Tugas Individu Pengganti UAS
SEJARAH MASUKNYA ISLAM
DI KALIMANTAN TENGAH
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah: Sejarah Peradaban Islam
Dosen: M. Rasyidi
Disusun oleh
MUKARAMAH
(NIM: 1504120424)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKARAYA
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
JURUSAN EKONOMI ISLAM
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
TAHUN 2016 M/1437 H.
A.
Sejarah Terbentuknya Kalimantan Tengah
Menurut legenda suku
Dayak yang berasal
dari Panaturan Tetek Tatum yang ditulis oleh Tjilik Riwut mengisahkan orang
pertama yang menempati bumi atau menginjakan kakinya di Kalimantan adalah Raja
Bunu. Pada abad ke-14 Maharaja Suryanata, gubernur Majapahit memerintah di Kerajaan Negara Dipa (Amuntai) yang berpusat di Candi
Agung dengan wilayah
mandalanya dari Tanjung
Silat sampai Tanjung Puting dengan daerah-daerah yang disebut Sakai, yaitu daerah sungai
Barito, Tabalong, Balangan, Pitap, Alai, Amandit, Labuan Amas, Biaju Kecil
(Kapuas-Murung), Biaju Besar (Kahayan), Sebangau, Mendawai, Katingan, Sampit
dan Pembuang dengan kepala-kepala daerahnya masing-masing yang disebut Mantri Sakai (Kepala Distrik), sedangkan wilayah Kotawaringin pada masa itu
merupakan kerajaan tersendiri. Kerajaan Negara Dipa dilanjutkan oleh Kerajaan Negara Daha dengan raja pertamanya Miharaja Sari Babunangan Unro. Raja tersebut telah mengantar salah seorang puteranya yang
bernama Raden Sira Panji alias Uria Gadung untuk memegang kekuasaan wilayah Tanah Dusun (Barito Raya) yang berkedudukan di Jaar–Sanggarwasi.[1]
Pada abad ke-16, Kalimantan Tengah masih termasuk dalam wilayah
mandala Kesultanan
Banjar, penerus
Negara Daha yang telah memindahkan ibukota ke hilir sungai Barito tepatnya di Banjarmasin, dengan wilayah mandalanya yang semakin meluas meliputi
daerah-daerah dari Tanjung
Sambar sampai Tanjung Aru. Pada abad ini, berkuasalah Raja Maruhum Panambahan yang beristrikan Nyai Siti Biang Lawai, seorang puteri Dayak anak
Patih Rumbih dari Biaju. Tentara Biaju kerapkali dilibatkan dalam revolusi di
istana Banjar, bahkan dengan aksi pemotongan kepala (ngayau) misalnya saudara muda Nyai Biang Lawai bernama Panglima Sorang
yang diberi gelar Nanang Sarang membantu Raja Maruhum menumpas pemberontakan
anak-anak Kiai Di Podok. Selain itu orang Biaju (sebutan Dayak pada zaman dulu)
juga pernah membantu Pangeran Dipati Anom (ke-2) untuk merebut tahta dari Sultan Ri'ayatullah. Raja Maruhum menugaskan Dipati Ngganding untuk memerintah di
negeri Kotawaringin. Dipati Ngganding digantikan oleh menantunya, yaitu Pangeran Dipati Anta-Kasuma putra Raja Maruhum sebagai raja Kotawaringin yang pertama dengan
gelar Ratu Kota Waringin. Pangeran Dipati Anta-Kasuma adalah suami dari Andin
Juluk binti Dipati Ngganding dan Nyai Tapu binti Mantri Kahayan. Di Kotawaringin Pangeran Dipati Anta-Kasuma menikahi wanita setempat dan memperoleh anak, yaitu Pangeran Amas
dan Putri Lanting. Pangeran Amas yang bergelar Ratu Amas inilah yang menjadi
raja Kotawaringin, penggantinya berlanjut hingga Raja Kotawaringin sekarang,
yaitu Pangeran Ratu Alidin Sukma Alamsyah. Kontrak pertama Kotawaringin dengan
VOC-Belanda terjadi pada tahun 1637.[2]
Berdasarkan traktat 13
Agustus 1787, Sultan
Batu dari
Banjarmasin menyerahkan daerah-daerah di Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur,
sebagian Kalimantan Barat dan sebagian Kalimantan Selatan (termasuk
Banjarmasin) kepada VOC, sedangkan Kesultanan
Banjar sendiri dengan
wilayahnya yang tersisa sepanjang daerah Kuin Utara, Martapura, Hulu
Sungai sampai Distrik Pattai, Distrik
Sihoeng dan Mengkatip menjadi daerah protektorat VOC, Belanda. Pada tanggal 4 Mei 1826 Sultan
Adam al-Watsiq
Billah dari Banjar menegaskan kembali penyerahan wilayah Kalimantan Tengah
beserta daerah-daerah lainnya kepada pemerintahan kolonial Hindia Belanda.
Secara de facto wilayah pedalaman Kalimantan Tengah tunduk kepada Hindia
Belanda semenjak Perjanjian Tumbang Anoi pada tahun 1894. Selanjutnya
kepala-kepala daerah di Kalimantan Tengah berada di bawah Hindia Belanda.[3]
Pada tanggal 8 maret 1942 Pemerintah Hindia Belanda menyerah kalah
tanpa syarat kepada Bala Tentara Dai Nippon. Pada masa kemerdekaan yakni
sesudah pemulihan kedaulatan yang ditandai dengan Konperensi Meja Bundar (KMB),
pada tanggal 14 Agustus 1950 Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS)
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1950 yang menetapkan pembagian
wilayah RIS atas 10 Propinsi (Propinsi Administratif), satu diantaranya adalah
Propinsi Kalimantan. Propinsi Kalimantan meliputi 3 Keresidenan yakni
Keresidenan Kalimantan Barat, Keresidenan Kalimantan Selatan dan Keresidenan
Kalimantan Timur. Eks Daerah Otonom Dayak Besar dan Swapraja Kotawaringin
dibentuk menjadi 3 Kabupaten yaitu : (1) Kabupaten Kapuas, (2) Kabupaten Barito
dan (3) Kabupaten Kotawaringin yang bersama-sama Daerah Otonom Daerah Banjar
dan Federasi Kalimantan Tenggara, digabungkan ke dalam keresidenan Kalimantan
Selatan. Setelah dibentuk Propinsi Administratif Kalimantan itu, maka sejak
tahun 1952 telah muncul tuntutan dari rakyat di 3 Kabupaten: Kapuas, Barito dan
Kotawaringin, agar 3 kabupaten tersebut dibentuk menjadi Propinsi Otonom dengan
nama Propinsi
Kalimantan Tengah. Tuntutan yang demikian terus menggelora dan
disampaikan baik kepada Pemerintah Daerah Kalimantan maupun kepada Pemerintah
Pusat melalui jalur demokrasi oleh partai-partai politik dan organisasi
kemasyarakatan.[4]
B.
Masuknya Islam ke Kalimantan Tengah
Pada abad ke-15 merupakan abad bercirikan penyebaran agama Islam.
Walaupun kerajaan-kerajaan kecil Islam telah berdiri di pantai timur laut
Sumatera sebelum tahun 1300. Namun di Kalimantan baru pada akhir abad ke-14
Raja Kutai menjadi pemeluk Islam pertama
di kawasan ini, demikian pula Islam di Sabah pada tahun 1405 dan Brunei pada
1410, Malaka pada 1440, yang ketika itu ramai dikunjung kapal-kapal dari Cina,[5]
dan pada awal abad ke-16, Islam akhirnya menyebar ke Kalimantan. Semenjak itu
kerajaan-kerajaan Islam baru berdiri di Banjarmasin dan Pasir. Pada abad ini
merupakan zaman keemasan bagi Banjarmasin yang kala itu menguasai pantai-pantai
Kalimantan sejauh Sambas dan Sukasada, di Barat, Kutai dan Berau di Timur.[6] s
1.
Masuknya Islam ke Kotawaringin Timur
Masuknya agama Islam ke Kotawaringin Timur tidak bisa dipisahkan
begitu saja dari pengaruh Kerajaan Banjarmasin, karena seperti yang diketahui,
Kerajaan Sampit adalah vazal[7]
dari Kerajaan Banjarmasin. Bahkan pada 1844, diketahui cukup banyak penduduk
Kotawaringin Timur yang sudah memeluk agama Islam, mereka ini bermukim di Muara
Sunagi Cempaga dan kemudian menjadi cikal bakal penduduk yang mendiami
kampung-kampung di Sungai Mentaya seperti Tanah Hambau, Tangar, Pamintangan dan
Tumbang Kuayan.[8]
Beberapa bukti lain yang mengindikasikan bahwa jauh sebelum itu
sebenarnya sudah ada yang memeluk agama Islam di Kotawaringin Timur,
diantaranya sejumlah kuburan tua, misalnya di Mentaya Seberang yang
diperkirakan telah berumur ratusan tahun. Di daerah ini ada beberapa buah
kuburan, yang jika dilihat dari pola dan bentuk batu nisannya sudah beragama
Islam, diantaranya adalah kuburan Datuk Nabe/Ngabei (Jaya Kusuma).[9]
Begitu pula halnya dengan adanya sebuah kuburan yang dianggap keramat oleh
masyarakat setempat di batu nisan tertulis bernama Said Abdul Rahman bin Shaleh
bin Husin bin Hamid al-Habsyi, dan kuburan tua lainnya ditemukan di Sungai
Lenggana di mana pada batu nisannya tertulis nama H.Abdurrahman bin H. Abdullah
Bugis, lahir 11 Muharram 1103 Hijriah atau 26 Juni 1691 Masehi dan Syekh Basiri
bin Sayidullah wafat 1500 Masehi, sementara data lahir tidak tertulis. Adapula
kuburan tua di Kota Besi dan Ketapang serta Samuda Besar yang juga dianggap
keramat. Sehubungan dengan kuburan tua yang terkahir ini memiliki kesamaan
identitas dengan yang ada di Ujung Pandaran yang diyakini sebagai cucu Syekh
Muhammad Arsyad al-Banjari Datuk Kalampayan yang bernama Syekh Abdul Hamid bin
H.M. As’ad. Adanya dua tempat tersebut menimbulkan perbedaan pendapat diseputar
sejarah kuburan yang dikeramatkan tersebut. Pada umumnya, para tokoh masyarakat
setempat sepakat tentang adanya makam keramat keturunan syekh tersebut, namun
mereka berbeda dalam menentukan tempat atau lokasi itu berada.[10]
Terlepas pro kontra tentang hal tersebut dan benar atau salah pendapat
masing-masing, yang pasti bahwa tokoh yang diperselisihkan tersebut bukanlah
seorang penyebar agama Islam di wilayah Kotawaringin Timur atau Sampit, sebab
tidak ditemukan jejak-jejak atau langkah perjuangan beliau atau keluarga maupun
murid-murid yang mewarisi tugas beliau sebagai penyebar agama Islam. Tetapi,
beliau diyakini adalah keturunan Datuk Kalampayan yang meninggal di tengah
perjalanan dari Pontianak menuju Banjarmasin karena sakit, kemudian minta
diturunkan di desa Semuda dan ketika meninggal dimakamkan di Semuda Besar
menurut satu pendapat atau di Ujung Pandaran menurut versi lain.[11] Dalam
beberapa kasus, penyebaran Islam di Kalimantan Tengah tanpa terkecuali di
Kotawaringin Timur, memang sempat menimbulkan ketegangan. Seperti misalnya yang
dialami Sultan Mustainubillah (1656-1678), yang terpaksa berperang melawan
mertuanya sendiri Patih Rumbih. Peperangan itu berlangsung di Pulau Mintin
karena Sultan memaksa istrinya masuk Islam.[12]
2.
Masuknya Islam di Barito
Di perkirakan berlangsung pada awal abad ke-19. Hal ini ditandai
dengan adanya tempat sholat di muara untu yang dibangun sekitar tahun 1802.
Masuknya Islam ke Wilayah Barito dibawa oleh para pedagang dan para da’i yang
berasal dari marabahan dan Nagara. Hubungan antara penduduk yang sudah beragama
Islam dengan penduduk asli yang masih menganut kepercayaan Kaharingan terhubung
dengan baik dan rukun. Sejak dulu belum pernah ada terjadi persengketaan dan
permusuhan karena alasan berbeda keyakinan. Mereka yang belum Islam sangat
menghormati saudaranya yang beragama Islam, dengan tiga macam sebutan, yaitu
“Oloh Masih”, karena pada umumnya orang Islam dulu datang ke daerah pedalaman berasal dari Bandar Masih. Sebutan
“Oloh Salam”, sebenarnya yang dimaksud adalah “Oloh Islam”, artinya saudara
yang sudah menganut agama Islam. Sedangkan sebutan “Oloh Dagang” ini berarti
orang-orang pedagang Islam yang masuk kepedalaman. Penyebaran Islam melalui
perdagangan ini dapat dijadikan bukti bahwa Islam masuk ke wilayah Barito
melalui jalan damai tanpa adanya unsur paksaan dan kekerasan, apalagi
peperangan yang sampai menumpahkan darah. Beberapa tokoh ulama yang berperan
adalah H. Muhamaad Seman, H. Itar, H. Mataip, H Jiwadan juga H. Abdul Samad bin
mufti H. Jamaludin bin syekh Arsyaad Al- Banjari. Perkembangan dan cara
islamisasi yang dilakukan di wilayah Barito adalah melalui jalur perdagangan,
jalur perkawinan dengan penduduk asli (Suku dayak), Aktivitas dakwah dan
pengaruh ulama, keturunan syekh Muhammad Arsyad Al- Banjari serta pengaruh dari
kerajaan banjar melalui kehadiran P. Antasari dan Muhammad Seman.
a.
Daerah-daerah Barito yang dimasuki Islam
1)
Masuknya Islam di Puruk Cahu
Islam masuk ke Puruk Cahu lewat perdgangan yang dibawa oleh para
pedagang dari Marabahan dan Nagara, awal mulanya orang Marabahan berdagang
membawa garam dan lainnya ke Puruk Cahu memakai perahu/sampan (jukung kecil)
melewati beberapa tempat seperti Mangkatip, Buntok, Muara Teweh, Muara Laung,
Puruk Cahu, bahkan sampai ke Muara Untu. Mereka tidak akan pulang sebelum
barang dagangannya habis terjual termaksud dengan cara barter sekalipun dengan
hasil emas, karet dan hasil tambang atau hasil hutan lainnya untuk dibawa ke
Marabahan. Lantaran jarak yang begitu jauh antara Marabahan dan Puruk Cahu,
sehigga tidak sedikit dari pedagang tersebut yang bermalam di Puruk Cahu.
Kemudian, di antara mereka ada yang kawin dengan wanita atau gadis suku Dayak
Siang dan Murung. Di Puruk Cahu seberang telah di bangun masjid yang pertama
dengan nama masjid Firdaus yang dibangun kira-kira pertengahan abad ke-19 M
oleh pedagang dari Marabahan yang sudah menetap di sana.[13]
2)
Masuknya Islam di Muara Teweh
Islam masuk ke Muara Teweh sama dengan daerah lainnya di wilayah
Barito yaitu dibawa oleh para pedagang dari Marabahan (Bakumpai) dan Nagara
(Banjar) lewat perdagangan dan perkawinan dengan menyusuri sungai Barito
memakai jukung atau perahu kecil. Mesjid pertama yng dibangun di sana sekitar
tahun 1869 adalah di desa Tumbang Tewei (desa jampu sekarang) oleh Haji Ibrahim
Muhammad Sadar, yang dikenal dengan panggilan “Datu Penghulu Tuan Pandak”.[14]
3)
Masuknya Islam di Buntok
Masuknya Islam ke Buntok atau Bentok (yang artinya daerah
pertengahan antara Marabahan dan Muara Teweh atau Puruk Cahu) dari para
pedagang Marabahan dan Nagara dengan menggunakan perahu kecil, tempat awalnya
adalah antara Pasar Lama dan Hilir Seper (penjara). Didirikan masjid pertama
yang tidak diketahui namanya. Namun masjid tersebut kemudian dibongkar dan
didirikan kembali ditempat di sekitar masjid itu juga dan kemudian masjid itu
diberi nama dengan Masjid Al-Munawwarah. Tokoh agama yang berperan dalam
Islamisasi saat it adalah Penghulu Haji Anang (Penghulu Landraat) yang sudah
berrada di Buntok sekitar tahun 1800-an.[15]
3.
