Minggu, 12 Juni 2016

Hilah atau Hiyal

Diposting oleh Mukaramah di 21.00


Makalah Kelompok 11

HILAH/HIYAL
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah: Ushul Fiqih
Dosen: DR. Ahmad Dakhoir, S.H.I., M.H.I

Disusun oleh
MUKARAMAH
(NIM: 1504120424)
NOSHRATINA ALYANI
(NIM: 15041204)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKARAYA
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
JURUSAN EKONOMI ISLAM
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
TAHUN 2016 M/1437 H.


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Allah telah mengatur manusia melalui Rasul-Nya dengan syari'at sebagaimana tertuang dalam ajaran agama ini. Demikian pula perihal perkara halal dan haram dalam bermu'amalah. Dalam salah satu hadits shahih riwayat Imam Bukhari dan Muslim, ada disebutkan bahwa yang halal maupun yang haram sudah sangat jelas. Namun, di antara halal dan haram tersebut terdapat perkara syubhat (samar), yang belum jelas hukumnya bagi kebanyakan orang. Yang belum jelas ini harus diwaspadai dan dijauhi oleh seorang muslim, demi keselamatan diri dan din-nya, bukan sebaliknya. Ironisnya, banyak juga dijumpai di antara kaum Muslimin yang tidak mengindahkan masalah tersebut. Bahkan lebih tragis lagi, ada di antaranya yang sengaja mencari celah-celah untuk merekayasa, membuat-buat trik atau tipu daya hal-hal yang telah jelas haram dengan upaya menyamarkan keadaan, sehingga akan nampak menjadi halal atau boleh. Dalam istilah syari'at, perbuatan seperti ini disebut melakukan al hilah. Berbagai cara dilakukan untuk mengelabui kebanyakan orang, atau untuk memperdaya orang-orang yang kurang wara` dalam agamanya, sehingga mendapatkan label halal atau label boleh dalam bermu'amalah atau jual-beli mereka. Padahal, jika diamati, pada hakikatnya cara yang mereka tempuh tidak jauh berbeda dengan hukum aslinya. Sekedar memutar cara atau jalan untuk melampiaskan keserakahan hawa nafsu, agar bisa menikmati yang haram maupun yang syubhat.[1]
B.  Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari hilah/hiyal?
2.      Apa saja dasar hukum hilah/hiyal?
3.      Apa saja jenis-jenis hilah/hiyal?
4.      Bagaimana hukum hilah/hiyal?
C.  Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui dan memahami pengertian dari hilah/hiyal
2.      Mengetahui dasar hukum hilah/hiyal.
3.      Mengetahui jenis-jenis hilah/hiyal.
4.      Mengetahui hukum hilah/hiyal.
D.  Metode Penulisan
Adapun metode yang digunakan dalam pembuatan makalah ini adalah dengan cara menelaah buku-buku kepustakaan sebagai referensi dan menelusuri internet yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam makalah ini.

BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Hilah
Hilah adalah bentuk jamak dari al-hiyal  adalah sebuah stategi hukum untuk mengelak dari ketentuan syariat (hukum agama) yang secara teknik tidak dipandang sebagai melanggar hukum.[2] adapun secara istilah, hilah adalah melakukan suatu amalan yang dhahirnya boleh untuk membatalkan hukum syar’i serta memalingkannya kepada hukum yang lainnya.[3]
Menurut Syaikh Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, ”Sesungguhnya kata umum al hilah, bila diarahkan menurut pemahaman ulama fiqih mengandung arti tipu daya atau cara yang dipakai untuk menghalalkan hal-hal yang haram, sebagaimana tipu dayanya orang-orang Yahudi.” Ibnu Qudamah berkata,”Yaitu dengan menampakkan transaksi yang mubah, sebagai tipu daya dalam melakukan hal yang diharamkan atau jalan yang mengantarkan kepada sesuatu yang telah Allah haramkan…”. Jadi, dapat dikatakan hilah/hiyal adalah trik atau tipu daya yang diharamkan yaitu tipu daya dalam perkara-perkara yang haram, dengan menggunakan cara tidak langsung atau terselubung.[4]
B.  Dasar Hukum Hilah[5]
Adapun yang menjadi dasar hukum pelarangan perbuatan hilah salah satunya terdapat dalam Al-Qur’an surah An-Nahl: 116.
Ÿ  
Artinya: “dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara Dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah Tiadalah beruntung.” (QS. An-Nahl: 116)
Sedangkan dalil yang menjadi dasar pembolehan hilah salah satunya adalah Al-Qur’an surah An-Nisa’: 98 dan QS. Shaad: 44.
ž 
Artinya: “kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah)” (QS. An-Nisa’: 98)

 
Artinya: “dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), Maka pukullah dengan itu dan janganlah kamu melanggar sumpah. Sesungguhnya Kami dapati Dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah Sebaik-baik hamba. Sesungguhnya Dia Amat taat (kepada Tuhan-nya)” (QS. Shaad: 44)

C.  Jenis-Jenis Hilah
Menurut Ibnul Qayyim, terdapat dua macam hilah, yaitu:
1.    yang diperbolehkan. Baik pelaku atau penyeru (yang mengajaknya) akan mendapatkan pahala. Hilah macam ini yang mengantarkan kepada amalan yang diperintahkan oleh Allah swt. dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya, menghentikan dari sesuatu yang haram, memenangkan yang haq dari kezaliman yang menghalang dan membebaskan orang yang dizhalimi dari penindasan orang-orang yang zhalim. Contoh hilah yang diperbolehkan yaitu:
a.       Keringanan yang diberikan Allah kepada Nabi Ayyub memukul istrinya seratus kali, digantikan dengan seratus ikat rumput.
b.      Nabi Muhammad pernah menghukum dengan cara dipukul seratus kali pukulan orang yang anggota tubuhnya tidak normal berzina, ternyata hanya sekali pukulan dengan seratus tangkai kurma.
2.    Yang tidak diperbolehkan. Merupakan perbuatan paling jelek dari perkara yang diharamkan dan termasuk dosa besar. Hilah ini bertujuan untuk menggugurkan kewajiban, menghalalkan perkara yang haram, membolak balikan keadaan dari orang yang teraniaya menjadi pelaku aniaya dan orang yang zalim seakan menjadi orang yang terzalimi, merubah kebenaran menjadi kebatilan dan kebatilan menjadi kebenaran. Contoh hilah yang tidak diperbolehkan yaitu:
a.       Orang yang tidak mau puasa Ramadhan, dengan cara merencanakan safar setiap bulan Ramadhan datang.
b.      Orang yang berusaha membatalkan hukuman potong tangan karena mencuri, dengan mengklaim bahwa orang yang mengambilnya adalah barang miliknya sendiri, atau barang serikat antara dirinya dengan pemilik barang yang diambilnya.
c.       Orang yang tidak mau shalat, ngaji dan sebagainya dengan anggapan percuma shalat atau ngaji, kalau nantinya masih melakukan kemaksiatan.[6]
Ibnu Qayyim rahimahullah membagi hilah yang tidak diperbolehkan (tipu daya terlarang) di atas menjadi 3 macam, yaitu:
a.    Hilah haram ditujukan kepada sesuatu yang haram pula. Semisal, melakukan rekayasa untuk menghalalkan amalan yang mengandung unsur riba. Misalnya, seperti dalam masalah mud ‘ajwa, yaitu seseorang yang menjual jenis barang yang masuk dalam masalah riba` dengan sejenisnya, dengan disertakan (disyaratkan) bersama keduanya atau salah satunya sesuatu yang lain jenis
b.    Cara atau perbuatan asalnya boleh, akan tetapi dipergunakan untuk sesuatu yang haram. Seperti melakukan safar yang digunakan untuk merampok, membunuh orang, dan lain-lain.
c.     Cara yang dipakai pada asalnya tidak dipergunakan untuk sesuatu yang haram, bahkan dimaksudkan untuk sesuatu yang disyari’atkan, seperti menikah, melakukan jual-beli, memberikan hadiah, dan sebagainya; namun kemudian dipakai sebagai tangga untuk menuju sesuatu yang diharamkan.[7]
D.  Hukum Hilah
Menurut Asy-Syatibi menyebutkan enam alasan dilaranganya perbuatan hilah antara lain:
1.    Tujuan pelaku hilah bertentangan dengan tujuan syar’i.
2.    Akibat dari perbuatan hilah membawa kepada kemafsadatan (kerusakan) yang dilarang oleh agama.
3.    Dalam akad yang melaksanakan suatu perbuatan berdasarkan hilah, kehendak untuk melakukan akad itu sesungguhnya tidak ada, sehingga unsur kerelaan dalam akad yang dilakukan sebenarnya tidak ada.
4.    Hilah itu batal karena syaratnya yang bertentangan dengan kehendak akad.
5.    Hilah merupakan pembatalan terhadap hukum, sebab hilah dilakukan dengan meninggalkan atau menambah syarat yang menyalahi ketentuan syariat.
6.    Hilah haram berdasarkan teori istiqra’ (induksi dari berbagai dalil). Dalil-dalil tersebut diantaranya adalah ayat-ayat al-Qur’an yang menceritakan orang munafik yang tidak ikhlas dalam beramal. Hilah dilakukan karena menghindari suatu kewajiban, dan ini perilaku yang tidak ikhlas.[8]
  
BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
hilah/hiyal adalah trik atau tipu daya yang diharamkan yaitu tipu daya dalam perkara-perkara yang haram, dengan menggunakan cara tidak langsung atau terselubung.
Dasar hukum pelarangan perbuatan hilah salah satunya terdapat dalam Al-Qur’an surah An-Nahl: 116, Sedangkan dalil yang menjadi dasar pembolehan hilah salah satunya adalah Al-Qur’an surah An-Nisa’: 98 dan QS. Shaad: 44.
Jenis-jenis hilah/hiyal dibagi menjadi dua macam, yaitu yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan.
Asy-Syatibi menyebutkan enam alasan dilaranganya perbuatan hilah antara lain: (1) Tujuan pelaku hilah bertentangan dengan tujuan syar’i, (2) Akibat dari perbuatan hilah membawa kepada kemafsadatan (kerusakan) yang dilarang oleh agama, (3) Dalam akad yang melaksanakan suatu perbuatan berdasarkan hilah, kehendak untuk melakukan akad itu sesungguhnya tidak ada, sehingga unsur kerelaan dalam akad yang dilakukan sebenarnya tidak ada, (4) Hilah itu batal karena syaratnya yang bertentangan dengan kehendak akad, (5) Hilah merupakan pembatalan terhadap hukum, sebab hilah dilakukan dengan meninggalkan atau menambah syarat yang menyalahi ketentuan syariat, dan (6) Hilah haram berdasarkan teori istiqra’ (induksi dari berbagai dalil). Dalil-dalil tersebut diantaranya adalah ayat-ayat al-Qur’an yang menceritakan orang munafik yang tidak ikhlas dalam beramal. Hilah dilakukan karena menghindari suatu kewajiban, dan ini perilaku yang tidak ikhlas.
B.  Saran
Kami menyadari, masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam penulisan makalah ini. Untuk itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca. Terima Kasih.


DAFTAR PUSTAKA
A.  Buku
Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqih, Jakarta: Amzah, 2005.

B.  Internet




[2]Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqih, Jakarta: Amzah, 2005, hlm 85.


0 komentar:

 

Kumpulan Makalah, Artikel, dan Karya Tulis Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea