas penduduk pulau Jawa.
b.    Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang dipimpin oleh bangsa Indonesia sendiri.
c.     Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU.
d.    Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada bulan oktober 1943.
e.    Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang mendampingi berdirinya PETA.
f.     Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk mengembalikan kewenangan Pengadilan Agama dengan meminta seorang ahli hukum adat, Soepomo, pada bulan Januari 1944 untuk menyampaikan laporan tentang hal itu. Namun upaya ini kemudian “dimentahkan” oleh Soepomo dengan alasan kompleksitas dan menundanya hingga Indonesia merdeka.[9]
Dengan demikian, nyaris tidak ada perubahan berarti bagi posisi hukum Islam selama masa pendudukan Jepang di Tanah air. Namun bagaimanapun juga, masa pendudukan Jepang lebih baik daripada Belanda dari sisi adanya pengalaman baru bagi para pemimpin Islam dalam mengatur masalah-masalah keagamaan.
C.  Keadaan Hukum Islam di Indonesia pada Zaman Setelah Kemerdekaan
Sejak awal kemerdekaan Indonesia, telah terlihat adanya keinginan bangsa Indonesia untuk memilih hukum nasional yang diwarnai dan dijiwai oleh hukum agama. Hal ini tercermin dari adanya ketentuan-ketentuan yang dibuat dan disetujui oleh bangsa Indonesia itu sendiri, yaitu: (1) adanya konsensus nasional pertama pada tanggal 22 juni 1945 menyangkut rumusan sila pertma dasar negara yang berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, (2) rumusan tersebut diganti pada tanggal 18 Agustus 1945 dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa” dengan tujuan untuk memberikan pengertian yang lebih luas, bahwa kewajiban menjalankan hukum agama bukan hanya oleh orang Islam, tetapi juga pemeluk-pemeluk agama lain, (3) UUD 1945 di beberapa tempat memberikan dasar bagi hukum agama di Indonesia, seperti terlihat pada pembukaan UUD 1945 alinea ketiga dan keempat, bab XI, pasal 29 ayat 1 dan 2. Di samping itu, hukum Islam  sebagai tatanan hukum yang ditaati oleh mayoritas rakyat Indonesia adalah  hukum yang telah hidup dalam masyarakat dan merupakan norma yang menjadi sumber perilaku dan juga nilai moral yang menjiwai kehidupan masyarakat, hukum Islam merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hukum nasional Indonesia.[10] Berdasarkan pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Dasar 1954, dan pembukaan UUD 1954 tersebut, maka kedudukan hukum Islam telah mulai mantap dan berkembang karena hukum Islam pada pokoknya adalah hukum dari Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan rumusan falsafah Negara Pancasila. Pola-pola etis dari kaidah-kaidah dalam Al-Qur’an cukup laus memeberi dorongan terhadap hukm modern dan memungkinkan adanya variasi dalam penafsiran sesuai dengan kebutuhan menurut ruang dan waktu.
Dalam pelaksanaannya di peradilan agama dikeluarkan peraturan pemerintahan nomor 45 tahun 1957 tenteng pembentukan peradilan agama di laur Jawa dan Madura dengan nama Mahkamah Syar’iyyah tingkat pertama di Kabupaten dan tingkat banding di ibukaota provinsi. Undang-undang Nomor 14 tahun 1970, tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman. Pasal 10 mengatur bahwa di samping peradilan umum ada peradilan agama. Dengan demikian hukum Islam dianggap berlaku di Indonesia berdasarkan kekuatan hukum Islam itu sendiri berdasarkan kepada pasal 29 UUD 1945, bukan lagi dengan pasal 134 ayat (2) Indische Staats Regeling.[11]




BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Keadaan hukum Islam pada zaman kerajaan secara yuridis raja-raja di Indonesia memberlakukan hukum Islam akan tetapi tidak dalam konteks peraturan atau perundang-undangan kerajaan. Hukum Islam di berlakukan dalam kontek ijtihad ulama, permasalahan-permasalahan yang terjadi terkadang tidak bisa di selesaikan oleh perundanga-undangan kerajaan maka terkadang di tanyakan kepada Ulama.
Keadaan hukum Islam pada zaman penjajahan bisa di bagi menjadi pada masa penjajahan Belanda dan pada masa penjajahan Jepang. Pada masa penjajahan Belanda Kaitannya dengan hukum Islam, dapat dicatat beberapa “kompromi” yang dilakukan oleh pihak VOC, yaitu: (1) Dalam Statuta Batavia yag ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC, dinyatakan bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk agama Islam, (2) Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku di tengah masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi ini kemudian dikenal dengan Compendium Freijer. Sedangkan pada masa penjajahan Jepang Pemerintah Pendudukan Jepang tetap melakukan berbagai kebijakan untuk menarik simpati umat Islam di Indonesia. Diantaranya adalah: (1) Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam sebagai agama mayoritas penduduk pulau Jawa, (2) Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang dipimpin oleh bangsa Indonesia sendiri, (3) Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU, dll.
Keadaan hukum Islam setelah kemerdekaan, telah terlihat adanya keinginan bangsa Indonesia untuk memilih hukum nasional yang diwarnai dan dijiwai oleh hukum agama. Hal ini tercermin dari adanya ketentuan-ketentuan yang dibuat dan disetujui oleh bangsa Indonesia itu sendiri, yaitu: (1) adanya konsensus nasional pertama pada tanggal 22 juni 1945 menyangkut rumusan sila pertma dasar negara yang berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, (2) rumusan tersebut diganti pada tanggal 18 Agustus 1945 dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa” dengan tujuan untuk memberikan pengertian yang lebih luas, bahwa kewajiban menjalankan hukum agama bukan hanya oleh orang Islam, tetapi juga pemeluk-pemeluk agama lain, (3) UUD 1945 di beberapa tempat memberikan dasar bagi hukum agama di Indonesia, seperti terlihat pada pembukaan UUD 1945 alinea ketiga dan keempat, bab XI, pasal 29 ayat 1 dan 2.

B.  Saran
Kami menyadari, masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam penulisan makalah ini. Untuk itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun.




DAFTAR PUSTAKA
A.  Buku
Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 1990.
Manan, Abdul, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007.
Maula, Bani Syarif, Sosiologi Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: Aditya Media Publishing, 2010.
Ramulyo, Mohd. Idris, Asas-asas Hukum Islam Sejarah Timbul dan Berkembangnya Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia, Jakarta: SINAR GRAFIKA, 1995.

B.  Internet



[2] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 1990, hlm. 230 – 226.
[3]Mohd. Idris Ramulyo, Asas-asas Hukum Islam Sejarah Timbul dan Berkembangnya Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia, Jakarta: SINAR GRAFIKA, 1995, hlm 48-49.
[4]Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007, hlm 1-2.
[5]Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam..., hlm 2.
[6]Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam..., hlm 2-3.
[10]Bani Syarif Maula, Sosiologi Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: Aditya Media Publishing, 2010, hlm 100.
[11]Mohd. Idris Ramulyo, Asas-asas Hukum Islam.., hlm 57-58.

 

Kumpulan Makalah, Artikel, dan Karya Tulis Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea