Minggu, 05 Juni 2016

Sejarah Masuknya Islam di Kalimantan Tengah

Diposting oleh Mukaramah di 21.00


Tugas Individu Pengganti UAS

SEJARAH MASUKNYA ISLAM
DI KALIMANTAN TENGAH
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah: Sejarah Peradaban Islam
Dosen: M. Rasyidi


 
Disusun oleh
MUKARAMAH
(NIM: 1504120424)


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKARAYA
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
JURUSAN EKONOMI ISLAM
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
TAHUN 2016 M/1437 H.


A.  Sejarah Terbentuknya Kalimantan Tengah
Menurut legenda suku Dayak yang berasal dari Panaturan Tetek Tatum yang ditulis oleh Tjilik Riwut mengisahkan orang pertama yang menempati bumi atau menginjakan kakinya di Kalimantan adalah Raja Bunu. Pada abad ke-14 Maharaja Suryanata, gubernur Majapahit memerintah di Kerajaan Negara Dipa (Amuntai) yang berpusat di Candi Agung dengan wilayah mandalanya dari Tanjung Silat sampai Tanjung Puting dengan daerah-daerah yang disebut Sakai, yaitu daerah sungai Barito, Tabalong, Balangan, Pitap, Alai, Amandit, Labuan Amas, Biaju Kecil (Kapuas-Murung), Biaju Besar (Kahayan), Sebangau, Mendawai, Katingan, Sampit dan Pembuang dengan kepala-kepala daerahnya masing-masing yang disebut Mantri Sakai (Kepala Distrik), sedangkan wilayah Kotawaringin pada masa itu merupakan kerajaan tersendiri. Kerajaan Negara Dipa dilanjutkan oleh Kerajaan Negara Daha dengan raja pertamanya Miharaja Sari Babunangan Unro. Raja tersebut telah mengantar salah seorang puteranya yang bernama Raden Sira Panji alias Uria Gadung untuk memegang kekuasaan wilayah Tanah Dusun (Barito Raya) yang berkedudukan di Jaar–Sanggarwasi.[1]
Pada abad ke-16, Kalimantan Tengah masih termasuk dalam wilayah mandala Kesultanan Banjar, penerus Negara Daha yang telah memindahkan ibukota ke hilir sungai Barito tepatnya di Banjarmasin, dengan wilayah mandalanya yang semakin meluas meliputi daerah-daerah dari Tanjung Sambar sampai Tanjung Aru. Pada abad ini, berkuasalah Raja Maruhum Panambahan yang beristrikan Nyai Siti Biang Lawai, seorang puteri Dayak anak Patih Rumbih dari Biaju. Tentara Biaju kerapkali dilibatkan dalam revolusi di istana Banjar, bahkan dengan aksi pemotongan kepala (ngayau) misalnya saudara muda Nyai Biang Lawai bernama Panglima Sorang yang diberi gelar Nanang Sarang membantu Raja Maruhum menumpas pemberontakan anak-anak Kiai Di Podok. Selain itu orang Biaju (sebutan Dayak pada zaman dulu) juga pernah membantu Pangeran Dipati Anom (ke-2) untuk merebut tahta dari Sultan Ri'ayatullah. Raja Maruhum menugaskan Dipati Ngganding untuk memerintah di negeri Kotawaringin. Dipati Ngganding digantikan oleh menantunya, yaitu Pangeran Dipati Anta-Kasuma putra Raja Maruhum sebagai raja Kotawaringin yang pertama dengan gelar Ratu Kota Waringin. Pangeran Dipati Anta-Kasuma adalah suami dari Andin Juluk binti Dipati Ngganding dan Nyai Tapu binti Mantri Kahayan. Di Kotawaringin Pangeran Dipati Anta-Kasuma menikahi wanita setempat dan memperoleh anak, yaitu Pangeran Amas dan Putri Lanting. Pangeran Amas yang bergelar Ratu Amas inilah yang menjadi raja Kotawaringin, penggantinya berlanjut hingga Raja Kotawaringin sekarang, yaitu Pangeran Ratu Alidin Sukma Alamsyah. Kontrak pertama Kotawaringin dengan VOC-Belanda terjadi pada tahun 1637.[2]
Berdasarkan traktat 13 Agustus 1787, Sultan Batu dari Banjarmasin menyerahkan daerah-daerah di Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, sebagian Kalimantan Barat dan sebagian Kalimantan Selatan (termasuk Banjarmasin) kepada VOC, sedangkan Kesultanan Banjar sendiri dengan wilayahnya yang tersisa sepanjang daerah Kuin Utara, Martapura, Hulu Sungai sampai Distrik Pattai, Distrik Sihoeng dan Mengkatip menjadi daerah protektorat VOC, Belanda. Pada tanggal 4 Mei 1826 Sultan Adam al-Watsiq Billah dari Banjar menegaskan kembali penyerahan wilayah Kalimantan Tengah beserta daerah-daerah lainnya kepada pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Secara de facto wilayah pedalaman Kalimantan Tengah tunduk kepada Hindia Belanda semenjak Perjanjian Tumbang Anoi pada tahun 1894. Selanjutnya kepala-kepala daerah di Kalimantan Tengah berada di bawah Hindia Belanda.[3]
Pada tanggal 8 maret 1942 Pemerintah Hindia Belanda menyerah kalah tanpa syarat kepada Bala Tentara Dai Nippon. Pada masa kemerdekaan yakni sesudah pemulihan kedaulatan yang ditandai dengan Konperensi Meja Bundar (KMB), pada tanggal 14 Agustus 1950 Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1950 yang menetapkan pembagian wilayah RIS atas 10 Propinsi (Propinsi Administratif), satu diantaranya adalah Propinsi Kalimantan. Propinsi Kalimantan meliputi 3 Keresidenan yakni Keresidenan Kalimantan Barat, Keresidenan Kalimantan Selatan dan Keresidenan Kalimantan Timur. Eks Daerah Otonom Dayak Besar dan Swapraja Kotawaringin dibentuk menjadi 3 Kabupaten yaitu : (1) Kabupaten Kapuas, (2) Kabupaten Barito dan (3) Kabupaten Kotawaringin yang bersama-sama Daerah Otonom Daerah Banjar dan Federasi Kalimantan Tenggara, digabungkan ke dalam keresidenan Kalimantan Selatan. Setelah dibentuk Propinsi Administratif Kalimantan itu, maka sejak tahun 1952 telah muncul tuntutan dari rakyat di 3 Kabupaten: Kapuas, Barito dan Kotawaringin, agar 3 kabupaten tersebut dibentuk menjadi Propinsi Otonom dengan nama Propinsi Kalimantan Tengah. Tuntutan yang demikian terus menggelora dan disampaikan baik kepada Pemerintah Daerah Kalimantan maupun kepada Pemerintah Pusat melalui jalur demokrasi oleh partai-partai politik dan organisasi kemasyarakatan.[4]
B.  Masuknya Islam ke Kalimantan Tengah
Pada abad ke-15 merupakan abad bercirikan penyebaran agama Islam. Walaupun kerajaan-kerajaan kecil Islam telah berdiri di pantai timur laut Sumatera sebelum tahun 1300. Namun di Kalimantan baru pada akhir abad ke-14 Raja Kutai menjadi pemeluk Islam  pertama di kawasan ini, demikian pula Islam di Sabah pada tahun 1405 dan Brunei pada 1410, Malaka pada 1440, yang ketika itu ramai dikunjung kapal-kapal dari Cina,[5] dan pada awal abad ke-16, Islam akhirnya menyebar ke Kalimantan. Semenjak itu kerajaan-kerajaan Islam baru berdiri di Banjarmasin dan Pasir. Pada abad ini merupakan zaman keemasan bagi Banjarmasin yang kala itu menguasai pantai-pantai Kalimantan sejauh Sambas dan Sukasada, di Barat, Kutai dan Berau di Timur.[6] s
1.    Masuknya Islam ke Kotawaringin Timur
Masuknya agama Islam ke Kotawaringin Timur tidak bisa dipisahkan begitu saja dari pengaruh Kerajaan Banjarmasin, karena seperti yang diketahui, Kerajaan Sampit adalah vazal[7] dari Kerajaan Banjarmasin. Bahkan pada 1844, diketahui cukup banyak penduduk Kotawaringin Timur yang sudah memeluk agama Islam, mereka ini bermukim di Muara Sunagi Cempaga dan kemudian menjadi cikal bakal penduduk yang mendiami kampung-kampung di Sungai Mentaya seperti Tanah Hambau, Tangar, Pamintangan dan Tumbang Kuayan.[8]
