Makalah Kelompok IV
LUQATHAH, AL-WADIAH, dan AL-GHASAB
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah: Fiqih
Dosen: NORWILI, M.H.I.
Disusun oleh:
MUKARAMAH
NIM: 1504120424
MAYLAN YUNIKA
NIM: 1504120416
FAUZAN HAKIM
NIM: 15041204
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKARAYA
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
JURUSAN EKONOMI ISLAM
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
TAHUN 2016 M
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. yang
telah memberikan hidayah, inayah dan rahmat-Nya, sehingga penyusunan makalah
ini selesai dengan baik dan tepat waktu. Karena tanpa pertolongan-Nya kami
selaku penyusun tidak akan mampu menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa semoga
tercurahkan selalu shalawat serta salam kepada manusia termulia yakni baginda
Rasulullah Muhammad SAW. yang berkat usaha kerja kerasnya kita dipersatukan
dalam persaudaraan yang lurus lagi benar dan semoga kita selaku ummatnya selalu
dalam jalan-Nya dan mengikuti jalan Nabi Muhammad SAW.
Dalam pembuatan makalah ini kami tidak begitu mendapat
banyak kesulitan karena adanya saran dari berbagai pihak
tentang pembuatannya. Namun, tidak menutup kemungkinan makalah ini masih jauh
dari sempurna dan banyak kekurangan, baik dari penulisan, ejaan dan sebagainya.
Oleh karenanya, kami sangat mengharapkan dengan lapang dada, kritik dan saran
yang bersifat membangun.
Kami selaku penyusun mengucapkan terima kasih kepada Ibu.
NORWILI, M.H.I. yang telah memberikan tugas dan bimbingannya kepada kami,
yang mana ini akan membantu kami agar terbiasa dalam pembuatan makalah. Tidak
lupa kami ucapkan pula terima kasih kepada seluruh pihak yang telah memberikan
bantuannya sehingga kami mampu menyelesaikan makalah ini dengan baik.
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Manusia adalah
makhluk sosial yang saling membutuhkan antara satu sama lain. Dalam lingkungan
bermasyarakat terkadang ada sifat manusia yang ingin memiliki barang milik
orang lain. Dalam diri kita ada rasa ingin menemukan suatu hal yang belum ada
dilingkungan masyarakat. Hal ini berkaitan dengan pembahasan kami dalam makalah
berikut ini. Dalam pembahasan ini kami akan menjelaskan lebih jauh tentang
luqathah, al-wadiah, dan al-ghasab.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian dari Luqathah, al-Wadi’ah, dan al-Ghasab?
2.
Bagaimana hukum mengambil barang temuan, menerima titipan, dan
hukum perampasan?
3.
Apa saja dasar hukum dari Luqathah, al-Wadiah dan al-Ghasab?
4.
Apa saja rukun luqathah dan al-Wadi’ah?
5.
Bagaimana hukuman bagi orang yang Ghasab?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui dan memahami arti dari Luqathah, al-Wadi’ah dan
al-Ghasab.
2.
Mengetahui hukum-hukum dari mengambil barang temuan, menerima
titipan, dan perampasan.
3.
Mengetahui dasar-dasar hukum dari Luqathah, Wadi’ah dan Ghasab.
4.
Mengetahui rukun-rukun dari Luqathah dan al-Wadi’ah.
5.
Mengetahui hukuman bagi orang yang Ghasab.
D.
Metode Penulisan
1.
Buku perpustakaan (library research).
2.
Internet.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Luqathah
1.
Pengertian Luqathah
Luqathah
ialah barang-barang yang didapat dari tempat yang tidak dimiliki oleh seorang
pun.[1]
Luqathah juga bisa diartikan setiap harta yang dilindungi yang rentan hilang
dan tidak diketahui pemiliknya.[2] Makna
Luqathah menurut jumhur ulama fiqih mencakup menemukan sesuatu yang hilang,
baik itu berbentuk benda, manusia ataupun hewan. Hanya saja golongan Hanafiah
membedakan istilah yang dipakai untuk jenis-jenis tertentu. Misalnya, sesuatu
yang ditemukan itu anak kecil maka dipakai istilah al-laqith, untuk
jenis hewan sebagai barang temuannya disebut al-dhallah, sedangkan untuk
jenis benda selain yang dua macam itu dinamakan dengan istilah al-luqathah.[3]
2.
Hukum dan Dasar Hukum
Luqathah
a.
Hukum Luqathah
Menurut Abu Hanifah hukum mengambil barang temuan adalah mustahab
(dianjurkan). Menurutnya seorang muslim wajib memelihara harta benda
saudaranya yang tersia-sia, dan karena itu lebih utama bila ia mengambil dan
menyimpan sesuatu yang ditemukannya tersia-sia itu. Sedangkan menurut Imam
Malik dan kelompok Hanabilah berpendapat bahwa memungut barang temuan itu hukumnya
makruh. Alasannya karena seseorang tidak boleh mengambil harta saudaranya serta
dikhawatirkan orang yang mengambil itu bersifat lalai menjaga atau
memberitahukannya.[4]
Ulama dari kelompok Hanafiah dan Syafi’iah memberikan uraian yang
lebih rinci berdasarkan illat hukum. Dua golongan ulama tersebut berpendapat
bahwa sesungguhnya bila barang temuan dikhawatirkan akan jatuh ke tangan orang
fasik bila tidak dipungut sedangkan ia mampu memegang amanah, maka hukum
mengambil barang temuan itu dianjurkan. Bila tidak ada kekhawatiran, hukum
mengambilnya menjadi mubah. Namun, bila seorang mengetahui dirinya akan berlaku
khianat terhadap benda yang dipungutnya itu maka hukum mengambilnya menjadi
haram.[5]
b.
Dasar Hukum Luqathah
1)
Al-Qur’an Surah Al-Maidah: 32
Artinya: “oleh karena itu Kami
tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: Barangsiapa yang membunuh
seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan
karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh
manusia seluruhnya. dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia,
Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. dan
Sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-rasul Kami dengan (membawa)
keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu
sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi. (QS. Al Maidah: 32)[6]
2)
Hadist
Dasar hukum Luqathah adalah hadits yang berasal dari Zaid bin
Khalid Al Juhanniy ra. Ia berkata:
Artinya: pernah datang seseorang kepada Rasulullah saw. Menanyakan
tentang luqathah, maka beliau bersabda, “kenalilah kantong dan talinya, lalu
umumkanlah selama setahun. Jika tidak, maka itu terserahmu.” Orang itu bertanya
lagi, “lalu bagaimana dengan kambing yang hilang?” beliau menjawab? “itu
untukmu, untuk saudaramu atau untuk serigala.” Ia bertanya lagi, “lalu
bagaimana dengan onta yang hilang?” beliau menjawab, “apa urusanmu dengannya,
(sesungguhnya) ia memiliki tempat air dan memakan pepohonan sehingga ditemui
oleh pemiliknya.” (HR. Bukhari dan lainnya dengan lafaz yang berbeda-beda)[7]
3.
Rukun Luqathah
a.
Ada yang mengambil. Jika
orang yang mengambil adalah orang yang tidak adil, hakim berhak mencabut barang
itu dari orang tersebut dan memberikannya kepada orang yang adil dan ahli.
Begitu juga kalau yang mengambilnya anak kecil, hendaklah diurus oleh walinya.
b.
Bukti barang temuan. Sesuatu
yang ditemukan ada empat macam:
1)
Barang yang dapat disimpan lama (seperti emas dan perak) hendaklah
disimpan di tempat yang sesuai dengan keadaan barang itu, kemudian
diberitahukan kepada umum di tempat-tempat yang ramai dalam masa satu tahun.
Hendaklah pula dikenal beberapa sifat barang yang ditemukannya itu, umpamanya
tempat, tutup, ikat, timbangan, atau bilangannya. Sewaktu memberitahukannya
hendaklah sebagian dari sifat-sifat itu diterangkan, agar tidak terambil oleh
orang-orang yang tidak berhak.
2)
Barang yang tidak tahan disimpan lama, seperti makanan. Orang yang
mengambil barang seperti ini boleh memilih antara mempergunakan barang itu,
asal dia sanggup menggantinya apabila bertemu dengan yang punya barang; atau ia
jual, uangnya hendaklah dia simpan agar kelak dapat diberikannya kepada
pemiliknya apabila bertemu.
3)
Barang yang dapat tahan lama dengan usaha, seperti susu, dapat disimpan
lama apabila dibuat keju. Yang mengambil hendaklah memperhatikan yang lebih
berfaedah bagi pemiliknya (dijual atau dibuat keju).
4)
Suatu yang membutuhkan nafkah, yaitu binatang atau manusia.
Umpamanya anak kecil. Sedangkan binatang ada dua macam: Pertama, binatang
yang kuat; berarti dapat menjaga dirinya sendiri terhadap binatang yang buas.,
misalnya unta, kerbau, atau kuda; binatang yang seperti ini lebih baik
dibiarkan saja tidak usah diambil. Kedua, binatang yang lemah, tidak
kuat menjaga dirinya terhadap bahaya binatang yang buas. Binatang seperti ini
hendaklah diambil. Sesudah diambil diharuskan melakukan salah satu dari tiga
cara: 1) Disembelih, lalu dimakan, dengan syarat “sanggup membayar apabila
bertemu dengan pemeliknya”. 2) Dijual, dan uangnya disimpan agar dapat
diberikannya kepada pemiliknya. 3) Dipelihara dan diberi makan dengan maksud
menolong semata-mata.[8] Adapun
apabila yang ditemukan itu adalah manusia, misalnya anak kecil atau orang
bodoh, maka hukumnya mandub bagi yang menemukannya, sebab perbuatan yang
demikian termasuk amal yang utama guna menyelamatkannya. Tetapi, bila
dikhawatirkan anak itu akan teraniaya jika tidak dipungut maka hukum mengambilnya menjadi fardu kifayah.[9] Untuk
biaya hidupnya, kalau ia membawa harta benda atau diketahui bahwa ia mempunyai
harta, diambilkan dari hartanya sendiri. Tetapi kalau dia tidak mempunyai
harta, biaya hidupnya diambilkan dari baitul-mal (dana masyarakat), kalau
tidak, atas tanggungan umat Islam yang mampu. Untuk Agama anak yang ditemukan.
Kalau anak itu ditemukan di dalam negeri Islam, ia dipandang sebagai anak
Islam. Kalau ditemukannya di lingkungan negeri yang bukan Islam, dia dipandang
bukan Islam.[10]
B.
Al-Wadi’ah
1.
Pengertian Al-Wadi’ah
Wadi’ah adalah penitipan dana antara pihak pemilik dana dengan pihak
penerima titpan yang dipercaya untuk menjaga dana tersebut.[11]
Dalam redaksi lain, wadi’ah adalah
akad yang intinya minta pertolongan kepada seseorang dalam memelihara harta
penitip.[12]
2.
Hukum dan Dasar Hukum Wadi’ah
a.
Hukum Wadi’ah
1)
Sunnah, bagi orang yang percaya kepada dirinya bahwa dia sanggup
menjaga titipan yang diserahkan kepadanya.
2)
Haram, apabila dia tidak kuasa atau tidak sanggup menjaganya
sebagaimana mestinya, karena seolah-olah ia membukakan pintu untuk kerusakan
atau lenyapnya barang yang dititipkan itu.
3)
Makruh, yaitu bagi orang yang dapat menjaganya, tetapi ia tidak
percaya kepada dirinya; boleh jadi dikemudian hari hal itu akan menyebabkan dia
berkhianat terhadap barang yang dititipkan kepadanya
b.
Dasar Hukum Wadi’ah
1)
Firman Allah QS. An-Nisa’: 29
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh
dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”(QS. An-Nisa: 29)
2)
Firman Allah QS. Al-Baqarah: 283.
Artinya: “jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara
tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan
janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang
menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan
Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 283)
3)
Hadis Nabi Riwayat Ibnu Abbas
“Abbas
bin Abdul Muthallib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan
kepada mudharib-nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta
tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus
menanggung risikonya. Ketika persyaratannya yang ditetapkan Abbas itu didengar
Rasulullah, beliau membenarkannya” (HR. Thabrani dari Ibnu Abbas).
4)
Hadis Nabi Riwayat Tirmidzi
“Perdamaian
dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan
yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan
syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram” (HR. Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf).
3.
Rukun titipan
a.
Ada barang yang dititipkan. Syaratnya, merupakan milik yang sah.
b.
Ada yang dititipkan dan yang menerima titipan.
c.
Lafaz.
C.
Al-Ghasab
1.
Pengertian al-Ghasab
Ghasab memiliki makna mengambil sesuatu secara paksa dan terang terangan, sedangkan menurut
syara' Ghasab ialah menguasai hak orang lain dengan jalan aniaya atau
memanfaatkan atau menggunakan hak orang lain tanpa seijin pemiliknya. Adapun menurut istilah adalah menguasai harta orang lain dengan
alasan yang tidak benar.[13] Ghasab tidak terbatas pada perkara yang berupa harta benda, tetapi juga hal
- hal yang berupa kemanfaatan, seperti : menyuruh berdiri orang yang sedang
duduk di masjid, duduk diatas alas (karpet, permadani) orang lain sekalipun
tidak digeser ketempat lain , mengusir orang dari rumahnya sendiri sekalipun
tidak dimasukinya dan lain.
Sedangkan menurut
ulama, ghasab mendefisinisikan sebagai berikut:
a. Mazhab Hanafi :
mengambil harta orang lain yang halal tanpa ijin, sehingga barang tersebut
berpindah tangan dari pemiliknya.
b. Ulama Mazhab Maliki :
mengambil harta orang lain secara paksa dan sengaja (bukan dalam arti merampok).
c. Ulama Mazhab Syafi’i
dan Hanbali : penguasaan terhadap harta orang lain secara sewenang-wenang atau
secara paksa tanpa hak.
2.
Hukum dan Dasar Hukum Ghasab
a.
Hukum Ghasab
Perbuatan Ghasab adalah dosa dan haram tapi tidak membatalkan
shalatnya. Istilahnya adalah sesuatu yang mulanya disyariatkan akan tetapi
diserta oleh suatu yang bersifat mudharat bagi manusia. Al-Ghasab haram
dilakukan dan berdosa bagi yang melakukannya, sesuai dengan dalil al-Qur’an,
sunnah, dan ijma.
Artinya: “dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian
yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa
(urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada
harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu
mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188)
Dalil dari as-Sunnah adalah Jabir meriwayatkan dari Rasulullah saw,
beliau bersabda dalam khutbahnya pada hari Kurban sebagaimana yang diriwayatkan
oleh imam Muslim dan lainnya.
“Sesungguhnya
(pertumpahan) darah dan (pencurian) harta kalian haram, dan seperti haramnya
hari kalian ini di bulan kalian ini dan di negeri kalian ini.”[14]
Sedangkan dalil dari ijma adalah bahwa kaum muslimin telah sepakat
untuk mengharamkan ghasab, meskipun mereka berbeda pendapat dalam
cabang-cabangnya. Jika memang demikian, orang yang melakukannya maka dia harus
mengembalikan barang yang diambilnya selama barang itu masih ada, sesuai dengan
sabda Nabi saw,
“tangan
bertanggung jawab atas apa yang diambilnya, hingga dia mengembalikanya.”
b.
Dasar Hukum Ghasab
1)
Al-Qur’an
Ghasab,
merampas hak orang lain adalah zalim. Allah swt, berfirman dalam QS. An-Nisaa: 29,
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
suka sama suka diantara kamu, dan janganlah kamu membunuh dirimu sesungguhnya
Allah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisaa: 29)
Pada bagian pertama dari ayat ini Allah melarang agar jangan
memakan harta orang lain dengan jalan yang batil. Yang dimaksud dengan
“memakan” disini ialah “mempergunakan” atau “memanfaatkan”. Dan yang dimaksud
dengan “batil” ialah dengan cara yang tidak menurut hukum yang telah ditentukan
Allah. Para ahli tafsir mengatakan banyak hal-hal yang dilarang termasuk dalam
lingkungan bagian pertama dari ayat ini, antara lain :
a. Memakan riba.
b. Menerima
zakat bagi orang yang tidak berhak menerimanya.
c. Makelar-makelar
penipuan terhadap pembeli atau penjual.
Kemudian
pada ayat bahagian kedua dari ayat ini Allah swt. melarang membawa urusan harta
kepada hakim dengan maksud untuk mendapatkan sebahagian dari harta orang lain
dengan cara yang batil, dengan menyogok atau memberi sumpah palsu atau saksi
palsu.
2) Hadits
Dari
Said bin Zaid, bahwasanya Rasulullah saw., telah bersabda:
Artinya: “barangsiapa ambil sejengkal dari bumi dengan
kezaliman, niscaya Allah kalungkan dia dengannya pada hari kiamat dari tujuh
bumi.”[15]
3. Hukuman Bagi Orang yang Ghasab
a. Ia
berdosa jika ia mengetahui bahwa barang yang diambilnya tersebut milik orang
lain. Jika
barang tersebut masih utuh wajib dikembalikannya.
b. Apabila barang tersebut hilang/rusak karena
dimanfaatkan maka ia dikenakan denda.
c. Mazhab Hanafi dan Maliki → Denda dilakukan
dengan barang yang sesuai/sama dengan barang yang dighasab. Apabila jenis
barang yang sama tidak ada maka dikenakan denda seharga benda tersebut ketika
dilakukan ghasab.
e. Mazhab Syafi’i →denda sesuai dengan harga yang
tertinggi
f. Mazhab Hanbali → denda sesuai dengan harga
ketika jenis benda itu tidak ada lagi di pasaran.
Terjadi perbedaan pendapat tentang apakah benda yang
telah dibayarkan dendanya itu menjadi milik orang yang menggasabnya.
a. Mazhab Hanafi → orang yang menggasab berhak atas benda
itu sejak ia melakukannya sampai ia membayar denda.
b. Mazhab Syafii dan Hambali →orang yang menggasab
tidak berhak atas benda yang yang digasabnya walaupun sudah membayar denda.
c. Mazhab Maliki → orang yang mengasab tidak boleh
memanfaatkan benda tersebut jika masih utuh, tetapi jika telah rusak, maka
setelah denda dibayar benda itu menjadi miliknya dan ia bebas untuk
memanfaatkannya.
d. Apabila yang dighasabnya berbentuk sebidang tanah,
kemudian dibangun rumah diatasnya, atau tanah itu dijadikan lahan pertanian,
maka jumhur ulama sepakat mengatakan bahwa tanah itu harus dikembalikan. Rumah
dan tanaman yang ada diatasnya dimusnahkan atau dikembalikan kepada orang yang
dighasab. Hal ini berdasarkan kepada sabda Rasulullah.
“Jerih payah yang dilakukan dengan cara aniaya (zalim)
tidak berhak diterima oleh orang yang melakukan (perbuatan aniaya) tersebut” (HR Daruqutni dan Abu Daud dari Urwah bin Zubair)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Luqathah menurut jumhur ulama fiqih mencakup menemukan sesuatu yang hilang,
baik itu berbentuk benda, manusia ataupun hewan. Wadi’ah adalah penitipan dana antara pihak pemilik dana dengan
pihak penerima titipan yang dipercaya untuk menjaga dana tersebut. Sedangkan Ghasab memiliki makna mengambil sesuatu secara paksa dan terang terangan.
Hukum
Luqathah menurut Ulama dari kelompok Hanafiah dan Syafi’iah adalah, apabila
barang temuan dikhawatirkan akan jatuh ke tangan orang fasik bila tidak
dipungut sedangkan ia mampu memegang amanah, maka hukum mengambil barang temuan
itu dianjurkan. Bila tidak ada kekhawatiran, hukum mengambilnya menjadi mubah.
Namun, bila seorang mengetahui dirinya akan berlaku khianat terhadap benda yang
dipungutnya itu maka hukum mengambilnya menjadi haram. Sedangkan dasar hukum
luqathah dapat dilihat dalam firman Allah swt. QS. Al Maidah: 32. Rukun
Luqathah adalah (1) ada yang mengambil, dan (2) bukti barang temuan.
Hukum
Al-Wadiah adalah Sunnah, bagi orang yang percaya kepada dirinya bahwa
dia sanggup menjaga titipan yang diserahkan kepadanya. Haram, apabila
dia tidak kuasa atau tidak sanggup menjaganya sebagaimana mestinya, dan Makruh,
yaitu bagi orang yang dapat menjaganya, tetapi ia tidak percaya kepada dirinya.
Sedangkan dasar hukum Wadi’ah terdapat dalam firman Allah swt. QS. An-Nisaa: 29
dan QS. Al-Baqarah: 283. Rukun Wadi’ah adalah (1) ada barang yang dititipkan,
(2) ada yang dititipkan dan yang menerima titipan, dan (3) lafaz.
Perbuatan
Ghasab adalah dosa dan haram tapi tidak membatalkan shalatnya. Sedangkan dasar
hukum Ghasab terdapat dalam firman Allah swt. QS. An-Nisaa: 29. Hukuman Bagi
Orang yang Ghasab adalah (1) Ia
berdosa jika ia mengetahui bahwa barang yang diambilnya tersebut milik orang
lain. Jika
barang tersebut masih utuh wajib dikembalikannya, dan (2) Apabila barang tersebut hilang/rusak karena
dimanfaatkan maka ia dikenakan denda.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Karim, Helmi, Fiqh
Muamalah, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1993.
Rasjid,
Sulaiman, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2011
Sabiq, Sayyid, Fiqih
Sunnah, Jakarta: PT. Pena Pundi Aksara, 2009.
Qudamah, Ibnu, Al
Mughn, Jakarta: Pustaka Azam, 2010.
B. Internet
[2]Sayyid Sabiq, Fiqih
Sunnah, Jakarta: PT. Pena Pundi Aksara, cet. 1, februari 2009, hal. 233.
[3]Helmi Karim, Fiqh
Muamalah, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, cet. 1, oktober 1993, hal.
61-62.
[4]Ibid, hal.
66-67.
[5]Ibid, hal. 67.
[8]Sulaiman
Rasjid, op. cit., hal. 332-334.
[9]Helmi Karim, op.
cit., hal. 62.
[10]Sulaiman
Rasjid, op. cit., hal. 334.
[11]Pasal 20 ayat
(17) Komplikasi Hukum Ekonomi Syariah.
[12]Hasbi
Ash-Shiddiqie, loc.cit, hal.181.
[14]Ibnu Qudamah, Al
Mughn, (Jakarta: Pustaka Azam, 2010) hal. 35.
0 komentar:
Posting Komentar