Masuknya Islam di Kapuas
Penyebarnnya sampai ke Palangka Raya, menurut catatan sejarah pada
tanggal 24 september 1526, melalui Banjar. Karena menurut catatan yang
disebutkan bahwa lalu lintas yang digunakan saat itu hanya lewat sungai Kapuas
dan Barito, sehingga perkiraan jarak tempuh lewat sungai antara Banjar dan
Kapuas sekitar 3 hari naik perahu. Dari jalur-jalur inilah menyebar sampai ke
Mandomai, Timpah Kapuas Hulu sampai dengan ke Palangka Raya dan Tangkiling.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kuat dugaan Kuala Kapuas merupakan tempat
awal masuknya agama Islam. Sedangkan penyebaran melalui para pedagang yang
muslim dengan suku Dayak, yang merupakan penduduk asli setempat. Selain itu, di
duga pula penyebarannya melalui perkawinan antara pedagang yang muslim dengan
suku Dayak. Hanya sayangnya, tidak ada bukti kehadiran
seorang ulama atau tokoh pemimpin yaang berperan menyebarkan Islam Di Kapuas
dan Palangka Raya, sebagaimana halnya yang terjadi di Kotawaringin dan Barito.[16]
DAFTAR PUSTAKA
A.
Buku
Anwar,
Khairil, dkk, Kedatangan Islam di Bumi
Tambun bungai, Palangkaraya: STAIN Palangkaraya & MUI, 2005.
Anwar, Khairil, dkk, Kedatangan Islam di Bumi Tambun Bungai, Banjarmasin:
Comdes Kalimantan, 2005.
Anwar,
Khairil, dkk, Kedatangan Islam di Bumi Tambun Bungai Edisi Revisi, Banjarmasin:
STAIN Palangka Raya bekerjasama dengan MUI, 2006.
B.
Internet
https://id.wikipedia.org/wiki/Kalimantan_Tengah https://malikin90.wordpress.com/sejarah-berdirinya-kalteng/
[2]Ibid.
[3]Ibid.
[5]Khairil Anwar,
dkk, Kedatangan Islam di Bumi Tambun Bungai, Banjarmasin: Comdes
Kalimantan, 2005, hal 60-61.
[6]Khairil Anwar,
dkk, Kedatangan Islam di Bumi Tambun Bungai Edisi Revisi, Banjarmasin:
STAIN Palangka Raya bekerjasama dengan MUI, 2006, hal 55.
[7]Vazal adalah
seseorang yang menjalin hubungan dengan monarki yang berkuasa—biasanya dalam
bentuk dukungan militer, perlindungan bersama (mutual protection), atau
pemberian upeti, dan menerima jaminan dan imbalan tertentu sebagai gantinya.
[8]Khairil Anwar,
dkk, Kedatangan Islam di Bumi Tambun Bungai Edisi Revisi..., hal 55.
[9]Ibid, hal 55.
[10]Ibid, hal
56-57.
[11]Ibid, hal
58-59.
[12]Ibid, hal 60.
[13]Khairil Anwar
dkk, Kedatangan Islam di Bumi Tambun
bungai, Palangkaraya: STAIN Palangkaraya & MUI, 2005, hal 90.
[14]Ibid, hal. 92.
[15]Ibid, hal.
94-96.
[16]Ibid, hal 105.
0 komentar:
Posting Komentar