Beberapa bukti lain yang mengindikasikan bahwa jauh sebelum itu sebenarnya sudah ada yang memeluk agama Islam di Kotawaringin Timur, diantaranya sejumlah kuburan tua, misalnya di Mentaya Seberang yang diperkirakan telah berumur ratusan tahun. Di daerah ini ada beberapa buah kuburan, yang jika dilihat dari pola dan bentuk batu nisannya sudah beragama Islam, diantaranya adalah kuburan Datuk Nabe/Ngabei (Jaya Kusuma).[9] Begitu pula halnya dengan adanya sebuah kuburan yang dianggap keramat oleh masyarakat setempat di batu nisan tertulis bernama Said Abdul Rahman bin Shaleh bin Husin bin Hamid al-Habsyi, dan kuburan tua lainnya ditemukan di Sungai Lenggana di mana pada batu nisannya tertulis nama H.Abdurrahman bin H. Abdullah Bugis, lahir 11 Muharram 1103 Hijriah atau 26 Juni 1691 Masehi dan Syekh Basiri bin Sayidullah wafat 1500 Masehi, sementara data lahir tidak tertulis. Adapula kuburan tua di Kota Besi dan Ketapang serta Samuda Besar yang juga dianggap keramat. Sehubungan dengan kuburan tua yang terkahir ini memiliki kesamaan identitas dengan yang ada di Ujung Pandaran yang diyakini sebagai cucu Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari Datuk Kalampayan yang bernama Syekh Abdul Hamid bin H.M. As’ad. Adanya dua tempat tersebut menimbulkan perbedaan pendapat diseputar sejarah kuburan yang dikeramatkan tersebut. Pada umumnya, para tokoh masyarakat setempat sepakat tentang adanya makam keramat keturunan syekh tersebut, namun mereka berbeda dalam menentukan tempat atau lokasi itu berada.[10] Terlepas pro kontra tentang hal tersebut dan benar atau salah pendapat masing-masing, yang pasti bahwa tokoh yang diperselisihkan tersebut bukanlah seorang penyebar agama Islam di wilayah Kotawaringin Timur atau Sampit, sebab tidak ditemukan jejak-jejak atau langkah perjuangan beliau atau keluarga maupun murid-murid yang mewarisi tugas beliau sebagai penyebar agama Islam. Tetapi, beliau diyakini adalah keturunan Datuk Kalampayan yang meninggal di tengah perjalanan dari Pontianak menuju Banjarmasin karena sakit, kemudian minta diturunkan di desa Semuda dan ketika meninggal dimakamkan di Semuda Besar menurut satu pendapat atau di Ujung Pandaran menurut versi lain.[11] Dalam beberapa kasus, penyebaran Islam di Kalimantan Tengah tanpa terkecuali di Kotawaringin Timur, memang sempat menimbulkan ketegangan. Seperti misalnya yang dialami Sultan Mustainubillah (1656-1678), yang terpaksa berperang melawan mertuanya sendiri Patih Rumbih. Peperangan itu berlangsung di Pulau Mintin karena Sultan memaksa istrinya masuk Islam.[12]
2.  Masuknya Islam di Barito
Di perkirakan berlangsung pada awal abad ke-19. Hal ini ditandai dengan adanya tempat sholat di muara untu yang dibangun sekitar tahun 1802. Masuknya Islam ke Wilayah Barito dibawa oleh para pedagang dan para da’i yang berasal dari marabahan dan Nagara. Hubungan antara penduduk yang sudah beragama Islam dengan penduduk asli yang masih menganut kepercayaan Kaharingan terhubung dengan baik dan rukun. Sejak dulu belum pernah ada terjadi persengketaan dan permusuhan karena alasan berbeda keyakinan. Mereka yang belum Islam sangat menghormati saudaranya yang beragama Islam, dengan tiga macam sebutan, yaitu “Oloh Masih”, karena pada umumnya orang Islam dulu datang ke daerah  pedalaman berasal dari Bandar Masih. Sebutan “Oloh Salam”, sebenarnya yang dimaksud adalah “Oloh Islam”, artinya saudara yang sudah menganut agama Islam. Sedangkan sebutan “Oloh Dagang” ini berarti orang-orang pedagang Islam yang masuk kepedalaman. Penyebaran Islam melalui perdagangan ini dapat dijadikan bukti bahwa Islam masuk ke wilayah Barito melalui jalan damai tanpa adanya unsur paksaan dan kekerasan, apalagi peperangan yang sampai menumpahkan darah. Beberapa tokoh ulama yang berperan adalah H. Muhamaad Seman, H. Itar, H. Mataip, H Jiwadan juga H. Abdul Samad bin mufti H. Jamaludin bin syekh Arsyaad Al- Banjari. Perkembangan dan cara islamisasi yang dilakukan di wilayah Barito adalah melalui jalur perdagangan, jalur perkawinan dengan penduduk asli (Suku dayak), Aktivitas dakwah dan pengaruh ulama, keturunan syekh Muhammad Arsyad Al- Banjari serta pengaruh dari kerajaan banjar melalui kehadiran P. Antasari dan Muhammad Seman.
a.    Daerah-daerah Barito yang dimasuki Islam
1)   Masuknya Islam di Puruk Cahu
Islam masuk ke Puruk Cahu lewat perdgangan yang dibawa oleh para pedagang dari Marabahan dan Nagara, awal mulanya orang Marabahan berdagang membawa garam dan lainnya ke Puruk Cahu memakai perahu/sampan (jukung kecil) melewati beberapa tempat seperti Mangkatip, Buntok, Muara Teweh, Muara Laung, Puruk Cahu, bahkan sampai ke Muara Untu. Mereka tidak akan pulang sebelum barang dagangannya habis terjual termaksud dengan cara barter sekalipun dengan hasil emas, karet dan hasil tambang atau hasil hutan lainnya untuk dibawa ke Marabahan. Lantaran jarak yang begitu jauh antara Marabahan dan Puruk Cahu, sehigga tidak sedikit dari pedagang tersebut yang bermalam di Puruk Cahu. Kemudian, di antara mereka ada yang kawin dengan wanita atau gadis suku Dayak Siang dan Murung. Di Puruk Cahu seberang telah di bangun masjid yang pertama dengan nama masjid Firdaus yang dibangun kira-kira pertengahan abad ke-19 M oleh pedagang dari Marabahan yang sudah menetap di sana.[13]
2)   Masuknya Islam di Muara Teweh
Islam masuk ke Muara Teweh sama dengan daerah lainnya di wilayah Barito yaitu dibawa oleh para pedagang dari Marabahan (Bakumpai) dan Nagara (Banjar) lewat perdagangan dan perkawinan dengan menyusuri sungai Barito memakai jukung atau perahu kecil. Mesjid pertama yng dibangun di sana sekitar tahun 1869 adalah di desa Tumbang Tewei (desa jampu sekarang) oleh Haji Ibrahim Muhammad Sadar, yang dikenal dengan panggilan “Datu Penghulu Tuan Pandak”.[14]
3)   Masuknya Islam di Buntok
Masuknya Islam ke Buntok atau Bentok (yang artinya daerah pertengahan antara Marabahan dan Muara Teweh atau Puruk Cahu) dari para pedagang Marabahan dan Nagara dengan menggunakan perahu kecil, tempat awalnya adalah antara Pasar Lama dan Hilir Seper (penjara). Didirikan masjid pertama yang tidak diketahui namanya. Namun masjid tersebut kemudian dibongkar dan didirikan kembali ditempat di sekitar masjid itu juga dan kemudian masjid itu diberi nama dengan Masjid Al-Munawwarah. Tokoh agama yang berperan dalam Islamisasi saat it adalah Penghulu Haji Anang (Penghulu Landraat) yang sudah berrada di Buntok sekitar tahun 1800-an.[15]
3.    Masuknya Islam di Kapuas
Penyebarnnya sampai ke Palangka Raya, menurut catatan sejarah pada tanggal 24 september 1526, melalui Banjar. Karena menurut catatan yang disebutkan bahwa lalu lintas yang digunakan saat itu hanya lewat sungai Kapuas dan Barito, sehingga perkiraan jarak tempuh lewat sungai antara Banjar dan Kapuas sekitar 3 hari naik perahu. Dari jalur-jalur inilah menyebar sampai ke Mandomai, Timpah Kapuas Hulu sampai dengan ke Palangka Raya dan Tangkiling. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kuat dugaan Kuala Kapuas merupakan tempat awal masuknya agama Islam. Sedangkan penyebaran melalui para pedagang yang muslim dengan suku Dayak, yang merupakan penduduk asli setempat. Selain itu, di duga pula penyebarannya melalui perkawinan antara pedagang yang muslim dengan suku Dayak. Hanya sayangnya, tidak ada bukti kehadiran seorang ulama atau tokoh pemimpin yaang berperan menyebarkan Islam Di Kapuas dan Palangka Raya, sebagaimana halnya yang terjadi di Kotawaringin dan Barito.[16]
  

DAFTAR PUSTAKA
A.  Buku
Anwar, Khairil, dkk, Kedatangan Islam di Bumi Tambun bungai, Palangkaraya: STAIN Palangkaraya & MUI, 2005.
Anwar, Khairil, dkk, Kedatangan Islam di Bumi Tambun Bungai, Banjarmasin: Comdes Kalimantan, 2005.
Anwar, Khairil, dkk, Kedatangan Islam di Bumi Tambun Bungai Edisi Revisi, Banjarmasin: STAIN Palangka Raya bekerjasama dengan MUI, 2006.

B.  Internet


[2]Ibid.
[3]Ibid.
[5]Khairil Anwar, dkk, Kedatangan Islam di Bumi Tambun Bungai, Banjarmasin: Comdes Kalimantan, 2005, hal 60-61.
[6]Khairil Anwar, dkk, Kedatangan Islam di Bumi Tambun Bungai Edisi Revisi, Banjarmasin: STAIN Palangka Raya bekerjasama dengan MUI, 2006, hal 55.
[7]Vazal adalah seseorang yang menjalin hubungan dengan monarki yang berkuasa—biasanya dalam bentuk dukungan militer, perlindungan bersama (mutual protection), atau pemberian upeti, dan menerima jaminan dan imbalan tertentu sebagai gantinya.
[8]Khairil Anwar, dkk, Kedatangan Islam di Bumi Tambun Bungai Edisi Revisi..., hal 55.
[9]Ibid, hal 55.
[10]Ibid, hal 56-57.
[11]Ibid, hal 58-59.
[12]Ibid, hal 60.
[13]Khairil Anwar dkk, Kedatangan Islam di Bumi Tambun bungai, Palangkaraya: STAIN Palangkaraya & MUI, 2005, hal 90.
[14]Ibid, hal. 92.
[15]Ibid, hal. 94-96.
[16]Ibid, hal 105.

0 komentar:

 

Kumpulan Makalah, Artikel, dan Karya Tulis Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea