Makalah Kelompok 11
HILAH/HIYAL
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah: Ushul Fiqih
Dosen: DR. Ahmad Dakhoir, S.H.I., M.H.I
Disusun oleh
MUKARAMAH
(NIM: 1504120424)
NOSHRATINA ALYANI
(NIM: 15041204)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKARAYA
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
JURUSAN EKONOMI ISLAM
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
TAHUN 2016 M/1437 H.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Allah telah mengatur manusia melalui Rasul-Nya dengan syari'at sebagaimana tertuang dalam ajaran agama ini. Demikian
pula perihal perkara halal dan haram dalam bermu'amalah. Dalam salah satu
hadits shahih riwayat Imam Bukhari dan Muslim, ada disebutkan bahwa yang halal
maupun yang haram sudah sangat jelas. Namun, di antara halal dan haram tersebut
terdapat perkara syubhat (samar), yang belum jelas hukumnya bagi kebanyakan
orang. Yang belum jelas ini harus diwaspadai dan dijauhi oleh seorang muslim,
demi keselamatan diri dan din-nya, bukan sebaliknya. Ironisnya, banyak juga
dijumpai di antara kaum Muslimin yang tidak mengindahkan masalah tersebut.
Bahkan lebih tragis lagi, ada di antaranya yang sengaja mencari celah-celah
untuk merekayasa, membuat-buat trik atau tipu daya hal-hal yang telah jelas
haram dengan upaya menyamarkan keadaan, sehingga akan nampak menjadi halal atau boleh. Dalam istilah syari'at, perbuatan seperti ini disebut melakukan al
hilah. Berbagai cara dilakukan untuk mengelabui kebanyakan
orang, atau untuk memperdaya orang-orang yang kurang wara` dalam agamanya,
sehingga mendapatkan label halal atau label boleh dalam bermu'amalah atau
jual-beli mereka. Padahal, jika diamati, pada
hakikatnya cara yang mereka tempuh tidak jauh berbeda dengan hukum aslinya.
Sekedar memutar cara atau jalan untuk melampiaskan keserakahan hawa nafsu, agar
bisa menikmati yang haram maupun yang syubhat.[1]
B. Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian dari hilah/hiyal?
2.
Apa saja
dasar hukum hilah/hiyal?
3.
Apa saja
jenis-jenis hilah/hiyal?
4.
Bagaimana
hukum hilah/hiyal?
C. Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui
dan memahami pengertian dari hilah/hiyal
2.
Mengetahui
dasar hukum hilah/hiyal.
3.
Mengetahui
jenis-jenis hilah/hiyal.
4.
Mengetahui
hukum hilah/hiyal.
D. Metode Penulisan
Adapun
metode yang digunakan dalam pembuatan makalah ini adalah dengan cara menelaah
buku-buku kepustakaan sebagai referensi dan menelusuri internet yang
berhubungan dengan materi yang dibahas dalam makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hilah
Hilah adalah bentuk
jamak dari al-hiyal adalah sebuah
stategi hukum untuk mengelak dari ketentuan syariat (hukum agama) yang secara
teknik tidak dipandang sebagai melanggar hukum.[2]
adapun secara istilah, hilah adalah melakukan suatu amalan yang
dhahirnya boleh untuk membatalkan hukum syar’i serta memalingkannya kepada
hukum yang lainnya.[3]
Menurut Syaikh Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, ”Sesungguhnya
kata umum al hilah, bila diarahkan menurut pemahaman ulama fiqih mengandung arti
tipu daya atau cara yang dipakai untuk menghalalkan hal-hal yang haram,
sebagaimana tipu dayanya orang-orang Yahudi.” Ibnu Qudamah berkata,”Yaitu
dengan menampakkan transaksi yang mubah, sebagai tipu daya dalam melakukan hal
yang diharamkan atau jalan yang mengantarkan kepada sesuatu yang telah Allah
haramkan…”. Jadi, dapat dikatakan hilah/hiyal adalah trik atau tipu
daya yang diharamkan yaitu tipu daya dalam perkara-perkara yang haram, dengan
menggunakan cara tidak langsung atau terselubung.[4]
B.
Dasar Hukum Hilah[5]
Adapun yang menjadi dasar hukum pelarangan perbuatan hilah salah
satunya terdapat dalam Al-Qur’an surah An-Nahl: 116.
Ÿ
Artinya: “dan
janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara
Dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan
terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan
terhadap Allah Tiadalah beruntung.” (QS. An-Nahl: 116)
Sedangkan
dalil yang menjadi dasar pembolehan hilah salah satunya adalah Al-Qur’an surah
An-Nisa’: 98 dan QS. Shaad: 44.
ž
Artinya: “kecuali
mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak
mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah)” (QS.
An-Nisa’: 98)
Artinya: “dan
ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), Maka pukullah dengan itu dan
janganlah kamu melanggar sumpah. Sesungguhnya Kami dapati Dia (Ayyub) seorang
yang sabar. Dialah Sebaik-baik hamba. Sesungguhnya Dia Amat taat (kepada
Tuhan-nya)” (QS. Shaad: 44)
C.
Jenis-Jenis Hilah
Menurut Ibnul Qayyim, terdapat dua macam hilah, yaitu:
1. yang diperbolehkan. Baik pelaku atau penyeru (yang mengajaknya) akan mendapatkan pahala.
Hilah macam ini yang mengantarkan kepada amalan yang diperintahkan oleh Allah
swt. dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya, menghentikan dari sesuatu yang
haram, memenangkan yang haq dari kezaliman yang menghalang dan membebaskan
orang yang dizhalimi dari penindasan orang-orang yang zhalim. Contoh hilah yang
diperbolehkan yaitu:
a. Keringanan yang
diberikan Allah kepada Nabi Ayyub memukul istrinya seratus kali, digantikan
dengan seratus ikat rumput.
b. Nabi Muhammad pernah
menghukum dengan cara dipukul seratus kali pukulan orang yang anggota tubuhnya
tidak normal berzina, ternyata hanya sekali pukulan dengan seratus tangkai
kurma.
2. Yang tidak
diperbolehkan. Merupakan perbuatan
paling jelek dari perkara yang diharamkan dan termasuk dosa besar. Hilah ini
bertujuan untuk menggugurkan kewajiban, menghalalkan perkara yang haram,
membolak balikan keadaan dari orang yang teraniaya menjadi pelaku aniaya dan
orang yang zalim seakan menjadi orang yang terzalimi, merubah kebenaran menjadi
kebatilan dan kebatilan menjadi kebenaran. Contoh hilah yang tidak
diperbolehkan yaitu:
a. Orang yang tidak mau
puasa Ramadhan, dengan cara merencanakan safar setiap bulan Ramadhan datang.
b. Orang yang berusaha
membatalkan hukuman potong tangan karena mencuri, dengan mengklaim bahwa orang
yang mengambilnya adalah barang miliknya sendiri, atau barang serikat antara
dirinya dengan pemilik barang yang diambilnya.
c. Orang yang tidak mau
shalat, ngaji dan sebagainya dengan anggapan percuma shalat atau ngaji, kalau
nantinya masih melakukan kemaksiatan.[6]
Ibnu Qayyim rahimahullah membagi hilah yang tidak diperbolehkan
(tipu daya terlarang) di atas menjadi 3 macam, yaitu:
a. Hilah haram
ditujukan kepada sesuatu yang haram pula. Semisal, melakukan rekayasa untuk
menghalalkan amalan yang mengandung unsur riba. Misalnya, seperti dalam masalah
mud ‘ajwa, yaitu seseorang yang menjual jenis barang yang masuk dalam masalah
riba` dengan sejenisnya, dengan disertakan (disyaratkan) bersama keduanya atau
salah satunya sesuatu yang lain jenis
b. Cara atau
perbuatan asalnya boleh, akan tetapi dipergunakan untuk sesuatu yang haram.
Seperti melakukan safar yang digunakan untuk merampok, membunuh orang, dan
lain-lain.
c. Cara yang
dipakai pada asalnya tidak dipergunakan untuk sesuatu yang haram, bahkan
dimaksudkan untuk sesuatu yang disyari’atkan, seperti menikah, melakukan
jual-beli, memberikan hadiah, dan sebagainya; namun kemudian dipakai sebagai
tangga untuk menuju sesuatu yang diharamkan.[7]
D.
Hukum Hilah
Menurut Asy-Syatibi menyebutkan enam alasan dilaranganya perbuatan hilah
antara lain:
1. Tujuan pelaku hilah bertentangan
dengan tujuan syar’i.
2. Akibat dari perbuatan hilah
membawa kepada kemafsadatan (kerusakan) yang dilarang oleh agama.
3. Dalam akad yang
melaksanakan suatu perbuatan berdasarkan hilah, kehendak untuk melakukan
akad itu sesungguhnya tidak ada, sehingga unsur kerelaan dalam akad yang
dilakukan sebenarnya tidak ada.
4. Hilah itu batal karena syaratnya yang bertentangan dengan kehendak akad.
5. Hilah merupakan pembatalan terhadap hukum, sebab hilah dilakukan dengan
meninggalkan atau menambah syarat yang menyalahi ketentuan syariat.
6. Hilah haram berdasarkan teori istiqra’ (induksi dari berbagai dalil).
Dalil-dalil tersebut diantaranya adalah ayat-ayat al-Qur’an yang menceritakan
orang munafik yang tidak ikhlas dalam beramal. Hilah dilakukan karena
menghindari suatu kewajiban, dan ini perilaku yang tidak ikhlas.[8]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
hilah/hiyal
adalah trik atau tipu daya yang diharamkan yaitu tipu daya dalam
perkara-perkara yang haram, dengan menggunakan cara tidak langsung atau
terselubung.
Dasar hukum pelarangan perbuatan hilah salah satunya terdapat dalam
Al-Qur’an surah An-Nahl: 116, Sedangkan dalil yang menjadi dasar pembolehan
hilah salah satunya adalah Al-Qur’an surah An-Nisa’: 98 dan QS. Shaad: 44.
Jenis-jenis hilah/hiyal dibagi menjadi dua macam, yaitu yang
diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan.
Asy-Syatibi menyebutkan enam alasan dilaranganya perbuatan hilah antara
lain: (1) Tujuan pelaku hilah bertentangan dengan tujuan syar’i, (2) Akibat
dari perbuatan hilah membawa kepada kemafsadatan (kerusakan) yang
dilarang oleh agama, (3) Dalam akad yang melaksanakan suatu perbuatan
berdasarkan hilah, kehendak untuk melakukan akad itu sesungguhnya tidak
ada, sehingga unsur kerelaan dalam akad yang dilakukan sebenarnya tidak ada,
(4) Hilah itu batal karena syaratnya yang bertentangan dengan kehendak
akad, (5) Hilah merupakan pembatalan terhadap hukum, sebab hilah dilakukan
dengan meninggalkan atau menambah syarat yang menyalahi ketentuan syariat, dan
(6) Hilah haram berdasarkan teori istiqra’ (induksi dari berbagai dalil).
Dalil-dalil tersebut diantaranya adalah ayat-ayat al-Qur’an yang menceritakan
orang munafik yang tidak ikhlas dalam beramal. Hilah dilakukan karena
menghindari suatu kewajiban, dan ini perilaku yang tidak ikhlas.
B.
Saran
Kami menyadari, masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam
penulisan makalah ini. Untuk itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun dari pembaca. Terima Kasih.
DAFTAR PUSTAKA
A.
Buku
Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqih, Jakarta:
Amzah, 2005.
B.
Internet
http://auritsniyalfirdaus.blogspot.co.id/2014/05/hilah-hukum-dan-kemungkinan-penerapannya.html (online, minggu, 15 mei 2016)
http://rizalubed.blogspot.co.id/2013/02/hilah-hiyal-as-syariyah-dalam-hukum_18.html (online, minggu, 15 mei 2016)
https://almanhaj.or.id/2890-al-hilah-melakukan-rekayasa-terhadap-hukum-allah.html (online, minggu, 15 mei 2016)
https://yayasanshibghatullah.wordpress.com/2013/04/12/466/ (online, minggu, 15 mei 2016)
[1]http://auritsniyalfirdaus.blogspot.co.id/2014/05/hilah-hukum-dan-kemungkinan-penerapannya.html
(online,
minggu, 15 mei 2016)
[2]Totok
Jumantoro, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqih, Jakarta: Amzah,
2005, hlm 85.
[3]http://rizalubed.blogspot.co.id/2013/02/hilah-hiyal-as-syariyah-dalam-hukum_18.html (online,
minggu, 15 mei 2016)
[4]https://almanhaj.or.id/2890-al-hilah-melakukan-rekayasa-terhadap-hukum-allah.html (online, minggu, 15 mei 2016)
[5]http://rizalubed.blogspot.co.id/2013/02/hilah-hiyal-as-syariyah-dalam-hukum_18.html (online,
minggu, 15 mei 2016)
[7]https://almanhaj.or.id/2890-al-hilah-melakukan-rekayasa-terhadap-hukum-allah.html (online,
minggu, 15 mei 2016)
[8]http://rizalubed.blogspot.co.id/2013/02/hilah-hiyal-as-syariyah-dalam-hukum_18.html (online,
minggu, 15 mei 2016)
0 komentar:
Posting Komentar